KETIKA ruang sastra makin menyempit di sekolah-sekolah dan ruang-ruang pendidikan kita, itu antara lain ditandai dengan kecenderungan institusi pendidikan kita menjadikan kesusastraan sebagai objek pelajaran saja. Atau sebuah mata kuliah yang dipelajari, hingga seorang siswa mendapatkan capaian kuantitatif yang diharapkan.
Dampak dari keadaan ini adalah dua hal. Pertama, para kritikus sastra menghilang dari masyarakat kita. Kedua, para siswa cenderung mempelajari sastra, tapi sedikit sekali menerima pelajaran dari sastra.
Pada usia 9 tahun, saya menemukan buku “Sirkuit Kemelut” karya Ashadi Siregar di rak buku milik paman saya. Novel tebal itu pernah mendapat anugerah novel terbaik pada masanya. Sebenarnya, ini novel dewasa, banyak kisah percintaannya. Saya menamatkan novel ini penuh minat, dan paman sangat heran melihatnya. Seorang anak SD kelas tiga, di kampung yang terpencil, membaca novel seserius itu dan tamat sehari saja.
Maaf, ini bukan membanggakan diri. Tapi saya ingin mengatakan kepada Anda, bahwa saya telah menerima banyak pelajaran hidup dari sebuah karya sastra, jauh sebelum saya mempelajarinya sebagai sebuah disiplin.
Mempelajari sastra tidak selalu membuat seseorang mendapat pelajaran dari sastra. Seseorang mungkin bisa menjawab berbagai pertanyaan standar menyangkut kesusastraan, tapi itu tak mempengaruhi hidup mereka.
Sejak membaca karya populer “Sirkuit Kemelut” itu, imajinasi saya tak bisa dibendung lagi, berkeliaran ke sana kemari. Sebuah dunia baru hidup dan berkembang di benak saya. Orang-orang mengatakan, saya mulai berbicara seperti orang dewasa, dan saya menyukai topik-topik yang tidak biasa dalam level pergaulan di desa.
Novel sebagai sebuah karya sastra memberikan kita ruang imajinasi yang teramat luas. Kita membangun tempat-tempat yang baru dari deskripsi pengarang. Membayangkan karakter seseorang dari bangunan tokoh-tokoh dalam novel itu, dan semua itu menjadi referensi virtual kita dalam menilai orang-orang. “Oh, sifatnya mirip tokoh Anu. Oh, dia nakal sekali seperti si Anu“. Demikian seterusnya. Kita menjadi terisi, tidak kosong lagi.
Keajaiban berikutnya, kita tiba-tiba menjadi suka mengamati suatu tempat, mempelajari keadaan seseorang, menajamkan rasa kasihan, dan membangun empati sosial. Inilah pelajaran yang amat kaya, lengkap, dan sangat hidup. Dan yang seperti ini hanya dapat kita terima dari sebuah karya sastra. Tentu saja pengalaman hidup langsung juga adalah sumber pelajaran bagi seseorang, tapi pengalaman tidak selalu mampu memperkaya imajinasi.
Bayangkan bila setiap anak SMP membaca petualangan Winnetou karya Karl May yang luar biasa itu. Saya yakin, novel-novel seperti ini akan mengguncang dunia anak-anak, membawa mereka pada dimensi-dimensi sosial yang berbeda, menyenangkan, dan menjadi sumber berbagai referensi tanpa harus mengerutkan kening karena asyiknya.
Kita berharap, sastra tidak lagi dihadirkan kepada siswa sebagai mata pelajaran yang menjadi beban kurikulum. Ia harus dikeluarkan dari dimensi studi saja, tapi juga harus diposisikan sebagai medium pendidikan yang menyenangkan dan penuh warna dunia. Seorang guru atau orang tua tinggal memilihkan karya-karya yang membuat anak-anak terhanyut untuk membaca. Tentu ketertarikan mereka tidak sama.
Anak perempuan saya ketika kelas 3 SMP tidak suka belajar sejarah dari gurunya. Lalu saya menyodorkannya novel “Pompeii” karya Robert Harris. Gila, dia mengunyahnya cepat sekali. Tak bisa dilepaskannya buku itu sampai tamat. Menegangkan, seru, dan ia merasa tersedot ke dalam sejarah besar Pompeii yang dikisahkan secara enak oleh Robert Harris. Setelah itu, ia melanjutkan dengan karya-karya Robert Harris lainnya, yaitu “Imperium”, “Cicero”, dan “Konspirata”. Anda tahu, ketiganya adalah karya dahsyat yang sangat padat dengan sejarah.
Sejak itu, ia mulai menyukai sejarah. Hidupnya dan cara pandangnya berubah. Sejarah tak membosankan lagi. Dengan novel, sebuah pelajaran bisa menjadi teramat asyik. Bukan itu saja, paradigma dunianya (world view)-nya juga meluas. Bahkan satu sekolah seluruhnya belum tentu dapat memberikan semua ini pada seorang siswanya. Inilah kekuatan sastra.
Jadi, biarkanlah anak-anak mengambil pelajaran dari sastra. Mereka bisa saja malas belajar filsafat, tapi bila diberikan novel “Dunia Sophie”, mungkin mereka bisa berubah. Bahkan banyak pilihan novel yang sarat dengan kandungan fisika, biologi, ruang angkasa, dan sebagainya. Inilah medium yang terbaik untuk perkembangan khas anak-anak. Dan sebenarnya cara ini adalah metode lama (kuno). Para leluhur kita, sebelum mengenal buku, menyampaikan ajaran tradisinya melalui kisah (folklore), sesuai dengan keperluan mereka untuk mewariskan pengetahuan budayanya, untuk melanjutkan kehidupan masyarakatnya. (•)