Kamis, 4 Maret 2021
  • Login
Harian Aceh Indonesia
  • HOME
  • IN-DEPTH
  • ACEH
  • NASIONAL
    • HUKUM
    • POLITIK
    • PERISTIWA
    • SOROTAN PUBLIK
  • DUNIA
  • EKONOMI
  • EDUKASI
    • LITERASI
  • ISLAM
  • OPINI
  • LIFESTYLE
  • LINGKUNGAN
  • SEJARAH
  • OTO
  • HIBURAN
  • SEPAK BOLA
    • BOLA NASIONAL
    • LIGA INGGRIS
    • LIGA ITALIA
    • LIGA SPANYOL
  • TEKNO
    • APLIKASI
    • GADGET
    • INTERNET
  • FOTO
  • VIDEO
  • CEK FAKTA
No Result
View All Result
Harian Aceh Indonesia
Kamis, 4 Maret 2021
No Result
View All Result
Harian Aceh Indonesia
No Result
View All Result
Trending

Mengidentifikasi Fenomena Pencabulan Anak

Aisyah Karim Aisyah Karim
24/10/2020
in IN-DEPTH
Reading Time: 7min read
Sponsored by Harian Aceh Indonesia

Sebar ke FacebookSebar ke Twitter
Print Friendly, PDF & Email

Penulis: Aisyah Karim** 

SETELAH kasus pembunuhan dan pemerkosaan di Aceh Timur. Rasa aman kini semakin mahal, ketenangan dan kenyamanan hidup menjadi sebuah kemewahan. Orang tua saat ini telah meningkatkan kewaspadaannya untuk mengantisipasi berbagai kasus pencabulan anak yang terus meningkat.

Mengutip pemberitaan di laman berita Antara tertanggal 13 Oktober 2020, Polresta Banda Aceh menyampaikan telah menangani 27 kasus pencabulan dengan korban anak-anak sepanjang 2020.  Jumlah ini meningkat dibandingkan tahun 2019 yang hanya menangani 21 kasus. Diantara kasus yang sedang ditangani adalah kasus Lueng Bata, dimana polisi menangkap tiga pelaku pencabulan terhadap tiga anak perempuan. Sebelum mencabuli pelaku sempat menyekap korban selama beberapa jam.

Lain lagi Polres Aceh Tengah, seperti penulis kutip dari laman berita HARIANACEH.co.id tertanggal 15 Oktober 2020 polisi membekuk satu tersangka pencabulan anak di bawah umur yaitu DL (26). Korban masih berusia 12 tahun. Sementara di Calang HA (39) melakukan pencabulan terhadap dua anak dibawah umur  yang kemudian tertangkap basah oleh orang tua korban. Di Nagan Raya polisi terpaksa menghentikan kasus ayah cabuli anak kandung karena si ayah LS (43) berstatus sebagai terangka telah meninggal dunia.

Data dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Pelindungan Anak Aceh, sejak 2017 hingga 2019, kasus kekerasan terhadap anak sebanyak 2.692 kasus. Sementara kasus kekerasan terhadap perempuan pada 2017-2019 sebanyak 3.107 kasus.

Kehidupan dari waktu ke waktu semakin berat. Bukan hanya karena harga sembako melangit atau pendapatan yang semakin sulit, ditambah gempuran pandemi yang entah kapan akan berakhir. Sebenarnya ancaman kemiskinan, kekerasan dan kejahatan seksual ini tak hanya terjadi di Aceh, namun terjadi di semua negeri kaum Muslimin yang diterapkan didalamnya sistem demokrasi dan ekonomi kapitalis. Termasuk juga di negara-negara Barat.

BACAAN LAINNYA

Lecehkan Karyawan Lalu Tiba-tiba Masuk Islam, Polisi Cek Kejiwaan Bos Perusahaan di Jakut

Lecehkan Karyawan Lalu Tiba-tiba Masuk Islam, Polisi Cek Kejiwaan Bos Perusahaan di Jakut

03/03/2021 - 22:35 WIB
Pendeta Katolik Dilaporkan Lakukan Pelecehan terhadap 10.000 Anak di Bawah Umur Sejak 1950

Pendeta Katolik Dilaporkan Lakukan Pelecehan terhadap 10.000 Anak di Bawah Umur Sejak 1950

03/03/2021 - 21:38 WIB
Aipda Roni Diduga Gagahi Rizka dan Aprilia Sebelum Dicekik di Hotel, Ini Kata Polisi

Aipda Roni Diduga Gagahi Rizka dan Aprilia Sebelum Dicekik di Hotel, Ini Kata Polisi

27/02/2021 - 23:16 WIB
Detik-detik Ratna Nekat Habisi Nyawa Majikan di Bandung

Detik-detik Ratna Nekat Habisi Nyawa Majikan di Bandung

26/02/2021 - 16:29 WIB

loading...

