Meriahnya Perayaan Hoyak Tabuik di Pariaman pada Masa Kolonial Belanda

Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto

Perayaan Tabuik di Parimanan pada tahun 1936. FOTO/media-kitlv.nl

ADVERTISEMENTS

Pada tahun 1936 sempat memicu perkelahian serius antara penduduk dua kampung

ADVERTISEMENTS

Penulis: Fikrul Hanif Sufyan**

ADVERTISEMENTS
ADVERTISEMENTS

HAMPIR dua tahun, perayaan Tabut (baca: Tabuik) tidak diselenggarakan di Kota Pariaman. Sebelumnya, agenda tahunan ini, menjadi ajang iven pariwisata di Pariaman itu, dan terus diselenggarakan. Di puncak perayaannya, seluruh masyarakat yang hadir dari penjuru Sumatra Barat, tumpah ruah menyaksikan akhir dari prosesi Tabuik yang dibuang ke laut pada pukul 18.00.

ADVERTISEMENTS
ADVETISEMENTS

Bulan Muharam, bagi orang Minang tidak saja identik dengan perayaan tahun baru Islam, selamatnya Musa dan kaum Yahudi dari kejaran Fir’aun pada 10 Muharram, namun juga peringatan terhadap kematian cucu Rasulullah saw dalam peristiwa Padang Karbala. Peristiwa Asyura itu, terjadi tepat pada 10 Muharam tahun 61 Hijriyah –atau bertepatan dengan  10 Oktober tahun  680. Mereka memaknai dengan perayaan Tabut (baca: Tabuik).

ADVERTISEMENTS

Barangkali, agak aneh ritual yang biasanya dirayakan oleh Islam Syiah,  dirayakan oleh di pinggir pantai Kota Pariaman yang mayoritas masyarakatnya ber-Mazhab Syafii. Bila ditelisik jauh di masa lampau, perayaan itu tidak ujuk-ujuk hadir pada hari ini.

ADVERTISEMENTS

Dalam catatan arsip, dan surat kabar masa Kolonial Belanda ditemukan, bahwa perayaan Tabuik telah berlangsung sejak lama, dan dimuat dalam pemberitaan pada akhir abad ke-19. Ditenggarai, ritual ini dibawa oleh orang Persia dan India yang bermukim di pesisir pantai Barat Sumatra.

ADVERTISEMENTS

Dan menariknya, ritual perayaan ini tidak hanya hadir di Pariaman, namun juga di Kota Padang. Adalah pewarta berkebangsaan Belanda bernama  J.A Kroyt, J.L Vogt dan lainnya pernah mengabadikan peristiwa peringatan Tabuik ini dalam kurun waktu akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.

ADVETISEMENTS

Dari beberapa catatan jurnalis itu, banyak menyoroti tentang rentetan trilogi, yakni Tabuik Basilisiah.  Bagi orang Pariaman, dari dulu sampai kini, bagian ini yang menjadi daya tarik tersendiri. mereka berbondong-bondong menyaksikan atraksi ini memenuhi kawasan di sekitar Simpang Tabuik.

Pada 8 April 1936, jurnalis Vogt menyoroti perayaan Tabuik yang mereka sebut festival rakyat di Pariaman (Advond Post, 9 April 1936).  Dalam laporan reportasenya disebut, terjadi perkelahian sengit antara penduduk dua kampung, yang mengakibatkan banyak yang terluka. Peristiwa baku hantam di antara dua kampung itu, memang tidak lepas dari ritual Tabuik Basilisiah.

Perayaan populer di Pariaman pada tahun 1936 itu, memicu perkelahian serius antara penduduk dua kampung, menyebabkan banyak yang terluka (Algemeen Handelsblad, 09 April 1936). Bagi kedua kampung yang terlibat perkelahian, adalah hal yang biasa dan menjadi bagian dari ritual Tabuik. Karena bagi mereka yang berkonflik, setelah perayaan Tabuik akan kembali berdamai.

Namun, ritual yang terjadi pada tahun 1936, memang lebih keras dibandingkan tahun sebelumnya.  Tahun sebelumnya, pada 1935, dalam festival Tabuik tidak terjadi ‘pertarungan’ penting yang terjadi. Perkelahian yang menyebabkan luka-luka itu, ketika melewati dua Tabut, satu orang mematahkan lengannya.

Tabuik yang disebut  festival Hasan-Husain, menurut Vogt dirayakan selama sepuluh hari pertama bulan pertama tahun Muhammad untuk memperingati kesyahidan Hasan dan Husain, putra Ali Oleh Fatimah. Advont Post menyebut Tabuik adalah menara berbentuk perangkat teralis dan kertas berwarna, yang dibawa dalam prosesi pada hari terakhir hari Asyura.

Dua tahun kemudian, kembali perayaan Tabuik diliput media. Sorak sorai “Hoyak-hoyak Hosen…!”, “Hassan-Hussain”…!”  “Hassan-Hussain…!” terus menggema sepanjang dua tabuik diarak keliling kampung. Deli Courantmenyebut perayaan hari Asyura ini sebagai “Kemeriahan Hari Raya Orang Minangkabau di Padang dan Pariaman” (Deli courant, 12 Maret 1938).  

Bahkan Deli Courant mewartakan, beberapa hari kemeriahan Tabuik yang berlangsung di pinggir pantai Barat Sumatra itu, telah dirayakan sejak dahulu kala. Sepanjang hari para penduduk kampung berkeliling dengan tabuik-tabuiknya dengan membawa gendang. 

Memasuki malam hari, makin banyak orang Padang dan Pariaman yang keluar menyaksikan Tabuik itu.. Mereka berbaris di belakang Tabuik hasil karya seni kampung mereka dalam arak-arakan panjang di bawah pengawasan ketat veldpolitie. 

Dalam prosesi hari kesepuluh, satu atau lebih Tabuik dibawa. Tabui berupa perangkat teralis dan kertas berwarna berbentuk menara tinggi, yang dinyalakan dengan indah pada malam hari kesepuluh. 

Mereka yang terlibat mendekorasi, membuat monumental kuburan atau usungan. Pada sore hari kesepuluh, para tabut dibawa dalam prosesi ke sungai kecil, jurang atau — seperti di Padang dan Pariaman — ke pantai laut dan dibuang ke air. Kebiasaan ini menurut Deli Courant adalah kebiasaan yang mungkin dipinjam dari upacara India. 

Meskipun perayaan Tabuik sebenarnya milik negara-negara Syiah, Deli Courant menulis, “festival ini telah menemukan jalannya ke daerah lain, di mana Syiah dulu memiliki pengaruh penting, di mana bahkan banyak umat Hindu berpartisipasi. Mungkin budaya ini dipindahkan ke kepulauan kita (baca: Nusantara)”.

Sampai kini, perayaan Tabuik tetap diselenggarakan di Pariaman. Namun,  perayaan yang menyedot perhatian masyarakat itu, bukanlah menjadi bagian dari ritual ibadah, melainkan tradisi yang tetap dijaga dan dilestarikan.

*). Periset, Penulis, dan Pengajar Sejarah

Sumber: Republika

ADVERTISEMENTS
x
ADVERTISEMENTS
Exit mobile version