Penulis: Aisyah Karim**
JUMLAH imigran Rohingya yang ditampung dari kamp sementara gedung bekas Balai Latihan Kerja (BLK) Kandang, di Gampong Meunasah Mee, Kecamatan Muara Dua, Kota Lhokseumawe semakin berkurang sejak pengaman TNI Polri ditarik pada 4 Desember 2020 lalu. Mengutip dari serambinews.com tertanggal 8 November 2021 kamp bekas BLK tampak sepi dari sebelumnya. Kepala Dinas Sosial Kota Lhokseumawe Ridwan Jalil mengaku mengetahu kondisi tersebut. Sisa imigran Rohingya hanya berkisar 100 orang dari 352 orang yang terdata oleh pihaknya.
Kabar yang diperoleh menyebutkan, banyak imigran kini kabur masih berada di pemukiman warga, ada juga yang telah melarikan diri keluar daerah bahkan kabur ke Malaysia tanpa difasilitasi UNHCR sebagai penanggung jawabnya. Pemko Lhokseumawe sebelumnya telah menyarankan kepada UNHCR agar memfasilitasi imigran bertemu keluarga dan kerabatnya yang berada di Medan, Kalimantan maupun di Malaysia. Seharusnya imigran tidak dibiarkan kabur secara liar sehingga membahayakan diri mereka sendiri.
Disisi lain keberadaan ratusan imigran ternyata dimanfaatkan sejumlah pihak untuk mengambil keuntungan. Mereka nyaris menjadi korban perdagangan manusia (human trafficking). Beberapa kasus penyelundupan imigran berhasil digagalkan aparat. Pada 12 Desember 2020 Kodim 0103 Aceh Utara menggagalkan upaya penyelundupan 20 wanita Rohingya dari kamp penampungan sementara. Mereka diamankan di tiga lokasi berbeda, termasuk seorang wanita yang menjadi agen untuk membawa warga Rohingya ke Medan, Sumatera Utara seterusnya ke Malaysia.
Penyelundupan tersebut melibatkan pengusaha travel asal Medan. Selain itu juga melibatkan agen warga negara Malaysia yang berkedudukan di Jakarta. Polda Aceh melalui Ditreskrimum mengamankan empat orang pelaku yang diduga melakukan penyelundupan imigran Rohingya. Penyelundupan dilakukan para tersangka dengan menjemput korban di tengah laut Seunuddon, Aceh Utara menggunakan kapal penangkap ikan pada 22 Juni 2020. Dalam kapal tersebut terdapat 99 orang imigran Rohingya. Mereka di turunkan di pinggir pantai desa Lancok, Kecamatan Syamtalira Bayu, Aceh Utara.
Dalam peringatan 20 tahun konvensi PBB melawan kejahatan lintas negara terorganisir (United Nations Convention against Transnational Organized Crime) Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi menyinggung masalah pengungsi etnis Rohingya sebagai bentuk kejahatan penyelundupan dan perdagangan manusia terorganisir di kawasan. Indonesia kembali menekankan pentingnya penyelesaian masalah Rohingya dari akar masalahnya melalui repatriasi secara suka rela, aman dan bermartabat.
Repatriasi sendiri adalah kembalinya suatu warga negara dari negara asing yang pernah menjadi tempat tinggal menuju tanah asal kewarganegaraannya. Menilik dari sosiohistoris etnis Rohingya menjadi manusia perahu justru karena terusir dari tanahnya sendiri, maka repatriasi damai dan aman tidak akan mungkin menjadi kenyataan.
Pada akhirnya imigran yang telah bertaruh nyawa selamat dari amukan tentara Myanmar dan lolos dari kematian kedua di lautan dan terdampar di berbagai negeri di wilayah tetangganya harus menelan pil pahit ketika mereka toh pada akhirnya dikembalikan ke Myanmar. Wajar kiranya mereka kabur.
Kisah Gura Amin, remaja 19 tahun yang dilaporkan bbc.com tertanggal 9 Januari 2021 lebih dari cukup untuk menggambarkan bahwa mereka tak memiliki tempat di Myanmar. Gura mengaku menghabiskan tujuh bulan di laut, duduk di kapal-pengalaman yang disebutnya “seperti anjing”. Saat berada di tempat penampungan pengungsi Rohingya, wartawan Rohingnya mengatakan beberapa anak menghampirinya dan bertanya apakah dia adalah seorang Rohingya. JN Joniad-wartawan bbc berkata, “Ya adik kecil.” Mereka kemudian bertanya lagi, “Pak, apakah kami bisa bersekolah di Indonesia?” Pertanyaan itu tak bisa dijawabnya.
Hasrat untuk mengenyam pendidikan juga dimiliki Gura Amin.
“Satu-satunya alasan saya mempertaruhkan nyawa dengan menyeberangi lautan adalah menemukan negara di mana saya bisa menempuh studi. Karena di negara saya sendiri, saya ditolak mendapat pendidikan,” kata Gura Amin.
Gura Amin dan anak-anak Rohinya yang lain sebagaimana kita masyarakat Aceh warga negara Indonesia, Muslim yang dipertalikan akidah oleh Rasulullah SAW, mendapatkan diri mereka dalam pertanyaan yang tidak sederhana. Mengapa kita berbeda padahal Islam telah mempersaudarakan kita? Mengapa ketika mereka hadir ke negeri kita, mendapatkan pertolongan saudara seimannya, namun tak ada keamanan, kedamaian disisi saudaranya ketika traktat-traktat internasional mengambil peran atas nasib dan masa depan mereka?
