Penulis: Aisyah Karim**
MAJELIS Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh menyatakan hukuman kebiri terhadap pelaku kejahatan seksual tidak bisa dibenarkan. MPU telah mengeluarkan fatwa soal hukum kebiri setelah menanggapi wacana hukum kebiri pada 2018 lalu. Fatwa Nomor 12 Tahun 2018 lahir dari kajian terhadap hukum-hukum Islam terkait hukum kebiri dan telaah mendalam terhadap sejumlah keterangan yang disampaikan oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa Presiden telah menandatangani PP Kebiri untuk Predator Seksual. PP Nomor 70 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak pada 7 Desember 2020.
“Bahwa untuk mengatasi kekerasan seksual terhadap anak, memberi efek jera terhadap pelaku, dan mencegah terjadinya kekerasan seksual terhadap anak, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 81A ayat (4) dan Pasal 82A ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual Terhadap Anak,” demikian bunyi pertimbangan PP 70/2020 yang penulis kutip dari laman detikcom tertanggal 5 Januari 2020.
Kebiri adalah tindakan untuk mengurangi dan menghilangkan hormon testosteron dalam tubuh laki-laki dan fungsi ovarium pada perempuan. Sedangkan kebiri kimia merupakan metode medis yang digunakan untuk menurunkan hasrat seksual seseorang dengan cara menyuntikkan obat-obatan yang mengandung non-afrodisiak. Metode ini digunakan sebagai hukuman bagi pelaku kejahatan seksual sejak 1944. Obat-obatan bekerja dengan mengurangi kadar hormon seksual pada pria, testosteron dan estradiol. Pengaruh obat tersebut tidak permanen, setidaknya mampu bertahan selama 3-5 tahun dalam sekali suntik. Beberapa obat yang dipakai untuk kebiri kimia juga digunakan dalam terapi kanker prostat. Efek samping dari penggunaan obat-obatan tersebut adalah osteoporosis, masalah kardiovaskular, depresi, infertilitas dan anemia.
Wakil MPU Aceh, Tgk. Faisal Ali menyebutkan hukuman kebiri tidak dapat dijadikan solusi, maka dikhawatirkan pelaku akan bertindak menjadi lebih berbahaya. Hal itu karena kebiri kimia bukan mematikan nafsu, hanya melemahkan zakar atau alat kelaminnya saja, namun kemauan yang ada di hati bisa semakin kuat. Karena kebutuhan biologis itu harus disalurkan.
Naluri seksual adalah karunia Allah kepada manusia berupa potensi kehidupan untuk melestarikan keturunan. Naluri ini bersifat alamiah yang menuntut pemenuhan. Islam mengatur satu-satunya cara yang halal untuk memenuhi naluri tersebut adalah melalui pernikahan. Setiap pemenuhan naluri seksual yang tidak melalui gerbang pernikahan tergolong jarimah (tindak pidana kejahatan).
Dalam terminologi hukum Islam, jarimah diartikan sebagai perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syariah dan ditentukan hukumannya oleh Allah, baik dalam bentuk sanksi-sanksi yang sudah jelas ketentuannya (had) maupun sanksi-sanksi yang belum jelas ketentuannya (ta’zir). Jarimah dibagi menjadi dua, yaitu jinayat dan hudud. Jinayat membahas tentang pelaku tindak kejahatan beserta sanksi hukuman yang berkaitan dengan pembunuhan yang meliputi qishash, diyat dan kafarat. Sedangkan Hudud membahas tentang pelaku tindak kejahatan selain pembunuhan yaitu masalah penganiayaan beserta sanksi hukumannya yang meliputi zina, qadzaf, mencuri, miras, menyamun, merampok, merompak dan bughat.