Apa yang terjadi di tengah-tengah kita yaitu berbagai kerusakan ini bukanlah habitat hidup kita. Kehidupan sosial masyarakat Muslim identik dengan terjaganya kemuliaan terjaminnya kehormatan, bukan hanya kehormatan perempuan, namun juga kehormatan laki-laki termasuk kehormatan anak-anak dan para pemuda. Jadi kehidupan yang buas ini bukan habitat kita.

Banyak yang bertanya-tanya, Lha kok kasus-kasus ini menimpa Aceh? Disinilah titik kritisnya. Salah mengidentifikasi permasalahan maka salah pula solusinya. Dan itulah yang telah terlanjur terjadi. Terdapat sejumlah pakar yang meminta keseriusan pemerintah, jika ingin melindungi, berikan anggaran yang memadai, buat mekanisme perlindungan, sediakan psikolog dan kebijakan lain. Namun masalahnya tidak sesederhana itu.

Kemerosotan moral yang terjadi tidak dijumpai pada masa lalu. Hal ini menimpa setelah kedatangan penjajah ke negeri-negeri kaum Muslimin. Penjajahan gaya baru dengan jalan yang licik telah memaksa negeri-negeri mengadopsi  sistem politik demokrasi sekuler yang bersandar pada ideologi kapitalis liberal. Sistem ini dipropagandakan negara kafir penjajah dengan dalih kemajuan. Jalan yang tempuh hanya satu yaitu pembebasan negara dari otoritas agama.

Ideologi ini menempatkan agama menjadi urusan privat, sementara di ranah publik harus diserahkan pada hukum buatan manusia yang notabene adalah hukum mereka. Target dari ide ini adalah menjauhkan Islam dari diri Muslim termasuk penerapannya secara praktis oleh negara agar mereka menjadi sekuler. Inilah awal bencana yang menimpa kaum Muslimin. Ketika syariah dicampakkan diganti dengan aturan kufur milik penjajah, maka mewabahlah masalah.

Terjadilah pelecehan dan pencabulan dimana-mana, termasuk pembunuhan dan pemerkosaan bahkan terbongkarnya kasus prostitusi anak. Lalu ketika kasus-kasus ini mengemuka banyak orang bersuara. Namun hampir tak ada yang mampu melihat realitas akar pemasalahan ini bersumber dari sistem sekuler yang diterapkan di Indonesia termasuk di Aceh. Bahwa kerusakan yang terjadi sama dengan yang terjadi pada masyarakat Barat yang liberal. Hal ini karena Barat telah mengekspor sistem mereka ke negara kita.

Tadinya masyarakat kita dilindungi oleh sistem pergaulan Islam yang telah hidup dan mengakar menjadi budaya. Dulu jangankan bergaul bebas, berboncengan dengan yang bukan mahram saja memalukan. Hingga rekayasa internasional untuk menghancurkan masyarakat Islam dimulai dengan program penghancuran keluarga Muslim. Fokus program ini adalah menjauhkan perempuan dari nilai-nilai Islam.

Dipelopori oleh Amerika, dikeluarkanlah mega pendanaan untuk menekan berbagai pemerintahan untuk mengadakan konferensi-konferensi tentang perempuan. Termasuk untuk memasukkan  isu perempuan dalam bidang pemerintahan dan parlemen agar upaya mereka untuk mengkomodifikasi perempuan dan anak-anak berjalan mulus.

Penjajahan perempuan-dewasa dan remaja-dikuatkan via isu gender. Rekayasa internasional pada isu tersebut dicetuskan pada Convention on the Elimination of Diskrimination Against Women (CEDAW) tahun 1975, diikuti pemufakatan dalam International Conference on Population and Development (ICPD) tahun 1994 dan Beijing Declaration and Platform for Action (BPFA) tahun 1995.

Bahkan untuk mengakhiri kekerasan, termasuk kekerasan seksual, UNWomen-organisasi PBB yang dibentuk untuk mengokohkan kesetaraan gender-secara khusus meluncurkan kampanye Elimination of Violence against Women (EvaW) dan menjadikan tanggal 25 November sebagai hari Internasional  mengakhiri kekerasan terhadap perempuan.

