Jumat, 19/04/2024 - 23:37 WIB
IndonesianArabicEnglishRussianGermanFrenchChinese (Simplified)JapaneseMalayHindi

TERBARU

NASIONAL
NASIONAL

Denny Indrayana Sebut PT 20 Persen Bisa Inkonstitusional Jika MK tidak Independen

ADVERTISEMENTS

Sikap MK dinilai bisa berubah jika calon dari Istana terhambat PT 20 persen.

ADVERTISEMENTS
Ucapan Selamat dan Sukses atas Pelantikan Reza Saputra sebagai Kepala BPKA

JAKARTA — Kuasa Hukum Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Denny Indrayana mengungkapkan, ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold (PT) 20 persen bisa dianggap inkonstitusional bila terjadi dua perubahan. Pertama, sikap Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap konstitusionalitas PT 20 persen berubah ketika calon-calon yang dijagokan Istana, atau partai-partai besar tidak bisa maju lantaran terhambat aturan PT 20 persen tersebut.

ADVERTISEMENTS
Manyambut Kemenangan Idul Fitri 1445 H dari Bank Aceh Syariah

 

ADVERTISEMENTS

“Jadi, kalau partai-partai besar dan Istana punya calon yang kemudian tidak bisa maju karena presidential threshold, kemudian kekuatan-kekuatan politik ini ingin menghilangkan presidential threshold agar figur-figur seperti Anies, atau Ganjar atau siapapun yang kesulitan maju itu punya peluang atau siapapun yang lain yang punya peluang, maka perubahan konfigurasi politik ini, sayangnya bacaan saya, bisa mempengaruhi positioning putusan MK,” kata Denny dalam diskusi daring, Rabu (13/7/2022).

 

Denny menuturkan, jika itu yang terjadi, maka MK tidak bersikap independen. Selain itu, dirinya juga khawatir persoalan hukum bukan hanya semata-mata hukum an sich. “Saya khawatir memang ada dipengaruhi dua; kekuatan politik, kekuatan kalau mafia hukum itu kekuatan transaksional, itu satu, perubahan konfigurasi politik,” katanya.

ADVERTISEMENTS
Mudahkan Hidup Anda!, Bayar PBB Kapan Saja, Di Mana Saja! - Aceh Singkil
Berita Lainnya:
Dulu Kesal, Kini Said Didu Paham Kenapa Megawati Sebut Jokowi Petugas Partai

Denny menambahkan, hal lain yang juga bisa mempengaruhi konstitusionalitas PT 20 persen adalah perubahan konfigurasi hakim MK. Menurutnya, ketentuan pasal soal PT 20 persen bisa inkonstitusional apabila ada tiga hakim lain mengubah positioning mereka terkait pasal tersebut.

 

“Kalau sekarang disenting opinion itu hanya dua, tujuh-dua, akan ada perubahan posisi tentang konstitusionalitas presidential threshold ini kalau ada tiga hakim lain sehingga lima-empat gitu, sehingga mengubah positioning presidential threshold itu memang bukan open legal policy dan pasal tentang ini (PT 20 persen) bertentangan dengan undang-undang dasar,” ucapnya.

 

Guru Besar Hukum Tata Negara itu menilai bukan sekali dua kali MK mengubah sikap mereka. Sebelumnya, MK pernah memberikan kekuatan yang luar biasa terhadap lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan menolak uji konstitusionalitas Undang-Undang KPK. Namun MK kemudian menerima perubahan UU KK yang dinilai mengurangi kekuatan KPK.

 

“Saya ingin katakan, ya MK bisa berubah dari hukumnya menguatkan KPK yang independen kemudian mengeluarkan posisi KPK yang di bawah Presiden. Itu untuk mengatakan bahwa kalau ada perubahan konsekuensi politik dan ada perubahan komposisi hakim, politik hukum yang demikian bisa menghasilkan putusan hukum yang berbeda,” jelasnya.

 

Sementara itu, Jubir MK, Fajar Laksono mengatakan, terkait PT 20 persen MK belum merasa perlu mengubah pendiriannya dari putusan-putusan terdahulu. Prinsipnya, penafsiran konstitusional MK hari ini memperhatikan putusan terdahulu.

Berita Lainnya:
Statistik Laga Buktikan Timnas U-23 Indonesia Ungguli Qatar, Tapi Wasit 'Berat Sebelah'

 

“Yang pertama itu dikaitkan dengan penguatan sistem presidential, kemudian penyederhanaan parpol secara alamiah, kira-kira dua hal itu pendirian MK dalam pemilihan tafsir konstituional hari ini terkait dengan PT. Karena itu, permohonan Bang Denny (Indrayana), dan permohonan terdahulu itu nyatanya memang sampai saat ini belum bisa membuat pendirian MK berubah,” kata Fajar.  

 

Sebelumnya, MK menolak gugatan atau pengujian Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) terkait dengan ambang batas pencalonan presiden. Gugatan ini diajukan DPD dan Partai Bulan Bintang (PBB)


“Menyatakan permohonan Pemohon I tidak dapat diterima, dan menolak permohonan Pemohon II untuk seluruhnya,” kata Ketua MK, Anwar Usman saat membacakan amar putusan perkara Nomor 52/PUU-XX/2022 yang disiarkan MK secara virtual di Jakarta, Kamis (7/7/2022).

Selain menolak permohonan gugatan kedua pemohon, ketua MK mengatakan, DPD selaku pemohon I juga tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo. Sementara itu, PBB selaku pemohon II yang diwakili oleh Yusril Ihza Mahendra memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, tetapi pokok permohonannya tidak beralasan menurut hukum.

x
ADVERTISEMENTS
1 2

Reaksi & Komentar

Berita Lainnya

Tampilkan Lainnya Loading...Tidak ditemukan berita/artikel lainnya.
IndonesianArabicEnglishRussianGermanFrenchChinese (Simplified)JapaneseMalayHindi