Penulis: Aisyah Karim**
SETELAH kasus pembunuhan dan pemerkosaan di Aceh Timur. Rasa aman kini semakin mahal, ketenangan dan kenyamanan hidup menjadi sebuah kemewahan. Orang tua saat ini telah meningkatkan kewaspadaannya untuk mengantisipasi berbagai kasus pencabulan anak yang terus meningkat.
Mengutip pemberitaan di laman berita Antara tertanggal 13 Oktober 2020, Polresta Banda Aceh menyampaikan telah menangani 27 kasus pencabulan dengan korban anak-anak sepanjang 2020. Jumlah ini meningkat dibandingkan tahun 2019 yang hanya menangani 21 kasus. Diantara kasus yang sedang ditangani adalah kasus Lueng Bata, dimana polisi menangkap tiga pelaku pencabulan terhadap tiga anak perempuan. Sebelum mencabuli pelaku sempat menyekap korban selama beberapa jam.
Lain lagi Polres Aceh Tengah, seperti penulis kutip dari laman berita HARIANACEH.co.id tertanggal 15 Oktober 2020 polisi membekuk satu tersangka pencabulan anak di bawah umur yaitu DL (26). Korban masih berusia 12 tahun. Sementara di Calang HA (39) melakukan pencabulan terhadap dua anak dibawah umur yang kemudian tertangkap basah oleh orang tua korban. Di Nagan Raya polisi terpaksa menghentikan kasus ayah cabuli anak kandung karena si ayah LS (43) berstatus sebagai terangka telah meninggal dunia.
Data dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Pelindungan Anak Aceh, sejak 2017 hingga 2019, kasus kekerasan terhadap anak sebanyak 2.692 kasus. Sementara kasus kekerasan terhadap perempuan pada 2017-2019 sebanyak 3.107 kasus.
Kehidupan dari waktu ke waktu semakin berat. Bukan hanya karena harga sembako melangit atau pendapatan yang semakin sulit, ditambah gempuran pandemi yang entah kapan akan berakhir. Sebenarnya ancaman kemiskinan, kekerasan dan kejahatan seksual ini tak hanya terjadi di Aceh, namun terjadi di semua negeri kaum Muslimin yang diterapkan didalamnya sistem demokrasi dan ekonomi kapitalis. Termasuk juga di negara-negara Barat.
Apa yang terjadi di tengah-tengah kita yaitu berbagai kerusakan ini bukanlah habitat hidup kita. Kehidupan sosial masyarakat Muslim identik dengan terjaganya kemuliaan terjaminnya kehormatan, bukan hanya kehormatan perempuan, namun juga kehormatan laki-laki termasuk kehormatan anak-anak dan para pemuda. Jadi kehidupan yang buas ini bukan habitat kita.
Banyak yang bertanya-tanya, Lha kok kasus-kasus ini menimpa Aceh? Disinilah titik kritisnya. Salah mengidentifikasi permasalahan maka salah pula solusinya. Dan itulah yang telah terlanjur terjadi. Terdapat sejumlah pakar yang meminta keseriusan pemerintah, jika ingin melindungi, berikan anggaran yang memadai, buat mekanisme perlindungan, sediakan psikolog dan kebijakan lain. Namun masalahnya tidak sesederhana itu.
Kemerosotan moral yang terjadi tidak dijumpai pada masa lalu. Hal ini menimpa setelah kedatangan penjajah ke negeri-negeri kaum Muslimin. Penjajahan gaya baru dengan jalan yang licik telah memaksa negeri-negeri mengadopsi sistem politik demokrasi sekuler yang bersandar pada ideologi kapitalis liberal. Sistem ini dipropagandakan negara kafir penjajah dengan dalih kemajuan. Jalan yang tempuh hanya satu yaitu pembebasan negara dari otoritas agama.
Ideologi ini menempatkan agama menjadi urusan privat, sementara di ranah publik harus diserahkan pada hukum buatan manusia yang notabene adalah hukum mereka. Target dari ide ini adalah menjauhkan Islam dari diri Muslim termasuk penerapannya secara praktis oleh negara agar mereka menjadi sekuler. Inilah awal bencana yang menimpa kaum Muslimin. Ketika syariah dicampakkan diganti dengan aturan kufur milik penjajah, maka mewabahlah masalah.
