Aneh bin ajaib. Kandidatnya menang, partainya ketinggalan. Sebuah paradoks demokrasi yang lagi-lagi timbul karena rezim presidential threshold.
Selain itu, presidential threshold berefek pada tidak terbangunnya tradisi politik yang baik. Parpol mandul sebagai dapur kaderiasasi kepemimpinan. Alih-alih menyodorkan kader, parpol malah lebih sibuk mencari figur dari luar, yang kuat dan punya magnet di masyarakat.
Presidential threshold mematikan fungsi partai sebagai laboratorium pemimpin bangsa. Pada akhirnya, elit partai terjebak berpikir jangka pendek jelang pemilu. Memberikan jas kepada figur yang dianggap mampu memenuhi syarat. Terutama uang mahar pembeli tiket yang sudah jadi rahasia umum.
Mekanisme ini akhirnya jadi portal bagi oligark pemilik modal menancapkan pengaruhnya. Ongkos politik yang tinggi untuk kampanye, dan berbagai kebutuhan lain, tidak mungkin dapat dibiayai seorang kandidat. Satu-satunya cara yang memungkinkan proses tersebut berlanjut, adalah dengan membuka “partisipasi” pihak ketiga.
Potret partai paceklik figur menghadapi Pilpres 2024, memvalidasi kekhawatiran kita terhadap komorbid presidential threshold. Nasib parpol-parpol papan tengah dan papan bawah kini terancam menggantang asap. Daya tawar melemah. Jika gagal menemukan figur yang tepat, dan dibekali modal popularitas serta sokongan kapital mumpuni, nasibnya bisa terbenam di pemilu 2024.
Status sebagai pemegang tiket ke gelanggan, rupanya serba tanggung dan tak pasti karena urusan ambang batas pencalonan. Bahkan sangat mungkin di tikungan akhir nanti, ada parpol yang terpaksa menyodorkan tiket gratisan. Demi dapat tempat duduk di dalam gerbong.
Dinamika poitik yang terjadi tak hanya bikin elit parpol kerepotan bermanuver dan ketakutan tertinggal kereta, publik juga dibuat lelah dengan aneka drama yang jauh dari kata memperjuangkan kepentingan rakyat. Situasi pelik ini semestinya menjadi pembelajaran bagi semua parpol. Presidential threshold telah membuka mata kita tentang pangkal semua problematika politik yang terjadi di Indonesia.
Saat perolehan suara masih tinggi, atau masih punya rekan koalisi, presidential threshold mungkin dianggap hal biasa. Tapi siapa yang berani jamin, pada pemilu mendatang suara partai tak jeblok. Tidak ada yang bisa memaksa partai lain agar tetap mau jalan bareng dalam satu atap koalisi sementara kepentingnya sudah berubah.
Karena itu, perlu langkah berani untuk mendobrak segala kebuntuan ini dengan melakukan gugatan terhadap presidential threshold. Ambang batas pencalonan ini tidak kompatibel dengan demokrasi yang hendak kita bangun. Presidential threshold merusak tatanan dan infrastruktur politik Indonesia.
**). Penulis adalah Ketua Kelompok/Ketua Fraksi DPD di MPR RI
Sumber: Republika