Terkait isu anak, Majelis Umum PBB juga mencanangkan Convention on the Rights of the Child (CRC) tahun 1989.  Menandai abad ke -21 PBB mencanangkan Deklarasi Milenium (Millenium Development Goals) pada tahun 2000 dengan 8 tujuan ambisius. Kelanjutan dari kegagalan-kegagalan target MDGs dilanjutkan dalam Sustainable Development Goals/SDGs tahun 2015. SDGs memiliki 17 tujuan, yang akan dicapai hingga 2030. Secara khusus target nomor 5 ditujukan untuk mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan perempuan serta anak perempuan.

Sejatinya, semua pemufakatan yang dicetuskan PBB-sekalipun bernama kampanye menghilangkan kekerasan pada perempuan namun tidak pernah tulus memberikan perlindungan yang sesungguhnya terhadap keamanan, kehormatan dan kesejahteraaan  perempuan dan anak. Lembaga internasional sesungguhnya dibentuk kapitalisme untuk memudahkan mereka-penguasa Barat bersama kekuatan korporasi-mencapai keuntungan ekonomi.

Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon pernah menyampaikan, “Kesetaraan untuk perempuan dan anak perempuan tidak hanya merupakan hak asasi menusia, namun itu adalah keharusan sosial dan ekonomi. Jika perempuan dididik dan diberdayakan, ekonomi lebih produktif dan kuat”. Menjadi jelas bahwa upaya mendorong perempuan terlibat di ranah publik adalah motif ekonomi, bukan untuk mensejahterakan perempuan namun untuk menjamin tersedianya pasokan tenaga penggerak ekonomi kapitalis.

Yang terjadi kemudian adalah eksploitasi atas diri perempuan. Perempuan di komodifikasi sebagai komoditas bisnis. Pada sebuah pertemuan di hadapan politikus Swedia pada April 2014, Babatunde Osotimehin, Direktur Eksekutif UNFPA (United Nation Fund for Population Activities) menyatakan, “Perempuan dan gadis-gadis itu bukan komoditas, dan harus diperlakukan sebagai manusia” (theguardian.com 24/4/2014). Pernyataan ini menggambarkan realitas rusaknya kehidupan perempuan dalam pusaran kapitalisme.

Penguasa tak ragu mengaminkan arahan Barat, apalagi jika itu berasal dari PBB. Pemerintah langsung meratifikasi CEDAW dalam UU No. 7 tahun 1984. Sepuluh tahun kemudian, Pemerintah Indonesia bersama 179 negara menyetujui untuk mengadopsi Program Aksi 20 tahun di Konferensi Internasional Kependud)ukan dan Pembangunan di Kairo. Komitmen Indonesia untuk melaksanakan Beijing Declaration and Platform for Action (BpfA)-dalam hajat bersama antara Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PP-PA) dengan melakukan ‘Refleksi 20 Tahun Implementasi Beijing Platform for Action (BpfA) di Indonesia’.

Demikian juga halnya dengan masalah anak. Indonesia meratifikasi Convention on the Right of the Child (CRC) atau Konvensi Hak Anak (KHA) yang ditetapkan PBB tahun 1989 melalui Keppres Nomor 36/1990 tertanggal 25 Agustus 1990. Yang perlu kita pahami adalah bahwa sekalipun 193 negara telah meratifikasinya, namun Amerika Serikat tetap tidak mau meratifikasi konvensi ini di negaranya. Padahal, konon KHA dicetuskan guna memberikan perlindungan terhadap anak dan menegakkan hak-hak anak di seluruh dunia.

Sekalipun semua konvensi digelar secara bombastis untuk melindungi perempuan dan anak-anak dari segala bentuk diskriminasi dan mengentaskan mereka dari kemiskinan, klaim itu tidak pernah terbukti di belahan dunia manapun, termasuk di negara-negara maju. Berbagai konvensi dan kebijakan yang dilahirkan justru berujung pada komodifikasi. Mereka mendorong perempuan berjibaku di ranah publik, dengan asas liberal yang mereka banggakan, interaksi masyarakatnya kerap ternoda oleh kebebasan berperilaku dan motif bisnis.