Terjadilah pelecehan dan pencabulan dimana-mana, termasuk pembunuhan dan pemerkosaan bahkan terbongkarnya kasus prostitusi anak. Lalu ketika kasus-kasus ini mengemuka banyak orang bersuara. Namun hampir tak ada yang mampu melihat realitas akar pemasalahan ini bersumber dari sistem sekuler yang diterapkan di Indonesia termasuk di Aceh. Bahwa kerusakan yang terjadi sama dengan yang terjadi pada masyarakat Barat yang liberal. Hal ini karena Barat telah mengekspor sistem mereka ke negara kita.
Tadinya masyarakat kita dilindungi oleh sistem pergaulan Islam yang telah hidup dan mengakar menjadi budaya. Dulu jangankan bergaul bebas, berboncengan dengan yang bukan mahram saja memalukan. Hingga rekayasa internasional untuk menghancurkan masyarakat Islam dimulai dengan program penghancuran keluarga Muslim. Fokus program ini adalah menjauhkan perempuan dari nilai-nilai Islam.
Dipelopori oleh Amerika, dikeluarkanlah mega pendanaan untuk menekan berbagai pemerintahan untuk mengadakan konferensi-konferensi tentang perempuan. Termasuk untuk memasukkan isu perempuan dalam bidang pemerintahan dan parlemen agar upaya mereka untuk mengkomodifikasi perempuan dan anak-anak berjalan mulus.
Penjajahan perempuan-dewasa dan remaja-dikuatkan via isu gender. Rekayasa internasional pada isu tersebut dicetuskan pada Convention on the Elimination of Diskrimination Against Women (CEDAW) tahun 1975, diikuti pemufakatan dalam International Conference on Population and Development (ICPD) tahun 1994 dan Beijing Declaration and Platform for Action (BPFA) tahun 1995.
Bahkan untuk mengakhiri kekerasan, termasuk kekerasan seksual, UNWomen-organisasi PBB yang dibentuk untuk mengokohkan kesetaraan gender-secara khusus meluncurkan kampanye Elimination of Violence against Women (EvaW) dan menjadikan tanggal 25 November sebagai hari Internasional mengakhiri kekerasan terhadap perempuan.
Terkait isu anak, Majelis Umum PBB juga mencanangkan Convention on the Rights of the Child (CRC) tahun 1989. Menandai abad ke -21 PBB mencanangkan Deklarasi Milenium (Millenium Development Goals) pada tahun 2000 dengan 8 tujuan ambisius. Kelanjutan dari kegagalan-kegagalan target MDGs dilanjutkan dalam Sustainable Development Goals/SDGs tahun 2015. SDGs memiliki 17 tujuan, yang akan dicapai hingga 2030. Secara khusus target nomor 5 ditujukan untuk mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan perempuan serta anak perempuan.
Sejatinya, semua pemufakatan yang dicetuskan PBB-sekalipun bernama kampanye menghilangkan kekerasan pada perempuan namun tidak pernah tulus memberikan perlindungan yang sesungguhnya terhadap keamanan, kehormatan dan kesejahteraaan perempuan dan anak. Lembaga internasional sesungguhnya dibentuk kapitalisme untuk memudahkan mereka-penguasa Barat bersama kekuatan korporasi-mencapai keuntungan ekonomi.
Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon pernah menyampaikan, “Kesetaraan untuk perempuan dan anak perempuan tidak hanya merupakan hak asasi menusia, namun itu adalah keharusan sosial dan ekonomi. Jika perempuan dididik dan diberdayakan, ekonomi lebih produktif dan kuat”. Menjadi jelas bahwa upaya mendorong perempuan terlibat di ranah publik adalah motif ekonomi, bukan untuk mensejahterakan perempuan namun untuk menjamin tersedianya pasokan tenaga penggerak ekonomi kapitalis.
Yang terjadi kemudian adalah eksploitasi atas diri perempuan. Perempuan di komodifikasi sebagai komoditas bisnis. Pada sebuah pertemuan di hadapan politikus Swedia pada April 2014, Babatunde Osotimehin, Direktur Eksekutif UNFPA (United Nation Fund for Population Activities) menyatakan, “Perempuan dan gadis-gadis itu bukan komoditas, dan harus diperlakukan sebagai manusia” (theguardian.com 24/4/2014). Pernyataan ini menggambarkan realitas rusaknya kehidupan perempuan dalam pusaran kapitalisme.