Islam memiliki pendangan yang khas tentang kejahatan seksual. Setiap bentuk pelampiasan hasrat seksual yang dilakukan secara tidak makfur dan ilegal digolongkan sebagai sebuah kejahatan seksual. Segala kejahatan seksual termasuk jarimah yang mengandung dosa. Baik dilakukan atas dasar suka sama suka maupun paksaan. Karena standar Islam dalam menghukumi segala sesuatu bukanlah ukuran suka atau tidak suka, bukan menggunakan standar HAM (my body my authority) yang jelas-jelas beraroma liberalisme kufur.
Islam memiliki tata aturan tersendiri terkait pencegahan, penanganan, perlindungan, pemulihan korban, serta penindakan pelaku kebebasan atau kejahatan seksual. Berikut beberapa aturan diantaranya;
Pertama, upaya pencegahan atau preventif agar tidak terjadi pelecehan seksual maupun kejahatan seksual, maka Islam memiliki aturan tentang busana (pakaian) wanita ketika keluar rumah berupa hijab syar’i (Qs. An-Nur :30-31 dan QS. Al Ahzab:59). Kemudian interaksi antara kaum pria-wanita dilarang mengandung unsur khalwat.
“Janganlah seorang laki-laki itu berkhalwat (menyendiri) dengan seorang wanita kecuali ada mahram yang menyertai wanita tersebut.” (HR. Bukhari, Muslim).
“Ingatlah, bahwa tidaklah seorang laki-laki itu berkhalwat dengan seorang wanita kecuali yang ketiganya adalah setan.” (HR. Ahmad, At-Tirmidzi dan Al-Hakim).
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Israa’: 32).
Islam juga mengatur agar menjaga pandangan, melarang tabaruj hingga larangan safar bagi perempuan tanpa disertai mahram.
Kedua, terhadap interaksi yang berpotensi terjadinya pelecehan dan kejahatan seksual adalah campur baurnya kaum laki-laki dengan wanita, maka Islam mencegahnya dengan larangan ikhtilat (campur baur antara laki-laki dan perempuan). Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sebaik-baiknya shaf laki-laki adalah yang pertama, dan sejelek-jeleknya adalah yang terakhir. Sedangkan sebaik-baiknya shaf perempuan adalah yang terakhir dan yang paling jeleknya adalah yang pertama.” (HR. Muslim)
Ketiga, meskipun sudah menikah, berstatus suami-istri, Islam juga mewanti-wanti, bahwa hubungan seksual itu sebagai bentuk sedekah. Akan tetapi, jika sudah menikah pun Islam tidak membolehkan seorang laki-laki (suami) sembarangan dalam melakukan hubungan seksual terhadap istrinya. Seperti larangan untuk mendatangi istri dari duburnya, atau mendatanginya di saat haid.
“Tahukah engkau jika seseorang memenuhi syahwatnya pada yang haram, dia berdosa. Demikian pula jika ia memenuhi syahwatnya itu pada yang halal, ia mendapat pahala”. (HR. Muslim).
Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam bersabda, “Terkutuklah orang yang mendatangi perempuan (istrinya) di duburnya (sodomi).” (HR. Ahmad, Abu Daud, an-Nasa`i).
“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik kepada keluarganya, dan aku adalah orang yang paling baik perlakuannya kepada keluargaku.” (HR. Ibnu Majah).
“Barang siapa yang menyetubuhi wanita haid atau menyetubuhi wanita di duburnya, maka ia telah kufur terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah).
Keempat, hukuman sanksi bagi pelaku zina maupun aktivitas seksual yang menyimpang seperti LBGT, inses, maupun berhubungan seks dengan hewan pun Islam sudah memiliki hukum untuk menyelesaikannya. Diantaranya larangan menikah dengan hubungan sedarah (mahram). (QS. an-Nisa: 23). Sedang bagi pelaku LGBT Rasulullah bersabda,
“Barang siapa yang mengetahui ada yang melakukan perbuatan liwath (sodomi) sebagaimana yang dilakukan oleh Kaum Luth, maka bunuhlah kedua pasangan liwath tersebut.” (HR. Abu Daud, At Tirmidzi dan Ibnu Majah). Disisi lain,
“Siapa saja yang menyetubuhi binatang, maka bunuhlah ia, dan bunuh pula binatang tersebut.” (HR at-Tirmidzi, Abi Dawud, Ibni Majah).
