Penulis: Rut Sri Wahyuningsih**
HAMPIR satu tahun Covid-19 menyerang dunia, hingga kini belum ada pihak yang mampu menjawab secara tegas kapan akan berakhir. Padahal tak hanya ekonomi yang luluh lantak, namun juga kehidupan sosial ikut terkena imbasnya. Indonesia sendiri sudah mengganti kebijakan berkali-kali, dari PSBB, New Normal Life dan kemudian PSBB lagi. Hanya beda diksi, keadaan justru makin runyam. Apa sebabnya? Dan apakah rem Gas penanganan Covid-19 sudah menjadi cara terbaik?
Yang terbaru, pemerintah menerapkan pembatasan sosial di seluruh provinsi Jawa dan Bali berlaku 11-25 Januari 2021. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, mengatakan pembatasan kegiatan masyarakat ini diambil dengan merujuk pada aturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk menekan penularan virus corona (Covid-19) di seluruh provinsi di Pulau Jawa dan Provinsi Bali.
Keputusan tersebut sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19. “Penerapan pembatasan secara terbatas dilakukan provinsi di Jawa dan Bali karena seluruh provinsi tersebut memenuhi salah satu dari empat parameter yang ditetapkan,” kata Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC-PEN) yang penulis kutip dari CNNIndonesia.com, Rabu (6/1/2021).
Menanggapi hal tersebut, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menilai penerapan harus dilakukan untuk mendisiplinkan masyarakat meskipun akan berdampak pada lemahnya perekonomian Indonesia, demikian penulis kutip dari laman berita Republika.co.id, Kamis (7/1/2021).
Sri Mulyani menambahkan, “kita sudah tahu secara pasti covid ini memang harus dikelola luar biasa maka gas dan rem sangat penting. Kalau lihat eskalasi kasus yang haruskan kita semua harus kembali terapkan displin untuk turunkan kasus maka akan ada dampak terhadap perekonomian,”.
Mulyani menilai, dengan PSBB tersebut maka pengetatan kasus bisa berkurang walapun dirinya memperkirakan daya konsumi akan melambat. Namun tak ada pilihan lain selain PSBB dalam menekan penyebaran Covid-19.
Faktanya memang setiap kali liburan panjang, jumlah pasien positip Covid-19 bertambah. Hal itu juga karena tidak semua kepala daerah menutup tempat-tempat wisata atau tempat berkerumunnya massa yang lainnya, hanya dengan mengandalkan protokol kesehatan. Daerah juga tak bisa disalahkan, sejak otonomi daerah diberlakukan, otomatis daerah harus bisa mandiri mencukupi kebutuhan operasionalnya. Dan pariwisata adalah komponen tercepat untuk mendulang pendapatan. Arahan penanganan Covid-19 dari pusat untuk daerah juga tidak jelas.
Sebagaimana kasus penuhnya rumah sakit di Sidoarjo, Jawa Timur menjelang tahun baru yang lalu, hingga terpaksa mereka menolak pasien yang datang (Liputan6.com, Senin 28 Desember 2020). Jumlah pasien Covid-19 melebihi kapasitas rumah sakit, jelas pelayanan tidak akan maksimal namun tak ada upaya signifikan dari pemerintah daerah melihat lonjakan ini.
Namun masih saja yang menjadi fokus pemerintah adalah pertumbuhan ekonomi. Padahal jika saja sejak awal penanganan pemerintah terkonsentrasi pada penanganan pandemi, bisa jadi hari ini kita tak berkepanjangan menghadapi ganasnya penyebaran Covid-19.
Tarik rem atau gas yang sekarang diambil pemerintah, jika kita mau lebih terbuka, hanyalah kebijakan tarik ulur yang tak sampai pada akar persoalan. Justru ini semakin menelanjangi gagalnya pemerintah dalam menjamin kesehatan rakyatnya. Sebab, ketika PSBB kembali diberlakukan tidak ada lagi pengaturan di sisi lain kecuali prokes yang tak boleh ditinggalkan.
Jika memang benar PSBB kedua dilakukan, maka harus bisa dipastikan beberapa hal. Pertama, pendataan yang akurat siapa yang sakit dan siapa yang sehat. Yang sehat diminta untuk tetap beraktifitas biasa sedang yang sakit akan diminta untuk melakukan isolasi, bukan di rumah tapi di fasilitas kesehatan yang ditunjuk oleh pemerintah, berikut jaminan hidup mereka secara total terhadap dirinya dan keluarganya hingga ia sehat.
Kedua, memastikan bagi yang bekerjapun mendapatkan haknya dengan sebagaimana mestinya. Baik dimudahkannya mencari pekerjaan, pemberian modal jika memang dibutuhkan, bergerak maupun tidak. Dan hari ini hubungan negara dan pekerja/rakyatnya makin tak harmonis, terlebih setelah disahkannya UU Omnibuslaw. Pasal demi pasal makin tak berpihak pada pekerja.
Ketiga, penanganan Covid-19 gak bisa hanya rakyat yang disalahkan karena tidak disiplin, bahkan ketua Umum PDIP, Megawati Soekarno Putri dengan teganya mengatakan rakyat tak tahu malu, padahal presiden hanya mengajak untuk disiplin protokoler kesehatan. Namun tahukah beliau jika saja jaminan negara totalitas terhadap pemenuhan kebutuhan rakyat secara total rakyat tak akan “bandel” dengan terus menerus melanggar aturan, sebab perut lapar perlu diisi, terlebih kini biaya hidup mahal.
Keempat, negara harus memberikan informasi yang berimbang berikut edukasi kepada masyarakat agar suasana keimanan menghadapi cobaan ini tidak apatis, namun justru memberikan kekuatan untuk terus berhubungan dengan Sang Pemberi Hidup. Ketaatan yang akan berbuah tunduk, untuk terus terikat dengan hukum syariat dan menghindari hal-hal yang dibenci Allah SWT.
Masih hangat dalam pembicaraan soal Vaksin Sinovac yang kontroversial, informasi pemerintah masih simpang siur, padahal Vaksin sudah sampai di beberapa wilayah. Dimana jaminan rakyat untuk rasa aman? Tidak seharusnya pemerintah membuat takut rakyat di tengah ketidakpastian.
Kelima, pembiayaan negara untuk penanganan covid-19 hendaknya bukan berasal dari utang. Pun demikian dengan pemenuhan kebutuhan rakyat, sebab seandainya kita sudah terbebas dari Covid-19 akan ada hal yang menunggu yaitu keharusan pembayaran riba. Jika Menkeu mengatakan akan ada pelemahan ekonomi pasca PSBB tak sepenuhnya benar, sebab jauh sebelum Covid-19 sudah melemah akibat negara kita mengadopsi sistem ekonomi kapitalis. Dimana sektor-sektor ekonomi yang seharusnya bisa diakses rakyat dengan mudah kini dikuasai korporasi.
Rakyat kesulitan, negarapun berat. Seringkali terlontar dari lisan penguasa jika rakyatlah sumber beban mereka, padahal ini hanyalah salah atur. Islam telah mencontohkan sistem aturan yang lebih adil dan berimbang. Menjamin produktifitas ekonomi sehat dan yang pasti berkah dunia akhirat. Jika kita Muslim adakah pilihan yang lain?
Wallahu a’ lam bish showab.
**). Penulis saat ini aktif di Institut Literasi dan Peradaban