Penguasa tak ragu mengaminkan arahan Barat, apalagi jika itu berasal dari PBB. Pemerintah langsung meratifikasi CEDAW dalam UU No. 7 tahun 1984. Sepuluh tahun kemudian, Pemerintah Indonesia bersama 179 negara menyetujui untuk mengadopsi Program Aksi 20 tahun di Konferensi Internasional Kependud)ukan dan Pembangunan di Kairo. Komitmen Indonesia untuk melaksanakan Beijing Declaration and Platform for Action (BpfA)-dalam hajat bersama antara Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PP-PA) dengan melakukan ‘Refleksi 20 Tahun Implementasi Beijing Platform for Action (BpfA) di Indonesia’.
Demikian juga halnya dengan masalah anak. Indonesia meratifikasi Convention on the Right of the Child (CRC) atau Konvensi Hak Anak (KHA) yang ditetapkan PBB tahun 1989 melalui Keppres Nomor 36/1990 tertanggal 25 Agustus 1990. Yang perlu kita pahami adalah bahwa sekalipun 193 negara telah meratifikasinya, namun Amerika Serikat tetap tidak mau meratifikasi konvensi ini di negaranya. Padahal, konon KHA dicetuskan guna memberikan perlindungan terhadap anak dan menegakkan hak-hak anak di seluruh dunia.
Sekalipun semua konvensi digelar secara bombastis untuk melindungi perempuan dan anak-anak dari segala bentuk diskriminasi dan mengentaskan mereka dari kemiskinan, klaim itu tidak pernah terbukti di belahan dunia manapun, termasuk di negara-negara maju. Berbagai konvensi dan kebijakan yang dilahirkan justru berujung pada komodifikasi. Mereka mendorong perempuan berjibaku di ranah publik, dengan asas liberal yang mereka banggakan, interaksi masyarakatnya kerap ternoda oleh kebebasan berperilaku dan motif bisnis.
Masyarakat Barat, sebagaimana yang disampaikan Sigmund Freud, memandang pemenuhan terhadap hasrat seksual adalah sesuatu yang bersifat penting, yang jika tidak dipenuhi dapat membahayakan. Tidak heran jika masyarakat Barat memang membebaskan setiap orang untuk melampiaskan dorongan seksualnya, tiap kali keinginan itu hadir. Karena jika dikekang hal itu akan membuat manusia menderita hingga binasa.
Barat yang kerap menuduh Islam sebagai pelaku kekerasan, justru menunjukkan realitas lebih kejam daripada yang mereka tuduhkan. Pelecehan seksual tertinggi terhadap perempuan justru terjadi di negara-negara Barat. Okezone.com tertanggal 31/3/2015 menyebutkan negara dengan kasus pemerkosaan tertinggi terjadi di Swedia, Amerika Serikat, Inggris, Selandia Baru, Kanada, Australia dan Denmark.
Lebih miris lagi Swedia sebagai negara dengan serapan konsep gender dan feminisme tertinggi di dunia jusru menjadi tempat yang paling berbahaya di Eropa bagi perempuan. Badan statistik Swedia melaporkan setiap dua detik ada satu perempuan yang diperkosa. Fakta di AS tak kalah mengerikan. Survei RAINN (Rape Abuse and Incest National Network)-sebuah organisasi anti serangan nasional terbesar di AS-menunjukkan ada sekitar 293 ribu kasus kekerasan seksual dan pemerkosaan setiap tahunnya.
Perempuan yang diperkosa rata-rata berusia 12 tahun keatas. Di Inggris, hasil laporan kepolisian menyatakan 85 ribu kasus pemerkosaan menimpa perempuan setiap tahunnya. Bahkan sebanyak 29 persen perempuan mengaku diperkosa oleh seseorang yang mereka kenal dari pergaulan sehari-hari atau saat sedang kencan. Sedangkan kasus kekerasan seksual pada anak menunjukkan, hampir lima persen bocah di Inggris pernah mengalami pelecehan seksual dan 90 persen di antaranya dilakukan oleh kenalan sendiri.
