Selasa, 23/04/2024 - 23:13 WIB
IndonesianArabicEnglishRussianGermanFrenchChinese (Simplified)JapaneseMalayHindi

TERBARU

NASIONAL
NASIONAL

Peneliti BRIN: Pemekaran Papua tak Melalui Proses Kultural

ADVERTISEMENTS

Tak ada konsultasi publik dengan masyarakat di tujuh wilayah adat.

ADVERTISEMENTS
Ucapan Selamat Memperingati Hari Kartini dari Bank Aceh Syariah
ADVETISEMENTS
Ucapan Belasungkawa Zakaria A Rahman dari Bank Aceh

JAKARTA — Peneliti Pusat Riset Kewilayahan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Cahyo Pamungkas, mengatakan, rencana pembentukan daerah otonomi baru (DOB) Papua lebih menonjol karena alasan politis. Menurut dia, pemekaran Papua tidak melalui proses kultural, seperti konsultasi publik dengan masyarakat di tujuh wilayah adat.

ADVERTISEMENTS
Ucapan Selamat dan Sukses atas Pelantikan Reza Saputra sebagai Kepala BPKA


“Sehingga secara proses saya kira ini tidak melalui proses kultural, tidak melalui proses komunikasi yang luas,” ujar Cahyo saat dihubungi dikutp HARIANACEH.co.id, Kamis (30/6/2022).

ADVERTISEMENTS
Manyambut Kemenangan Idul Fitri 1445 H dari Bank Aceh Syariah


Dia mengatakan, pemekaran Papua kali ini memang bersifat topdown, berasal dari inisiatif DPR bersama pemerintah pusat. Dia menyebut, pejabat bupati khususnya pejawat atau yang sedang berkuasa bersama jajarannya, anggota DPRD, elite-elite orang asli Papua, dan beberapa kepala suku yang dekat dengan pemerintah, ikut dilibatkan atau mendukung pemekaran.

ADVERTISEMENTS


Namun, Cahyo sendiri tak bisa menegaskan, apakah mayoritas akar rumput mendukung atau menolak pemekaran. Sebab, kata dia, tidak ada survei yang dilakukan kepada masyarakat Papua terkait rencana DOB ini.

ADVERTISEMENTS
Mudahkan Hidup Anda!, Bayar PBB Kapan Saja, Di Mana Saja! - Aceh Singkil
Berita Lainnya:
Kapolda Papua: Korban Kekerasan Oknum Prajurit TNI adalah Anggota KKB


Di sisi lain, dia mengatakan, terjadi arus penolakan pemekaran yang besar di akar rumput, seperti dari Dewan Adat Papua (DAP), Majelis Rakyat Papua (MRP), dan Konferensi Besar Masyarakat Adat Papua (KBMAP) di Kaimana beberapa waktu lalu. Akan tetapi, Cahyo tidak mengetahui arus penolakan ini mayoritas atau tidak. 


“Jadi saya melihat di grass root ada arus penolakan yang besar tapi saya tidak tahu itu mayoritas atau bukan,” ucap dia.


Di samping itu, lanjut dia, ada pula yang mendukung seperti masyarakat pendatang, Laskar Merah Putih, dan Barisan Merah Putih. Dengan demikian, terjadi polarisasi di Papua antara yang menolak dan mendukung pemekaran. 


“Ada yang menerima, terutama kelompok-kelompok yang dimobilisasi oleh pemerintah seperti Laskar Merah Putih, Barisan Merah Putih, lembaga masyarakat adat, jadi polarisasi. Ada masyarakat pendatang yang masyarakat nusantara,” tutur Cahyo.


Salah satu hal yang menggambarkan pemekaran Papua bersifat politi ialah penetapan ibu kota provinsi baru Komisi II DPR dan pemerintah bersepakat menempatkan ibu kota Provinsi Papua Tengah di Kabupaten Nabire, berubah dari rencana awal di Kabupaten Mimika. 

Berita Lainnya:
BRIN: Minyak Sawit Paling Memungkinkan Diolah Jadi Energi


Dia menerangkan, sebagian masyarakat asli Nabire masih menganggap mereka masuk wilayah budaya Saereri, bersamaan dengan Kabupaten Biak Numfor, Waropen, Supiori, Kepulauan Yapen, di Provinsi Papua. Sedangkan secara geografis, Kabupaten Nabire memang masuk Papua Tengah. 


Demikian juga dengan Kabupaten Mimika, Cahyo menyebut, Mimika adalah tempat orang-orang Kamoro. Secara kultural, Mimika masuk wilayah adat Bomberai bersamaan dengan Fakfak, Kaimana, dan Teluk Bintuni.


“Jadi ibu kotanya ya gimana ya harus kalau memang benar-benar sesuai dengan wilayah adat mungkin ya bisa di tempat lain, di Enarotali, atau di mana ya, karena itu problematik,” kata dia.


Karena itu, untuk penetapan ibu kota pun seharusnya melibatkan DAP, MRP, dan tokoh agama yang mengetahui batas-batas kultural. Bahkan, menurut Cahyo, perlu juga melibatkan akademisi dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik serta jurusan Antropologi Universitas Cendrawasih bersama lembaga-lembaga terkait lainnya.


“Saya kira itu politis penetapan ibu kota provinsi pada akhirnya bermuara pada perdebatan politik,” tutur Cahyo.


 


 


 


Sumber: Republika

x
ADVERTISEMENTS

Reaksi & Komentar

Berita Lainnya

Tampilkan Lainnya Loading...Tidak ditemukan berita/artikel lainnya.
IndonesianArabicEnglishRussianGermanFrenchChinese (Simplified)JapaneseMalayHindi