Masyarakat Barat, sebagaimana yang disampaikan Sigmund Freud, memandang pemenuhan terhadap hasrat seksual adalah sesuatu yang bersifat penting, yang jika tidak dipenuhi dapat membahayakan. Tidak heran jika masyarakat Barat memang membebaskan setiap orang untuk melampiaskan dorongan seksualnya, tiap kali keinginan itu hadir. Karena jika dikekang hal itu akan membuat manusia menderita hingga binasa.

Barat yang kerap menuduh Islam sebagai pelaku kekerasan, justru menunjukkan realitas lebih kejam daripada yang mereka tuduhkan. Pelecehan seksual tertinggi terhadap perempuan justru terjadi di negara-negara Barat. Okezone.com tertanggal 31/3/2015 menyebutkan negara dengan kasus pemerkosaan tertinggi  terjadi di Swedia, Amerika Serikat, Inggris, Selandia Baru, Kanada, Australia dan Denmark.

Lebih miris lagi Swedia sebagai negara dengan serapan konsep gender dan feminisme tertinggi di dunia jusru menjadi tempat yang paling berbahaya di Eropa bagi perempuan. Badan statistik Swedia melaporkan setiap dua detik ada satu perempuan yang diperkosa. Fakta di AS tak kalah mengerikan. Survei RAINN (Rape Abuse and Incest National Network)-sebuah organisasi anti serangan nasional terbesar di AS-menunjukkan ada sekitar 293 ribu kasus kekerasan seksual dan pemerkosaan setiap tahunnya.

Perempuan yang diperkosa rata-rata berusia 12 tahun keatas. Di Inggris, hasil laporan kepolisian menyatakan 85 ribu kasus pemerkosaan menimpa perempuan setiap tahunnya. Bahkan sebanyak 29 persen perempuan mengaku diperkosa oleh seseorang yang mereka kenal dari pergaulan sehari-hari atau saat sedang kencan. Sedangkan kasus kekerasan seksual pada anak menunjukkan, hampir lima persen bocah di Inggris pernah mengalami pelecehan seksual dan 90  persen di antaranya dilakukan oleh kenalan sendiri.

Mengutip dari dw.com, tahun 2012-2013, kepolisian Inggris mencatat lebih dari 18.000 kasus pelecehan seksual terhadap bocah di bawah 16 tahun. Di AS, menurut data Departemen Kesehatan AS, 16 persen antara 14 hingga 17 tahun mengaku pernah menjadi korban pelecehan seksual atau pemerkosaan. Begitu besar bahaya yang mengintai hingga Children Asessment Centre (CAC)-sebuah lembaga sosial di AS-dengan tragis menyatakan, “Akan ada 500.000 bayi lahir tahun ini di Amerika Serikat yang akan menjadi korban pelecehan seksual sebelum mereka berusia 18 tahun”.

Tragisnya, bahaya liberalisme ini telah di ekspor ke seluruh dunia. Sebagaimana yang dinyatakan oleh William Blum dalam America`s Deadliest Export: Democracy, bahwa ekspor yang paling mematikan yang dilakukan oleh Amerika adalah demokrasi dengan ide derivat turunannya termasuk feminisme. Menariknya, di Aceh sendiri setelah bencana tsunami, isu mengenai gender pun mulai mengisi laman-laman media. Tiga belas tahun setelah tsunami, kedudukan perempuan dalam masyarakat Aceh  dikatakan semakin memburuk.

Setelah tsunami, ratusan LSM internasional mempromosikan pengarusutamaan gender di Aceh. Perspektif Barat yang datang bersama dengan bantuan internasional melihat perempuan Aceh sebagai sebuah streotip muslimah tertindas yang membutuhkan pertolongan. Diskursus kontemporer secara khusus menggambarkan perempuan Aceh dan anak perempuan sebagai korban patriatrikal yang mengalami diskriminasi, ketertindasan dan kemiskinan.

Lebih lanjut yang jadi kambing hitam adalah interpretasi nash-nash, konflik bersenjata dan penerapan kebijakan orde lama. Inilah yang penulis maksud salah diagnosa. Jika mau jujur melihat lebih dalam bahwa yang mengalami penindasan, kemiskinan dan diskriminasi adalah semua lapisan masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan. Baik tua, muda maupun anak-anak. Semua ini karena penerapan kapitalisme liberalisme dalam berbagai kebijakan.

