Jumat, 26/04/2024 - 05:55 WIB
IndonesianArabicEnglishRussianGermanFrenchChinese (Simplified)JapaneseMalayHindi

TERBARU

IN-DEPTH

Presidential Threshold, Partai Minder dan Kuburan

ADVERTISEMENTS

Partai politik justru minder menawarkan kadernya sendiri.

ADVERTISEMENTS
Ucapan Selamat Memperingati Hari Kartini dari Bank Aceh Syariah
ADVETISEMENTS
Ucapan Belasungkawa Zakaria A Rahman dari Bank Aceh

Penulis: Tamsil Linrung** 

ADVERTISEMENTS
Ucapan Selamat dan Sukses atas Pelantikan Reza Saputra sebagai Kepala BPKA

ERA rezim ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold) di tubir jurang. Gerilya elit politik mencari figur untuk diusung dalam kontestasi pilpres 2024, mengindikasikan sistem pemilu berbasis presidential threshold tak lagi relevan. Tiket milik partai politik terancam kadaluwarsa.

ADVERTISEMENTS
Manyambut Kemenangan Idul Fitri 1445 H dari Bank Aceh Syariah

Hak eksklusif sebagai pemilik tiket ke gelanggang pilpres, terbukti tak bisa jadi pegangan. Posisi tak digaransi aman. Dinamika politik paling anyar memaksa semua partai memasang kuda-kuda. Menatap Pilpres 2024, koalisi pemerintah pecah. Jagoan yang kemungkinan diusung berbeda.

ADVERTISEMENTS

Dalam imajinasi rezim, presidential threshold semestinya menguntungkan koalisi pemerintah saat ini. Akumulasi perolehan kursi di DPR sebesar 82 persen, memungkinkan parpol yang bernaung di bawah atap Istana melenggang dengan mulus ke babak kekuasaan selanjutnya.

ADVERTISEMENTS
Mudahkan Hidup Anda!, Bayar PBB Kapan Saja, Di Mana Saja! - Aceh Singkil

Namun celaka. Koalisi retak. Langkah tak lagi kompak. Terjadi perbedaan selera soal siapa yang bakal diusung pasca Presiden Joko Widodo. Beberapa menteri telah terang-terangan bermanuver. Mengorganisir relawan dan memanfaatkan jabatan untuk tampil menawarkan diri ke publik. Termasuk dilakukan oleh yang tak punya partai politik.

Perbedaan preferensi setelah Jokowi, tak lepas dari kepentingan yang juga tak lagi sama. Joko Widodo sendiri diyakini tidak bakal gegabah taken for granted. Kepentingan terbesar Jokowi setelah lengser nanti, adalah memastikan sosok penggantinya bisa menjamin posisi Jokowi aman secara hukum, dan juga secara politik. Syukur-syukur kebijakannya diteruskan.

Dengan kondisi koalisi pemerintah yang kocar-kacir seperti sekarang, bandul politik Jokowi lemah. Sebagai petugas partai, politisi asal Solo ini tidak punya kewenangan mengonsolidasi partai lain. Kecuali atas nama jabatan publik yang melekat di masing-masing pimpinan partai. Jokowi sebagai Presiden.

Saat ini, PDIP satu-satunya parpol yang memegang golden ticket. Tiket berstatus akses penuh dan dapat mencalonkan pasangan presiden dan wapres. PDIP meraih 22,26% kursi di DPR.

Kendati demikian, elektabilitas Puan Maharani, jagoan partai besutan sang ibunda, masih jauh dari harapan. Sehingga semua analisis memproyeksi Puan akan disodorkan pada posisi calon wakil presiden. Kans Puan lebih terbuka jika menempel pada figur dengan elektabilitas tinggi.

Cuma ada tiga nama yang konsisten mengorbit di tiga urutan teratas semua lembaga survei. Yaitu Anies Baswedan, Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo. Informasi yang beredar memperlihatkan kedekatan tidak biasa antara Puan Maharani dengan Anies Baswedan.

Pertanyaannya, bagaimana nasib partai-partai, pemilik tiket tidak penuh? Sejauh mana petualangan partai-partai itu mengompromikan kepentingan, mencari figur serta ongkos untuk masuk gelanggang.

Elit partai kini kasak kusuk mencoba berbagai formula. Kongsi masih teka-teki. Kompromi terus dijajaki agar tiket terpakai. Punya harga, dan tidak kedaluwarsa di gelanggang kontestasi.

Di level pimpinan partai, tidak ada nama yang mentreng. Paling banter Prabowo Subianto. Tapi patut dicatat, Gerindra bukan pemegang golden ticket. Prabowo masih harus mencari rekan koalisi untuk mengajukan nama dan masuk ke arena.

Sementara partai-partai lain tampak inferior. Tidak pede menawarkan kandidatnya. Rasa rendah diri itu tercermin dari minimnya nama elit partai di bursa survei sebagai figur yang dikehendaki rakyat. Memang beberapa ketua umum terus menyodorkan diri melalui sosialisasi masif, namun elektabilitasnya mentok. Tak pernah beranjak ke angka yang bikin sumringah.

Inilah dampak buruk desain pemilu berbasis ambang batas perolehan suara yang diterapkan di Indonesia. Selain membatasi figur pada pilihan-pilihan terbatas, presidential threshold juga menjelma menjadi kuburan bagi partai politik. Pengalaman pemilu sebelumnya, sejumlah partai akhirnya gagal ke Senayan karena tak mampu meraih cottail effect akibat tak memunculkan figur. Malah mengampanyekan figur dari partai lain.

x
ADVERTISEMENTS
1 2

Reaksi & Komentar

Berita Lainnya

Tampilkan Lainnya Loading...Tidak ditemukan berita/artikel lainnya.
IndonesianArabicEnglishRussianGermanFrenchChinese (Simplified)JapaneseMalayHindi