Inilah politik negara bangsa, yang telah menyandera persatuan iman dalam sekat-sekat nasionalisme yang bathil. Meski tanah kita luas kita tak dapat menyerahkan kepada mereka meski semeter saja. Kendati keimanan kita memanggil-manggil pilu menyaksikan anak-anak mereka yang menatap penuh trauma dan derita tak terperi namun hukum internasional dan hukum nasional Indonesia menghalangi gapaian tangan-tangan mungil itu.
Sungguhpun Universal Declaration Of Human Right (UDHR) menyatakan bahwa hak asasi merupakan hak-hak yang dimiliki manusia sejak lahir yang inhern, universal dan tidak dapat dirampas siapapun tanpa membedakan jenis kelamin, warna kulit, suku, agama maupun status sosial yang lainnya. Rohingya adalah salah satu umat manusia yang mencampakkan klausul-klausul tersebut ke tanah. Hak tersebut yang tidak dapat diberikan, dibeli, dan diwarisi oleh siapapun. Hak yang merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Semua itu, adalah omong kosong.
UDHR dalam Pasal 14 menyatakan bahwa “setiap orang berhak mencari dan menikmati suaka di negeri lain untuk melindungi diri dari penganiayaan”. Inilah landasan para pencari suaka dan pengungsi di berbagai belahan dunia. Pengungsi adalah orang yang terpaksa memutuskan hubungan dengan negara asalnya karena takut yang berdasar dan mengalami persekusi. Rasa takut inilah yang membedakan pengungsi dengan jenis migran yang lain. Pengungsi tidak dapat mengandalkan perlindungan dari negara yang seharusnya memberi perlindungan kepada mereka.
Apakah status pengungsi ini murah? Didapat begitu saja? Tentu tidak Saudara. Pengungsi adalah satu status hukum yang diakui oleh hukum internasional dan/atau nasional. Seseorang yang telah diakui statusnya sebagai pengungsi akan menerima kewajiban-kewajiban serta hak-hak yang ditetapkan. Seorang pengungsi adalah sekaligus pencari suaka. Sebelum status pengungsinya diakui maka pertama-tama ia adalah pencari suaka. Status sebagai pengungsi merupakan tahap berikut dari proses beradanya seseorang di luar negeri.
Inilah hukum internasional peradaban mutakhir, sungguh untuk hak-hak asasi saja jalan yang ditempuh demikian panjang tanpa ada kepastian garansi akan sampai di tujuan dengan sehat dan selamat, sebagian besarnya bahkan mengubur mimpinya ditengah jalan. Laman voaindonesia.com pada 3 Januari 2020 menyebut krisis pengungsi di seluruh dunia semakin memburuk.
Menurut PBB, kini ada “tingkat perpindahan manusia tertinggi yang pernah dicatat dalam sejarah”. Sementara kelompok-kelompok HAM bicara soal “krisis solidaritas” diantar pengungsi dan negara yang secara historis menyambut mereka. Kelompok-kelompok ini mencatat peningkatan tingkat pengembalian paksa dan repatriasi oleh negara-negara maju. Uni Eropa, Amerika, Australia dan banyak negara kaya lainnya telah memblokir para pengungsi. Padahal boleh jadi negara-negara maju inilah yang telah meninggalkan jejak hitam dan berdarah yang berdampak penindasan dan krisis terjadi di negara asal para pengungsi.
Ribuan pengungsi Suriah memasuki Eropa kemudian mendapat penolakan dan kehidupan yang menyedihkan. Mereka melintasi perbatasan antara Turki dan Yunani dan menderita kedinginan. Bayi-bayi meninggal dalam keadaan membeku. Sebagian dari mereka memasuki negeri-negeri Muslim di sekitarnya seperti Lebanon dan Turki. Namun kondisi mereka tidak jauh berbeda. Liga Arab yang sempat mengunjungi pengungsi Suriah di Lebanon menilai kondisi mereka sangat menyedihkan.
Para Pengungsi dari balik tempat pengusian yang menyedihkan itu, menghapus airmatanya. Anak-anak berkata bahwa mereka akan mengadukan umat ini kepada Allah. Mereka dibantai, mereka ditindas, mereka lari ke negeri saudaranya, namun mereka tak berdaya. Kapitalisme sekuler telah melunturkan ikatan ukhuwah Islamiyah melenyapkan kepedulian. Sementara para pemimpin negera-negara kaum Muslim, oleh karena pertalian political will negara-negara bangsa dan kepentingan nasionalnya telah menyerahkan mereka kembali kepada para penjagal.
Sungguh umat ini menahan rindu pada kisah kaum Anshar menerima muhajirn Mekah. Umat ini rindu pada Khalifah Umar bin Khathab yang membuka Madinah dan melayani seluruh pengungsi dengan mendirikan dapur-dapur umum dan rumah-rumah singgah yang nyaman. Sungguh umat ini merindukan kekuasaan Islam yang dijanjikan bukan kekuasaan seorang pemimpin Muslim dalam genggaman penjajah.[]