Mengutip dari dw.com, tahun 2012-2013, kepolisian Inggris mencatat lebih dari 18.000 kasus pelecehan seksual terhadap bocah di bawah 16 tahun. Di AS, menurut data Departemen Kesehatan AS, 16 persen antara 14 hingga 17 tahun mengaku pernah menjadi korban pelecehan seksual atau pemerkosaan. Begitu besar bahaya yang mengintai hingga Children Asessment Centre (CAC)-sebuah lembaga sosial di AS-dengan tragis menyatakan, “Akan ada 500.000 bayi lahir tahun ini di Amerika Serikat yang akan menjadi korban pelecehan seksual sebelum mereka berusia 18 tahun”.
Tragisnya, bahaya liberalisme ini telah di ekspor ke seluruh dunia. Sebagaimana yang dinyatakan oleh William Blum dalam America`s Deadliest Export: Democracy, bahwa ekspor yang paling mematikan yang dilakukan oleh Amerika adalah demokrasi dengan ide derivat turunannya termasuk feminisme. Menariknya, di Aceh sendiri setelah bencana tsunami, isu mengenai gender pun mulai mengisi laman-laman media. Tiga belas tahun setelah tsunami, kedudukan perempuan dalam masyarakat Aceh dikatakan semakin memburuk.
Setelah tsunami, ratusan LSM internasional mempromosikan pengarusutamaan gender di Aceh. Perspektif Barat yang datang bersama dengan bantuan internasional melihat perempuan Aceh sebagai sebuah streotip muslimah tertindas yang membutuhkan pertolongan. Diskursus kontemporer secara khusus menggambarkan perempuan Aceh dan anak perempuan sebagai korban patriatrikal yang mengalami diskriminasi, ketertindasan dan kemiskinan.
Lebih lanjut yang jadi kambing hitam adalah interpretasi nash-nash, konflik bersenjata dan penerapan kebijakan orde lama. Inilah yang penulis maksud salah diagnosa. Jika mau jujur melihat lebih dalam bahwa yang mengalami penindasan, kemiskinan dan diskriminasi adalah semua lapisan masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan. Baik tua, muda maupun anak-anak. Semua ini karena penerapan kapitalisme liberalisme dalam berbagai kebijakan.
Terjadilah kerusakan yang sistematis, revisi Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak misalnya, yang dikatakan sangat penting, karena penerapan hukuman maksimal 15 tahun bagi pejahat pedofilia tidak pernah digunakan. Namun bagaimanapun, visi mendasar UUPA turut secara tidak langsung menumbuhkan perilaku bebas (liberal) dalam memandang masalah seksual. Filosofi tentang HAM mendasarinya menguatkan agenda liberalisasi dalam membentuk karakter anak.
Alih-alih mencari solusi tuntas, masyarakat malah dibiarkan berdebat tentang solusi dan upaya praktis. Dari kebiri hingga pengajuan RUU Penghapusan Kekerasan yang di propagandakan sebagai solusi ampuh. Kalangan feminis menilai melalui RUU PKS kejahatan seksual akan di cegah, termasuk kekerasan seksual yang terjadi dalam relasi suami istri dalam rumah tangga. Jika di kaji lebih dalam RUU PKS ini membuka lebar kran kebebasan seksual termasuk LGBT dan prostitusi.
Semua kengerian ini terjadi akibat penguasa negeri, sejak kemerdekaan, telah rela hati mengadopsi dan menerapkan sistem batil kapitalisme sekuler. Sistem yang meperlakukan perempuan dan anak-anak hanya sebagai obyek kapitalisasi. Maka, perlindungan hanya menjadi angan karena tidak lebih penting dari gemerincing dolar.
Negara kapitalis sekuler tidak akan pernah menjadi pelindung kecuali hanya menjanjikan perlindungan semu. Jangankan perlindungan, justru sistem ini memiliki banyak bahaya yang siap menerkam umat. Tidak ada yang bisa mengembalikan kemuliaan masyarakat kecuali menerapkan kembali sistem Islam. Karena hanya Islam yang mengembalikan kedudukan manusia pada tempatnya yang mulia yaitu masyarakat yang beradab dan bermartabat.[]
**). Penulis saat ini aktif di Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban