Penulis: Aisyah Karim**
SEBUAH kasus di Korea Selatan kini menjadi perbincangan global. Bayi Jeongin berusia 16 bulan mengalami kekerasan hingga meniggal dunia. Pelaku adalah orang tuanya sendiri. Jeongin adalah anak adopsi yang dirawat oleh ibu tirinya ketika berusia tujuh bulan. Bayi ini mengalami kekerasan selama 271 hari setelah diadopsi. Kasus Jeongin pertama kali mendapat perhatian publik setelah dibahas oleh program televisi `Unanswered Questions’ yang tayang pada 2 Januari 2021. Sejak itu tagar #sorryjeongin menjadi trending sebagai wujud keprihatinan sekaligus permintaan maaf publik atas keadaan Jeongin.
Inilah wajah peradaban hari ini. Jeongin tentu bukan yang pertama dan bukan juga yang terakhir. Jutaan anak di seluruh dunia mengalami kekerasan fisik maupun kekerasan seksual setiap harinya. Hampir tidak ada tempat yang memang ramah anak meski beberapa negara di dunia telah dianggap sebagai tempat yang aman bagi anak namun nyatanya tidak demikian. Negara seperti Denmark, Swedia, Norwegia, Canada, Belanda, Swiss hingga Selandia baru tergolong sebagai negara dengan urutan terbaik dalam membesarkan anak.
Mengutip dari Independent tertanggal 17/1/2020 bahwa laporan tahunan Best Countries Report oleh US News &World Report dan Wharton School dari University of Pennsylvania, penilaian tersebut merujuk pada diberikannya cuti ibu hamil yang panjang dan biaya prasekolah gratis. Menurut Deidre McPhillips, editor data senior di US News & World Report, hal ini karena panjangnya cuti yang diberikan oleh negara bagi ayah dan ibu untuk memberi keleluasaan bagi mereka merawat anak-anaknya. Kemudian didukung oleh fasilitas prasekolah gratis dan adanya fasilitas publik yang baik secara keseluruhan.
Namun laman Wonderlist yang diunggah pada 31/3/2015 melaporkan bahwa negara-negara tersebut justru tidak sanggup menciptakan keamanan bagi anak-anak dan perempuan. Swedia misalnya menjadi tempat yang paling berbahaya di Eropa bagi anak dan perempuan. Lima dari 10 perempuan yang diwawancarai mengaku pernah mengalami tindak kekerasan seksual sebelum usia mereka mencapai 15 tahun.
Pada kasus bayi Jeongin, orang tuanya pernah muncul di program EBS “One Average Family” untuk menunjukkan bahwa mereka adalah orang yang penuh kasih sayang dan peduli satu sama lain. Keinginan untuk mendapatkan apresiasi dan sanjungan manusia adalah sesuatu yang alamiah dalam sistem Kapitalisme. Masyarakat kapitalis adalah masyarakat yang sakit, jiwa-jiwa yang menolak bersandar pada agama itu menjadi kering dan gersang. Senantiasa haus pada materi dan sanjungan. Hanya kesenangan hidup dan apresiasi menusia yang di kejar meski untuk itu mereka harus mengorbankan orang lain, hatta bayi malang seperti pada kasus Jeongin.
Kapitalisme memang memiliki rapor merah bagi tumbuh kembang generasi. Akidah sekuler yang dianut kapitalis menjadikan perlindungan sebagai sesuatu yang demikian mewah untuk diperoleh. Masalah kekerasan terhadap anak telah menjadi isu global yang tak terpecahkan hingga kini meski telah banyak konferensi digelar, telah banyak dana dikucurkan dan telah banyak program trial and error diuji coba.
Selain kekerasan fisik dan seksual, kapitalisme tidak pernah menyoal kekerasan pada anak karena politik. Anak-anak di Palestina, Suriah, Mali, Yaman, Xinjiang, Kashmir, Rohingya mengalami kekerasan yang luar biasa karena perang dan invasi politik. Bayi-bayi kaum Muslimin terbunuh sia-sia karena kekejaman Israel di Palestina. Demikian pula nasib bayi-bayi di kamp-kamp pengungsian Suriah membeku di musim dingin. Bayi-bayi Muslim di Xinjiang di bunuh bahkan sebelum sempat dilahirkan oleh otoritas China. Sementara ribuan bayi dan anak kehilangan nyawa karena kelaparan yang amat sangat di Yaman. Mengapa nasib mereka tidak viral? Mengapa tak ada tagar permintaan maaf untuk mereka?
Realitas ini tak layak diabaikan, inilah bukti bahwa kapitalisme gagal mewujudkan perlindungan. Kenyataan inilah yang seharusmya menyadarkan kita agar mengubah realitas yang mengerikan tersebut. Umat ini harus mengkaji kebeningan syariat Islam yang memberikan jaminan perlindungan dan kesejahteraan.
Bila ada sebuah negara yang pemerintahnya bertanggung jawab penuh atas rakyatnya, baik laki-laki atau perempuan, anak-anak atau dewasa, muslim atau non Muslim, individu per individu maupun masyarakat secara umum. Tidak akan dibiarkan seorangpun rakyatnya kelaparan atau tidak memiliki tempat tinggal, terjamin keamanan, kesehatan dan pendidikannya. Peradaban yang memastikan anak-anak tumbuh dalam dekapan keluarga yang hangat. Maka gambaran negara seperti ini akan dianggap ilusi.
Hal tersebut karena masyarakat senantiasa dipertontonkan dengan realitas sebaliknya. Gambaran masyarakat yang sakit, para ibu menelantarkan anak demi mengejar karir, para ayah pun habis waktunya mengejar materi. Anak-anak mengalami trauma karena tumbuh dalam suasana yang tidak kondusif, tak jarang mengalami kekerasan. Teror kejahatan dimana-mana. Wajar kiranya jika gambaran negara ideal tidak pernah singgah dalam ingatan mereka.
Padahal ketika kekuasaan Islam tegak di dunia, kemakmuran dan superioritas terwujud. Ribuan literatur kaum Muslimin menceritakan masa emas tersebut. Pun tak ketinggalan sejarawan Barat. Mereka mencatat lembar-lembar kegemilangan Islam dalam buku-buku mereka. Sedillot menceritakan tentang negara adidaya itu dalam buku Tarikh Al-Arab Al-Am dengan tema Washf Al-Hadharah Al-Arabiyah. Gustave Le Bon menceritakan melalui bukunya Hadharah Al-Arab. Sementara Sigrid Hunke menguraikannya dalam Arabs Sun Rise in West.
Melalui penerapan sistem ekonomi, pendidikan, aturan sosial, media dan lainnya, Islam telah memberikan jaminan perlindungan bagi anak dan generasi. Terdapat jaminan terhadap kehormatan melalui hukum-hukum yang menyangkut tentang pergaulan lawan jenis. Demikian pula jaminan kesejahteraan diperoleh dari adanya kewajiban terhadap orang tua dan para wali untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan nafkah anak, bahkan ketika tak seorangpun yang tersisa, negara akan memberikan perlindungannya melalui Baitul Mal.
Kekuasaan Islam akan menjaga keamanan bagi seluruh rakyatnya termasuk anak-anak dari segala hal yang akan mencelakakan mereka. Disini Islam mewajibkan orang tua untuk memberikan sebaik-baik pengasuhan kepada mereka. Pengurusan negara dalam bidang pendidikan akan menciptakan atmosphir yang kondusif bagi tumbuh kembang anak. Tidak ada yang harus dikhawatirkan dengan keshalihan anak yang telah dibentuk dari rumah akan rusak oleh sekolah dan lingkungan. Hal ini karena negara melalui para guru akan merangkul semua pihak bahu-membahu dalam mencetak generasi gemilang.
Selain itu apabila terdapat gangguan dan kejahatan, negara menerapkan sistem persanksian yang ketat. Hukum-hukum tersebut akan menjamin keamanan, kehormatan dan kemuliaan rakyatnya. Sanksi yang diterapkan negara pada akhirnya menimbulkan efek jera terhadap pelaku kejahatan maupun bagi masyarakat lainnya, pada akhirnya akan mampu mencegah terjadinya pelanggaran secara masif.
Terdapat sebuah bukti yang tak terbantahkan bagaimana Islam menjaga hak seorang bayi untuk mendapatkan hak hidup, hak persusuan dan pengasuhan dari Ibunya yang telah terbukti melakukan perzinahan. Bayi al Ghamidiyah adalah saksi keadilan dan perlindungan Islam. Islam juga memberikan hak bagi anak-anak yang menangis karena lapar dalam sebuah inspeksi yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin al-Khatthab pada malam hari. Khalifah memanggul sendiri gandum dari Baitul Mal dan memasakkan makanan dengan tangannya sendiri.
Khalifah Umar sangat memperhatikan rakyatnya termasuk nasib anak-anak dan balita. Beliau membuat kebijakan pemberian santunan bagi semua bayi yang telah disapih ibunya untuk menjamin perawatan yang baik bagi bayi-bayi tersebut. Ternyata kebijakan ini menyebabkan seorang ibu mempersingkat penyusuan anaknya demi mendapatkan jatah santunan. Ketika Khalifah Umar mengetahui hal tersebut, beliau langsung merevisi kebijakannya. Sejak itu santunan diberikan di awal pada saat kelahiran bayi.
Inilah Islam peradaban masa lalu dan masa depan yang akan menggantikan peradaban kapitalisme yang sekarat. Inilah gambaran dimana hukum syariah yang diterapkan mampu memposisikan umatnya hatta anak-anak sekalipun dalam posisi yang mulia dan terhormat. Tidak ada unanswered questions dalam Islam, melainkan Islam memberikan keadilan dan kesejahteraan untuk semua.[]
**). Penulis saat ini aktif di Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban