Oleh: Muslim Arbi*
Untuk Paslon 01, karena tidak Cuti, non aktif atau mundur. Maka, posisi Joko Widodo adalah sebagai:
- Kepala Negara.
- Kepala Pemerintahan (Presiden)
- Calon Presiden.
Penjelasan:
- Sebagai Kepala Negara. Maka segala tindak tanduk adalah kepala negara. Sebagai Kepala Negara maka wajib melindungi semua warga negara. Tidak terkecuali. Baik yang Loyal maupun oposisi.
- Sebagai Kepala Pemerintahan atau kepala penyelenggara negara (presiden). Dia harus netral terhadap semua warga negara.
- Sebagai Capres. Tentu nya berada pada posisi kompetisi. Kompetisi lahirkan 2 kubu yaitu 1. Kubu loyalis dan 2. Kubu Oposisi.
Karena paslon 01 tidak cuti, atau non aktif maka terjadilah kerancuan. Oleh karenanya posisi 01 menjadi dilemmatis. Dilemmatis sebagai kepala negara, kepala pemerintahan (presiden) dan calon presiden (capres).
Sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan tunduk kepada UUD 1945. Dan aturan Perundangan yang mengikat. Sebagai Capres mengikuti aturan dan UU Pemilu.
Dilemma yang juga muncul adalah jika rakyat menggunakan Hak-hak Konsitusionalnya untuk mengkritik pemerintahan karena satu dan lain hal, maka akan dianggap melawan pemerintah. Padahal, di alam demokrasi adalah sebuah kebebasan dalam menyampaikan pendapat. Maka hal ini juga oleh aparat dianggap sedang menyerang pemerintah dan menganggu wibawa negara. Kemudian jika mengkritik Calon presiden pasti dianggap mengkritik pemerintah dan negara.
Bahkan lebih ironisnya lagi terhadap kubu yang berseberangan, karena kontetasi pilpres dituduh dengan pasal makar akibat beda pendapat.
Soal Pilpres adalah soal lex spesialis. Aturan dan UU No. 7 tahun 2107. Polisi tidak bisa dengan sembrono menyikapin persoalan ini. Dalam kontek Pemilu, tidak ada istilah makar yang bisa disematkan, karena itu semua adalah proses demokrasi. Segala pendapat apapun terkait pemilu dan pilpres adalah soal kompetisi. Bukan wewenang polisi untuk menggiring wacana dan pendapat tentang Kedaulatan Rakyat yang di jamin Undang-Undang. Sangatlah salah jika pendapat soal Pilpres dan pemilu digiring ke pasal makar dan ini sebuah kesalah dan kekeliruan.
Gerakan People Power adalah sebuah perwujudan Kedaulatan Rakyat yang menuntut hak-haknya dalam Konteks Keadilan dan Tegaknya Kebenaran. Gerakan People power adalah secara konsitusi sah dan legal. Polisi wajib mengawal masyarakat untuk menuntut tegaknya kebenaran dan keadilan. Termasuk di dalamnya kebanaran dan keadilan soal pelaksanaan Pilpres dan Pemilihan Umum serentak.
Kalau Polisi memeriksa dan tersangkanya atas sejumlah tokoh sebagai perbuatan makar. Apakah mengkritik dan membangun gerakan terhadap Capres dikategorikan makar dan berupaya menjatuhkan pemerintah yang sah?
Bukankah Pilpres 2019 ini adalah proses pergantian kepemimpian nasional secara sah dan legal?
Kalau berwacana soal ganti presiden adalah makar. Maka dapat disimpulkan pula pilpres adalah makar yang dilegalkan. Padahal makar dalam konteks istilah adalah merebut atau menjatuhkan pemerintahan dengan kekuatan senjata.
Apakah sejumlah tokoh yang melakukan kritikan itu menggunakan senjata dalam berbicara atau berorasi?
Hemat saya, Polisi perlu meninjau ulang keputusannya dalam hal makar yang dituduhkan kepada sejumlah tokoh belakangan ini dan membebaskan mereka dengan segera. Karena, tindakan aksesif Polisi itu merupakan pelanggaran Hukum dan Undang-Undang yang nyata.(*)
Wallahu’alam.
*) Direktur Gerakan Perubahan (Garpu)