Penulis: Rut Sri Wahyuningsih**

DI tengah-tengah pidatonya dalam acara sidang terbuka ITB peringatan 100 tahun pendidikan tinggi teknik di Indonesia, Presiden RI Joko Widodo alias Jokowi mengumumkan adanya laporan dari Bank Dunia yang menyebut Indonesia telah naik peringkat dari sisi pendapatan perkapita. Republik Indonesia yang tadinya berstatus lower middle income country menjadi upper middle income country. Menurutnya, laporan itu bisa menjadi penyemangat Indonesia agar bisa terus naik kelas dan keluar dari jebakan negara kelas menengah (middle income trap) seperti penulis kutip dari pemberitaan di media HARIANACEH.co.id, Jumat 3 Juli 2020.
Kebanggaan Semu, Olahan Bangsa Kafir
Masih di tahun yang sama, tepatnya di bulan Februari 2020, sebagaimana dilansir Okezone.com, pada tanggal 25 Februari 2020 Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan Indonesia harus bangga, sebab Amerika Serikat telah mencabut status Indonesia sebagai negara berkembang.
Menurut Airlangga, hal ini karena Indonesia adalah bagian dari G20, di mana merupakan kelompok negara dengan perekonomian besar di dunia. Oleh karenanya, Airlangga menggangap Indonesia tak seharusnya terus berstatus sebagai negara berkembang. Dan hari ini berulang, World Bank/Bank Dunia menaikkan status Indonesia dari lower middle income country menjadi upper middle income country mulai 1 Juli 2020.
Apa keuntungan Indonesia sebagai upper middle income country? Dan haruskah kita bangga jika negara Amerika dedengkot Kapitalisme dan World Bank, dedengkot badan utang dunia menentukan status kita?
Bank Dunia/World Bank menaikkan status Indonesia berdasarkan assessment Bank Dunia terkini. Gross National Income (GNI) per capita Indonesia tahun 2019 naik menjadi US$ 4.050 dari tahun 2018 US$ 3.840, jadi Bank Dunia membuat klasifikasi negara berdasarkan GNI per capita dalam 4 kategori, yaitu: Low Income (USD 1.035), Lower Middle Income (USD 1.036 – USD4,045), Upper Middle Income (USD 4.046 – USD 12.535) dan High Income (>USD 12.535).
Bank Dunia menggunakan klasifikasi ini sebagai salah satu faktor untuk menentukan suatu negara memenuhi syarat dalam menggunakan fasilitas dan produk Bank Dunia, termasuk loan pricing (harga pinjaman), seperti yang juga penulis kutip dari laporan kontan.co.id tertanggal 2 Juli 2020.
Menurut keterangan resmi Kementerian Keuangan, kenaikan level Indonesia menjadi upper middle income country akan memberikan beberapa keuntungan:
- Memperkuat kepercayaan serta persepsi investor, mitra dagang, mitra bilateral dan mitra pembangunan atas ketahanan ekonomi Indonesia.
- Dapat meningkatkan investasi baik secara langsung maupun tidak langsung dari investor asing ke Indonesia.
- Memperbaiki kinerja current account yang sampai saat ini masih defisit.
- Meningkatkan daya saing ekonomi
- Memperkuat dukungan pembiayaan
Selain itu, keuntungan Indonesia naik level ke upper middle income country juga merupakan titik penting dalam tahapan strategis dan landasan kokoh menuju Indonesia Maju Tahun 2045.
Akar Persoalan, Ada Pelanggaran Syariat
Di sinilah kita mesti mengkritisi, dari 5 manfaat yang didapat Indonesia ketika statusnya naik hanyalah kata lain makin kokohnya kita dinobatkan sebagai “Negara Pengutang“.
Dimana letak kebanggaannya?
Sama tak bangganya dengan fakta kita punya menteri ekonomi terbaik di dunia, hanya karena kelihaian beliau menambah proposal hutang berbasis riba.
Allah SWT mengancam memerangi orang pemakan riba. Hal itu sebagaimana dalam Quran Surat Al Baqarah Ayat ke 279 yang artinya:
“Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu, kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya.”
Inilah mengapa musibah datang silih berganti, sebab di negeri yang mayoritas penduduknya Muslim justru menghalalkan yang Allah haramkan. Pembiayaan atas pemenuhan seluruh kebutuhan masyarakat didapat dari utang dengan basis riba. Lantas bagaimana masih bisa merasa aman dari azab Allah?
Islam Solusi Revolusioner
Resesi, defisit dan keterpurukan ekonomi yang dialami dunia dan khususnya Indonesia sejatinya bersumber dari tata kelola ekonomi yang salah dan buah kebijakan negara Demokrasi. Baik Demokrasi maupun Kapitalisme sama-sama berdiri di atas landasan yang lemah, yaitu sekulerisme. Pemisahan agama dari kehidupan. Halal haram, tercela terpuji serta penetapan hukum sebagai solusi bagi manusia berasal dari akal manusia.
Sehingga tercabutlah keberkahan dari negeri ini, mana ada bukti nyata sebuah negara akan tumbuh kuat dengan asupan utang? Apalagi berbasis riba.
APBN kita dengan perkiraan penerimaan Rp1.760,9 triliun akan dikurangi pembiayaan utang Rp654,5 triliun. Sri Mulyani memperkirakan defisit anggaran di 2020 bisa menyentuh 853 triliun setara 5,07 persen dari PDB. Angka ini melebar dari posisi Rp307,2 triliun atau setara 1,76 persen terhadap PDB di postur APBN sebelumnya, seperti penulis kutip dari pemberitaan Tirto.id, Selasa 7 April 2020.