Kelima, seorang pezina, bisa jadi seorang yang belum menikah (ghair muhshan) atau yang sudah menikah (muhshan). Apabila seorang yang merdeka, muhshan, mukallaf, tidak dipaksa berzina, maka haddnya (hukuman) adalah dirajam sampai meninggal dunia. Dari Zaid bin Khalid al-Juhani, ia berkata,
“Aku mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh agar pezina yang belum menikah dicambuk seratus kali dan diasingkan selama setahun.” (HR. Bukhari).
Adapun realitas munculnya para predator seksual yang mewabah saat ini sesungguhnya bukanlah fitrah masyarakat Muslim. Sistem sanksi Islam lebih dari cukup untuk memutus rantai kejahatan apapun apalagi kejahatan seksual dengan ancaman rajam atau jilid 100 kali. Predator seksual adalah sebuah fenomena yang terjadi di dunia Barat dan negara-negara non Muslim.
Mengutip dari laman Wonderslist.com yang diunggah pada Kamis, 12 Oktober 2017 lalu melaporkan urutan negara dengan angka pemerkosaan tertinggi di dunia secara berurut terjadi di Afrika Selatan, Swedia, Amerika Serikat, Inggris dan Wales serta India. Pemerkosaan tersebut menimpa perempuan dan laki-laki termasuk anak-anak dengan realitas yang mengerikan.
Kini realitas yang sama menimpa negeri-negeri kaum Muslimin tak terkecuali Aceh. Laman harianaceh.co.id tertanggal 29 Desember 2020 melaporkan kasus kekerasan terhadap anak di Banda Aceh meningkat. Terdapat enam kasus pemerkosaan, delapan kasus penganiayaan terhadap anak, 11 kasus persetubuhan terhadap anak di bawah umur dan 18 kasus pencabulan anak di bawah umur. Ini baru di Banda Aceh saja.Pertanyaannya mengapa kerusakan di Barat kini juga melanda kantung-kantung kaum Muslimin?
Tentu saja penerapan sebuah sistem akan menuai dampak sistemik pula. Negara ini mengambil peradaban kapitalisme maka wajar kiranya juga memanen problematika sosial khas masyarakat kapitalis. Habitat kapitalisme adalar sekuler, maka agama hanya penyejuk, tempat melarikan diri sesaat dari gegap-gempita dunia, bukan tempat bersandar dan pondasi menjalankan kehidupan. Pada akhirnya negara ini juga mengambil solusi kapitalisme untuk menuntaskan para predator seksual yaitu hukum kebiri.
Setidaknya hingga kini Inggris, Amerika Serikat, Korea Selatan, Kazakhtan, Rusia, Polandia telah menerapkan hukuman kebiri. Namun kita menyaksikan justru predator seksual tidak berkurang malah bertambah baik jumlah kasus maupun variannya yang semakin mengerikan. Sebagian besar negara-negara tersebut bahkan telah memberlakukan hukum restoratif dalam menangani kasus-kasus kejahatan yang menimpa anak dan remaja. Namun tetap saja tidak mengubah apapun kecuali menambal kerusakan yang ada.
Oleh karena itu penulis secara pribadi memberikan apresiasi kepada MPU Aceh yang telah mengambil keputusan yang tepat untuk tidak menerapkan kebiri. Karena persoalan yang mendasar pada maraknya predator seksual adalah masalah sistemik yang mengakar dari penerapan kapitalisme sekuler. Maka kerusakan ini hanya dapat diatasi dengan menerapkan Islam dalam semua lini kehidupan. Kebeningan syariah terbukti telah menjadi pondasi utama terbentuknya masyarakat yang terlindungi kehormatan dan kemuliaannya.[]
**). Penulis saat ini aktif di Komunitas Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban