Jumat, 15 Januari 2021
  • Login
Harian Aceh Indonesia®
  • HOME
  • IN-DEPTH
  • ACEH
  • NASIONAL
    • HUKUM
    • POLITIK
    • PERISTIWA
    • SOROTAN PUBLIK
  • DUNIA
  • EKONOMI
  • EDUKASI
    • LITERASI
  • ISLAM
  • OPINI
  • LIFESTYLE
  • LINGKUNGAN
  • SEJARAH
  • OTO
  • HIBURAN
  • SEPAK BOLA
    • BOLA NASIONAL
    • LIGA INGGRIS
    • LIGA ITALIA
    • LIGA SPANYOL
  • TEKNO
    • APLIKASI
    • GADGET
    • INTERNET
  • FOTO
  • VIDEO
  • CEK FAKTA
No Result
View All Result
Harian Aceh Indonesia®
Jumat, 15 Januari 2021
No Result
View All Result
Harian Aceh Indonesia®
No Result
View All Result
Trending
Sponsored by VOA Indonesia

Suara Rakyat Diabaikan, Pilkada Bakal Tuai Golput?

Redaksi HAI Redaksi HAI
Minggu, 11/10/2020 - 01:24 WIB
A A
0
Sejumlah tokoh menyikapi keputusan penyelenggaraan Pilkada serentak 9 Desember mendatang dengan menyatakan akan golput atau menggelar aksi menentang pilkada. Inikah cikal bakal pembangkangan publik di tanah air?. FOTO/VOA/Ahadian Utama

Sejumlah tokoh menyikapi keputusan penyelenggaraan Pilkada serentak 9 Desember mendatang dengan menyatakan akan golput atau menggelar aksi menentang pilkada. Inikah cikal bakal pembangkangan publik di tanah air?. FOTO/VOA/Ahadian Utama

Sebar ke FacebookSebar ke Twitter

PEMERINTAH, DPR dan KPU pertengahan September lalu memutuskan akan tetap melangsungkan pilkada serentak pada 9 Desember nanti, lepas dari begitu banyak masukan dari organisasi massa dan tokoh-tokoh masyarakat untuk menangguhkan pesta rakyat itu mengingat terus meluasnya perebakan pandemi virus corona. Sejumlah tokoh menyikapi hal itu dengan menyatakan akan golput atau menggelar aksi menentang pilkada. Inikah cikal bakal pembangkangan publik?

Komisi II DPR bersama pemerintah dan penyelenggara pemilu pada 21 September lalu sepakat untuk tetap melangsungkan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak pada 9 Desember. Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia, ketika membacakan kesimpulan rapat, menegaskan bahwa meskipun tetap dilaksanakan pada tanggal yang sudah disepakati sebelumnya, “disepakati untuk melakukan penegakan disiplin dan sanksi hukum terhadap pelanggar protokol kesehatan COVID-19.”

Seruan Komnas HAM, Majelis Ulama Indonesia, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, hingga organisasi massa dan pemerhati pemilu, untuk menangguhkan pilkada di 270 daerah pemilihan tak didengar. Terus naiknya jumlah orang yang terjangkit virus corona, yang hingga hari Rabu 6 Oktober sudah mencapai lebih dari 315.714, termasuk hampir 12 ribu orang meninggal dunia, tidak membuat DPR, pemerintah dan KPU bergeming.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Prof. Susi Dwi Harijanti, menyebut pemerintah mengabaikan aspirasi masyarakat yang menolak UU Cipta Kerja. FOTO/Petrus Riski
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Prof. Susi Dwi Harijanti, menyebut pemerintah mengabaikan aspirasi masyarakat yang menolak UU Cipta Kerja. FOTO/Petrus Riski

Pakar hukum tata negara di Universitas Padjajaran, Jawa Barat, Prof. Dr. Susi Dwi Harijanti, mengatakan tak habis pikir mengapa pilkada sama sekali tidak bisa ditangguhkan.

“Saya sungguh heran mengapa pemerintah sama sekali tidak mau mendengar semua suara ini. Apa yang disampaikan ini pertanyaan-pertanyaan standar, yang dari perspektif hukum seharusnya dijawab oleh pemerintah. Harus ada dasar pembenaran mengapa pilkada ini harus tetap dilaksanakan,” kata Susi Dwi Harijanti.

Menurut Susi, pilkada sebagaimana juga pemilu, mempunyai dua arti penting, sebagai perwujudan kedaulatan rakyat untuk memilih pemimpinnya dan sebagai cara mengisi jabatan.

BACAAN LAINNYA

Mbak You Ramal Jokowi Lengser 2021, Husin Shihab: Jangan-Jangan Dukun Bayaran Oposisi

Mbak You Ramal Jokowi Lengser 2021, Husin Shihab: Jangan-Jangan Dukun Bayaran Oposisi

15/01/2021 - 15:33 WIB
8 Meninggal, Ratusan Warga Majene Luka-luka

8 Meninggal, Ratusan Warga Majene Luka-luka

15/01/2021 - 15:03 WIB
Habib Rizieq Tutupi Hasil Positif Corona, Politikus PDIP: Bahayakan Umat

Habib Rizieq Tutupi Hasil Positif Corona, Politikus PDIP: Bahayakan Umat

15/01/2021 - 13:34 WIB
Buzzer Istana atau akrab dikenal dengan BuzzerRP alias Buzzer Cebong, Krisyanto Yen Oni, mengomentari pernyataan anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Ribka Tjiptaning yang menolak vaksinasi Covid-19. FOTO/Net

Krisyanto Yen Oni: Selama Ini Kami Membela Anda karena Isu PKI

15/01/2021 - 12:29 WIB

loading...

“Tetapi pelaksanaannya juga harus mempertimbangkan berbagai faktor, termasuk aman tidaknya situasi, dalam hal ini situasi perebakan virus corona yang kurvanya terus naik, yang bahkan tidak bisa dijelaskan oleh pemerintah,” lanjutnya.

Politisi Nilai Pilkada Dapat Jadi Cara “Menghukum” Pejabat Publik Tak Becus

Diwawancarai secara terpisah, politisi Partai Golkar, Indra Jaya Piliang, mengatakan selain karena hampir tidak mungkin menunda kekosongan jabatan jika pilkada tak jadi dilaksanakan 9 Desember, pilkada sedianya justru menjadi cara “menghukum” pejabat publik yang selama ini dinilai gagal menerapkan protokol untuk mencegah perebakan.

“Selain memilih kepala daerah yang kebanyakan akan habis masa jabatannya, pilkada ini sekaligus menjadi alat untuk menghukum kepala daerah atau pejabat yang selama ini gagal menangani COVID-19. Disinilah saatnya publik bersikap dengan hanya memilih mereka yang selama ini konsisten menunjukkan upaya dan dukungan untuk menurunkan COVID-19 yang dipilih!,” jelas Indra.

LSI : Hanya 16,3% Daerah Zona Merah

Lingkaran Survei Indonesia (LSI) pada awal Oktober juga menyampaikan tujuh alasan yang membuat pilkada tidak dapat ditunda lagi, antara lain alasan legitimasi karena bakal ada 209 kepala daerah yang akan habis masa jabatannya pada Februari 2021 dan tidak mungkin memilih penjabat pelaksana dengan kewenangan terbatas.

Selain itu, juga alasan bahwa “hanya” 16,3 persen dari 270 daerah pemilihan yang berada di zona merah. Itu pun, menurut lembaga pimpinan Denny JA, zona merah itu dapat diberi aturan khusus dengan protokol kesehatan yang ketat.

Golput Jadi Pilihan

Prof. Dr. Azyumardi Azra, mantan rektor Universitas Negeri Syarif Hidayatullah di Jakarta, menilai alasan itu absurd. Saking kecewanya, ia secara terang-terangan menyatakan tidak akan mengikuti pilkada di Tangerang Selatan, di mana ia bermukim.

Mengutip wawancara yang dilakukan VOA Indonesia sehari setelah keputusan DPR-Pemerintah dan KPU itu ia mengatakan, “Saya sudah memutuskan akan golput. Mengapa? Karena saya ingin berempati dengan warga yang sudah meninggal, atau keluarganya meninggal, karena COVID-19. Di Indonesia sudah lebih dari 10.000 orang yang tertular. Bagaimana mungkin kita memberlakukan PSBB [pembatasan sosial berskala besar.red], tapi tetap melangsungkan pilkada?,” jelasnya.

Menurut Azra, alasan pilkada harus jalan terus karena akan ada banyak pejabat yang habis masa jabatannya, atau sebagai cara menghukum mereka yang tidak becus mengurus pandemi ini, sama sekali absurd.

“Mengapa tidak mau jujur bahwa pilkada ini harus jalan terus untuk mengamankan posisi mereka menjelang pilpres 2024. Jika ditunda maka banyak calon yang tidak punya cukup waktu untuk tampil pada publik demi 2024. Mengapa tidak mau jujur mengakui hal ini?,” imbuhnya.

Susi Harijanti mengatakan bukan tak mungkin akan semakin banyak yang mengikuti langkah Azyumardi Azra untuk golput, yang bahkan mendorong civil disobedience atau pembangkangan publik, atau bahkan civil unrest atau kerusuhan sosial.

“Karena sedang COVID-19, civil disobedience itu tidak dilakukan lewat demonstrasi atau pemogokan, tapi ya itu dengan golput. Itu salah satu cirinya,” jelas Susi.

Mengapa AS, Korea Selatan Bisa Tetap Langsungkan Pilpres dan Pileg?

Kedua cendekiawan juga mengkritisi mereka yang membandingkan pelaksanaan pilkada dengan pemilihan serupa di luar negeri, yang tetap jalan terus meski sedang dilanda pandemi.

“Ya enggak apple to apple. Di negara-negara seperti Korea Selatan atau Amerika yang tetap melangsungkan pemilu, ada sistem jaringan kesehatan yang kuat, ada warga yang jauh lebih disiplin. Di Indonesia hal ini lebih lemah,” komentar Prof. Dr. Azyumardi Azra.

Sementara Prof. Dr. Susi Harijati berpendapat, “Selain soal jaringan layanan kesehatan yang lebih baik, negara-negara di luar Indonesia yang berhasil melangsungkan pilpres itu memiliki cara lain untuk menyampaikan suara. Di Amerika misalnya ada alternatif memberikan suara lewat surat, yang membuat warga tidak perlu datang langsung secara fisik ke TPS. Kita tidak memiliki prosedur itu.”

Pembangkangan Publik Berskala Besar Belum Jadi Budaya di Indonesia

Meskipun demikian cendekiawan Prof. Dr. Azyumardi Azra mengatakan pembangkangan publik, baik dengan tidak mengikuti pemilu/pilkada, atau mengambil sikap lain untuk menentang kebijakan politik belum menjadi budaya di Indonesia. “Di Amerika atau belahan dunia lain mungkin, di Indonesia belum.”

Dalam sejarah Amerika, pembangkangan publik yang dikenal luas umumnya melibatkan pemimpin hak-hak sipil. Misalnya ketika Rosa Parks menentang undang-undang pemisahan tempat duduk di dalam bis berdasarkan warna kulit.

Dalam foto pada 22 Februari 1956 ini, Rosa Parks diambil sidik jarinya oleh polisi Letnan D.H. Lackey di Montgomery, Alabama, setelah menolak menyerahkan kursinya di bus untuk penumpang kulit putih pada 1 Desember 1955. FOTO/AP Photo/Gene Herrick
Dalam foto pada 22 Februari 1956 ini, Rosa Parks diambil sidik jarinya oleh polisi Letnan D.H. Lackey di Montgomery, Alabama, setelah menolak menyerahkan kursinya di bus untuk penumpang kulit putih pada 1 Desember 1955. FOTO/AP Photo/Gene Herrick

Pada tahun 1955 Rosa Park menolak berdiri untuk menyerahkan kursi yang didudukinya di dalam bis pada seorang laki-laki kulit putih. Ia dengan sopan menolak permintaan itu dan tetap duduk.

Dalam file foto 28 Agustus 1963 ini, Pendeta Dr. Martin Luther King, Jr. mengucapkan terima kasih kepada massa di Lincoln Memorial dalam pidatonya "I Havea Dream" pada bulan Maret di Washington. FOTO/AP Photo/File
Dalam file foto 28 Agustus 1963 ini, Pendeta Dr. Martin Luther King, Jr. mengucapkan terima kasih kepada massa di Lincoln Memorial dalam pidatonya “I Havea Dream” pada bulan Maret di Washington. FOTO/AP Photo/File

Sebagai anggota National Association for the Advancement of Colored People (Asosiasi Nasional Untuk Kemajuan Warga Kulit Berwarna), tindakan Rosa Parks memicu pemboikotan berskala luas selama lebih dari satu tahun dan akhirnya berhasil mengubah undang-undang pemisahan bis berdasarkan warna kulit.

Pada tahun 1963 terjadi pembangkangan publik lain ketika para pemimpin hak-hak sipil, antara lain A. Phillip Randolph, Roy Wilkin, Dr. Martin Luther King Jr melangsungkan pawai politik menuntut dihapuskannya segregasi rasial dan lapangan pekerjaan yang adil. Lebih dari seperempat juta orang mengikuti pawai itu.

Di luar Amerika, ada “Singing Revolution” yang disebut-sebut ikut membantu Estonia, Latvia dan Lithuania meraih kemerdekaan dari Uni Soviet. “Singing Revolution” berawal pada tahun 1986 ketika sekelompok besar warga berkumpul dan menyanyikan lagu-lagu tradisional tentang warisan budaya mereka. Ketika itu mengibarkan bendera-bendera yang melukiskan warisan budaya atau menunjukkan rasa patriotisme pada warisan nenek moyang mereka dilarang. Secara perlahan-lahan gerakan masyarakat madani ini berhasil mendorong perubahan dan menyingkirkan pendudukan.

“Civil disobedience” terkenal lainnya adalah “Salt March” yang digagas Mahatma Gandhi di India pada bulan Maret hingga April 1930 di India. Ketika itu Gandhi memprotes kebijakan produksi dan penjualan garam, yang hanya menguntungkan Inggris karena melarang warga India menjualnya secara mandiri, bahkan mengenakan harga mahal bagi warga India.

Mahatma Gandhi memberikan instruksi terakhir di pantai dekat Dandi, India, saat dia dan para pendukungnya bersiap-siap untuk berdemonstrasi di Salt Satyagraha (Salt March), 6 April 1930. FOTO/AP/Deutscher Photo Dienst/W. Bossard
Mahatma Gandhi memberikan instruksi terakhir di pantai dekat Dandi, India, saat dia dan para pendukungnya bersiap-siap untuk berdemonstrasi di Salt Satyagraha (Salt March), 6 April 1930. FOTO/AP/Deutscher Photo Dienst/W. Bossard

Gandhi memang bukan tokoh pertama yang memprotes pajak garam, tetapi ia mengilhami banyak tokoh politik lain ketika pada Maret 1930 bersama pengikutnya, Gandhi berpawai sejauh 240 mil guna menyampaikan protes dan pandangan tentang ketidakadilan pajak garam ini. Pawai yang dikenal sebagai “satyagraha” ini berlangsung berbulan-bulan dan membuat lebih dari 60.000 orang dipenjara, termasuk Mahatma Gandhi. Namun pada awal tahun 1931, ia mencapai gencatan senjata, dan pada tahun 1947 India meraih kemerdekaan dari Inggris. [em/ab/es]

Sumber: Voa Indonesia

Tags: golongan putihgolputHeadlinePemilihan Kepala DaerahpilkadaPolitikSuara Rakyattidak memilih
Share6Tweet1PinSend

Sebelumnya

Kominfo: Sistem CEIR Sudah Pulih untuk Daftarkan IMEI Baru

Selanjutnya

Adhi Karya Tunda IPO 2 Anak Usaha Akibat Pandemi

BACAAN LAINNYA

Chandra Lie mengawali bisnis penerbangannya dengan hanya berbekal satu unit Boeing 737-200 pada tahun 2003 silam. FOTO/Net

Rekam Jejak Sriwijaya Air, Pemilik hingga Sejarah Berdirinya

12/01/2021 - 21:14 WIB
Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, Sandiaga Salahuddin Uno menjadi Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf). FOTO/Republika

Dulu Sandiaga Uno Getol Harus Jadi Oposisi, Kini Jadi Menteri

22/12/2020 - 18:13 WIB
CCTV Selalu Aktif, Tidak Ada yang Mencurigakan di Sini

CCTV Selalu Aktif, Tidak Ada yang Mencurigakan di Sini

08/12/2020 - 01:07 WIB
Ketika Kiai dan Santri Takeran Diculik PKI, Pura-pura Ajak Berunding. FOTO/Net

Ketika Kiai dan Santri Takeran Diculik PKI, Pura-pura Ajak Berunding Lalu Dibunuh

22/11/2020 - 21:31 WIB
Masyarakat menyalakan lilin tanda berduka di pintu masuk gereja Basilika Notre Dame, Nice, Prancis, Kamis (29/10), menyusul teror di kota tersebut. Tiga orang meninggal akibat serangan di gereja. Insiden ini terjadi kurang dari sebulan setelah pemenggalan guru sekolah Prancis. FOTO/AP

Teror di Nice, Wujud Konflik Islam dan Barat Liberal

30/10/2020 - 11:20 WIB
Ilustrasi seorang anak di bawah umur mengalami kekerasan dan pencabulan. FOTO/Istimewa

Mengidentifikasi Fenomena Pencabulan Anak

24/10/2020 - 03:52 WIB
Para anggota serikat buruh memprotes pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja, di Kawasan Industri Jakarta Timur, di Bekasi, Senin, 5 Oktober 2020. FOTO/Antara Foto/Fakhri Hermansyah/via Reuters

Buruh Tuntut DPR Kaji Ulang UU Cipta Kerja

21/10/2020 - 18:16 WIB
Ilustrasi sosok dan tokoh serta aktor dibalik pengesahan Omnibus Law. FOTO/Alenia

JATAM: 12 Aktor Intelektual Dibalik Pengesahan Omnibus Law

11/10/2020 - 07:00 WIB
Virus Tak Punya Paspor, Tak Masalah Vaksin Impor

Virus Tak Punya Paspor, Tak Masalah Vaksin Impor

05/08/2020 - 17:20 WIB
perguruan tinggi terpopuler

20 Perguruan Tinggi Terpopuler di Media Sosial

04/08/2020 - 01:39 WIB
Load More

BERITA POPULER

  • Ustadz Syekh Ali Jaber saat bersama sang Istri. FOTO/Net

    Istri Sering Cemburu, Syekh Ali Jaber Rela Tak Pegang Hape Selama Dua Tahun

    47 shares
    Share 19 Tweet 12
  • How to optimize MySQL/MariaDB Performance on Server

    276 shares
    Share 111 Tweet 69
  • Kasus Kerumunan Waterboom Lippo Cikarang, Polisi Didesak Tetapkan James Riady Tersangka

    8 shares
    Share 3 Tweet 2
  • ‘Pergantian Direksi ASABRI Bagian dari Penyegaran’

    7 shares
    Share 3 Tweet 2
  • Syekh Ali Jaber, HRS dan Alm. Ustadz Arifin Ilham Semunya Orator Aksi 411

    8 shares
    Share 3 Tweet 2
Loading...

PERISTIWA

Gempa Sulawesi Barat, Kantor Gubernur Ambruk, 3 Meninggal Ribuan Mengungsi

Gempa Sulawesi Barat, Kantor Gubernur Ambruk, 3 Meninggal Ribuan Mengungsi

15/01/2021

Rumah Dirjen Kemensos Digeledah Terkait Kasus Juliari, KPK Amankan Sejumlah Dokumen

Rumah Dirjen Kemensos Digeledah Terkait Kasus Juliari, KPK Amankan Sejumlah Dokumen

14/01/2021

Alat Komunikasi Disita, KPK Harus Dalami Peran Anggota DPR PDIP Ihsan Yunus terkait Korupsi Bansos

Alat Komunikasi Disita, KPK Harus Dalami Peran Anggota DPR PDIP Ihsan Yunus terkait Korupsi Bansos

14/01/2021

Kebakaran/ilustrasi

150 Warga Menteng Dalam Jaksel Mengungsi karena Kebakaran

14/01/2021

PDIP Pun Bertanya Pembisik Jokowi Siapa

PDIP Pun Bertanya Pembisik Jokowi Siapa

14/01/2021

  • Tentang Kami
  • Kebijakan Privacy
  • Kode Etik Jurnalistik
  • Pedoman Media Siber
  • Pedoman Pemberitaan Ramah Anak
  • Hak Jawab Dan Koreksi Berita
  • Standar Perlindungan Profesi Wartawan
  • Ketentuan Khusus
  • Menulis di HAI
  • Sitemap
  • Cookie
Aplikasi Android Harian Aceh Indonesia

© 2014 - 2021 - PT. Harian Aceh Indonesia. Made with in Indonesia

No Result
View All Result
  • HOME
  • IN-DEPTH
  • ACEH
  • NASIONAL
    • HUKUM
    • POLITIK
    • PERISTIWA
    • SOROTAN PUBLIK
  • INTERNASIONAL
  • EKONOMI
  • EDUKASI
    • LITERASI
  • LINGKUNGAN
  • ISLAM
  • OPINI
  • SEJARAH
  • LIFESTYLE
  • KOMUNITAS
  • HIBURAN
  • OLAHRAGA
  • SEPAKBOLA
    • BOLA NASIONAL
    • LIGA ITALIA
    • LIGA INGGRIS
    • LIGA SPANYOL
  • OTOMOTIF
  • TEKNOLOGI
    • APLIKASI
    • GADGET
    • INTERNET
  • FOTO
  • VIDEO
  • CEK FAKTA
  • LOWONGAN KERJA
  • Login

© 2014 - 2021 - PT. Harian Aceh Indonesia. Made with in Indonesia

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Create New Account!

Fill the forms below to register

*By registering into our website, you agree to the Terms & Conditions and Privacy Policy.
All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
This website uses cookies. By continuing to use this website you are giving consent to cookies being used. Visit our Privacy and Cookie Policy.