Terjadilah kerusakan yang sistematis, revisi Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak misalnya, yang dikatakan sangat penting, karena penerapan hukuman maksimal 15 tahun bagi pejahat pedofilia tidak pernah digunakan. Namun bagaimanapun, visi mendasar UUPA turut secara tidak langsung menumbuhkan perilaku bebas (liberal) dalam memandang masalah seksual. Filosofi tentang HAM mendasarinya menguatkan agenda liberalisasi dalam membentuk karakter anak.

Alih-alih mencari solusi tuntas, masyarakat malah dibiarkan berdebat tentang solusi dan upaya praktis. Dari kebiri hingga pengajuan RUU Penghapusan Kekerasan yang di propagandakan sebagai solusi ampuh. Kalangan feminis menilai melalui RUU PKS kejahatan seksual akan di cegah, termasuk kekerasan seksual yang terjadi dalam relasi suami istri dalam rumah tangga. Jika di kaji lebih dalam RUU PKS ini membuka lebar kran kebebasan seksual termasuk LGBT dan prostitusi.

Semua kengerian ini terjadi akibat penguasa negeri, sejak kemerdekaan, telah rela hati mengadopsi dan menerapkan sistem batil kapitalisme sekuler. Sistem yang meperlakukan perempuan dan anak-anak hanya sebagai obyek kapitalisasi. Maka, perlindungan hanya menjadi angan karena tidak lebih penting dari gemerincing dolar.

Negara kapitalis sekuler tidak akan pernah menjadi pelindung kecuali hanya menjanjikan perlindungan semu. Jangankan perlindungan, justru sistem ini memiliki banyak bahaya yang siap menerkam umat. Tidak ada yang bisa mengembalikan kemuliaan masyarakat kecuali menerapkan kembali sistem Islam. Karena hanya Islam yang mengembalikan kedudukan manusia pada tempatnya yang mulia yaitu masyarakat yang beradab dan bermartabat.[]

**). Penulis saat ini aktif di Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban

Tags: aceh timurfenomena pencabulan pada anakkasus pembunuhanKekerasan Pada Anakmengidentifikasi fenomenapelecehan seksualpelecehan seksual pada anakpencabulanpencabulan pada anak
Share2Tweet1Pin1Send

Sebelumnya

DPRD DKI Bakal Adakan Rapat Lanjutan di Puncak

Selanjutnya

Kominfo: Diskominfo Wajib Berpedoman Pada Permen Kominfo

BACAAN LAINNYA

Banjir di Jakarta dari Zaman Tarumanegara Hindia Belanda hingga Era Anies. FOTO/Net

Banjir Jakarta dari Zaman Tarumanegara, Hindia Belanda hingga Era Anies Baswedan

22/02/2021 - 22:35 WIB
Chandra Lie mengawali bisnis penerbangannya dengan hanya berbekal satu unit Boeing 737-200 pada tahun 2003 silam. FOTO/Net

Rekam Jejak Sriwijaya Air, Pemilik hingga Sejarah Berdirinya

12/01/2021 - 21:14 WIB
Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, Sandiaga Salahuddin Uno menjadi Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf). FOTO/Republika

Dulu Sandiaga Uno Getol Harus Jadi Oposisi, Kini Jadi Menteri

22/12/2020 - 18:13 WIB
CCTV Selalu Aktif, Tidak Ada yang Mencurigakan di Sini

CCTV Selalu Aktif, Tidak Ada yang Mencurigakan di Sini

08/12/2020 - 01:07 WIB
Ketika Kiai dan Santri Takeran Diculik PKI, Pura-pura Ajak Berunding. FOTO/Net

Ketika Kiai dan Santri Takeran Diculik PKI, Pura-pura Ajak Berunding Lalu Dibunuh

22/11/2020 - 21:31 WIB
Masyarakat menyalakan lilin tanda berduka di pintu masuk gereja Basilika Notre Dame, Nice, Prancis, Kamis (29/10), menyusul teror di kota tersebut. Tiga orang meninggal akibat serangan di gereja. Insiden ini terjadi kurang dari sebulan setelah pemenggalan guru sekolah Prancis. FOTO/AP

Teror di Nice, Wujud Konflik Islam dan Barat Liberal

30/10/2020 - 11:20 WIB
Para anggota serikat buruh memprotes pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja, di Kawasan Industri Jakarta Timur, di Bekasi, Senin, 5 Oktober 2020. FOTO/Antara Foto/Fakhri Hermansyah/via Reuters

Buruh Tuntut DPR Kaji Ulang UU Cipta Kerja

21/10/2020 - 18:16 WIB
Ilustrasi sosok dan tokoh serta aktor dibalik pengesahan Omnibus Law. FOTO/Alenia

JATAM: 12 Aktor Intelektual Dibalik Pengesahan Omnibus Law

11/10/2020 - 07:00 WIB
Sejumlah tokoh menyikapi keputusan penyelenggaraan Pilkada serentak 9 Desember mendatang dengan menyatakan akan golput atau menggelar aksi menentang pilkada. Inikah cikal bakal pembangkangan publik di tanah air?. FOTO/VOA/Ahadian Utama

Suara Rakyat Diabaikan, Pilkada Bakal Tuai Golput?

11/10/2020 - 01:24 WIB
Virus Tak Punya Paspor, Tak Masalah Vaksin Impor

Virus Tak Punya Paspor, Tak Masalah Vaksin Impor

05/08/2020 - 17:20 WIB
Load More

TERPOPULER

  • Tiga Polisi Jadi Terlapor Kasus Unlawfull Killing Laskar FPI

    Tiga Polisi Jadi Terlapor Kasus Unlawfull Killing Laskar FPI

    2 shares
    Share 1 Tweet 1
  • Perpres Investasi Miras Dicabut, Denny Zulfikar Siregar Sentil Jokowi: Komunikasinya Buruk

    2 shares
    Share 1 Tweet 1
  • 6 Laskar FPI yang Tewas Ditembak Polisi Ditetapkan Jadi Tersangka

    2 shares
    Share 1 Tweet 1
  • Habis Minum Tuak 2 Liter, Pemabuk Ini Aniaya Warga Disabilitas di Warung Pecel Lele

    2 shares
    Share 1 Tweet 1
  • Isma Khaira dan Bayinya Dipenjara karena UU ITE, Polisi Coba Mediasi

    2 shares
    Share 1 Tweet 1
Loading...

PERISTIWA

Kesal Ditagih Bon Tuak, Oknum Polisi Polres Binjai Letuskan Pistol

Kesal Ditagih Bon Tuak, Oknum Polisi Polres Binjai Letuskan Pistol

03/03/2021

KPK Sebut Ada Kasus Korupsi yang Kemungkinan Dihentikan Penyidikannya

KPK Sebut Ada Kasus Korupsi yang Kemungkinan Dihentikan Penyidikannya

03/03/2021

Sri Mulyani Harus Evaluasi Dirjen Pajak Suryo Utomo

Sri Mulyani Harus Evaluasi Dirjen Pajak Suryo Utomo

03/03/2021

Untuk Memudahkan Pengusutan Oleh KPK

Untuk Memudahkan Pengusutan Oleh KPK

03/03/2021

Geledah 4 Lokasi di Sulsel, KPK Amankan Dokumen-Uang Tunai Kasus Nurdin Abdullah

Geledah 4 Lokasi di Sulsel, KPK Amankan Dokumen-Uang Tunai Kasus Nurdin Abdullah

02/03/2021

  • Tentang Kami
  • Kebijakan Privacy
  • Kode Etik Jurnalistik
  • Pedoman Media Siber
  • Pedoman Pemberitaan Ramah Anak
  • Hak Jawab Dan Koreksi Berita
  • Standar Perlindungan Profesi Wartawan
  • Ketentuan Khusus
  • Menulis di HAI
  • Sitemap
  • Cookie
Aplikasi Android Harian Aceh Indonesia

© 2014 - 2021 - PT. Harian Aceh Indonesia. Made with in Indonesia.

No Result
View All Result
  • HOME
  • IN-DEPTH
  • ACEH
  • NASIONAL
    • HUKUM
    • POLITIK
    • PERISTIWA
    • SOROTAN PUBLIK
  • INTERNASIONAL
  • EKONOMI
  • EDUKASI
    • LITERASI
  • LINGKUNGAN
  • ISLAM
  • OPINI
  • SEJARAH
  • LIFESTYLE
  • KOMUNITAS
  • HIBURAN
  • OLAHRAGA
  • SEPAKBOLA
    • BOLA NASIONAL
    • LIGA ITALIA
    • LIGA INGGRIS
    • LIGA SPANYOL
  • OTOMOTIF
  • TEKNOLOGI
    • APLIKASI
    • GADGET
    • INTERNET
  • FOTO
  • VIDEO
  • CEK FAKTA
  • LOWONGAN KERJA
  • Login

© 2014 - 2021 - PT. Harian Aceh Indonesia. Made with in Indonesia.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In