Yang Mengganjal dari Kenaikan Harga BBM

Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto

Massa yang tergabung dalam Aksi Kamisan Bandung bersama mahasiswa melakukan aksi di Jalan Trunojoyo, Kota Bandung, Selasa (13/9/2022). Dalam aksi tersebut mereka menolak keputusan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) di tengah beban rakyat yang semakin berat akibat pandemi Covid-19 dan naiknya harga kebutuhan pokok. FOTO/Republika/Abdan Syakura

Ironi kenaikan BBM

ADVERTISEMENTS

Penulis: Muhammad Nalar Al Khair**

ADVERTISEMENTS

MASYARAKAT Indonesia dikejutkan dengan pengumuman kenaikan bahan bakar minyak (BBM) pada Sabtu, 3 September 2022.

ADVERTISEMENTS

Kebijakan ini dikeluarkan akibat BBM bersubsidi justru dinikmati oleh kalangan mampu yang kemudian dianggap tidak tepat sasaran. Menteri keuangan Sri Mulyani mengungkapkan bahwa 80% Pertalite dan 95% Solar dinikmati oleh masyarakat mampu. Sehingga pemerintah berupaya untuk mendorong konsumsi Pertalite dan solar bisa tepat sasaran.

ADVERTISEMENTS

Ketika kondisi tidak tepat sasaran tersebut menjadi alasan naiknya harga BBM, bagaimana dengan subsidi pupuk yang disalurkan pemerintah? Laporan Bank Dunia 2018 mengungkapkan bahwa sekitar 30% bantuan subsidi pupuk tidak tepat sasaran.

ADVERTISEMENTS

Jika menggunakan cara berpikir mengurangi subsidi BBM karena tidak tepat sasaran, maka pemerintah juga harus mengurangi beban APBN untuk subsidi pupuk tersebut.

ADVERTISEMENTS

Akan tetapi cara berpikirnya tidak demikian. Bukan mengurangi subsidi, melainkan pelaksanaannya yang harus diperbaiki agar lebih tepat sasaran.

ADVERTISEMENTS

Jika kita bandingkan harga BBM Pertamina dengan perusahaan swasta konvensional yang juga menjual BBM, tampak bahwa selisih harga yang dijual Pertamina hanya sedikit. Misal per liternya untuk Pertalite saat ini dijual Rp 10.000 dan Revvo 89 dari perusahaan Vivo di Rp 10.900.

ADVERTISEMENTS

Kemudian Pertamax 92 di harga Rp 14.500/liter, Revvo 92 Rp 15.400, dan Shell Super Rp 15.420. Hal ini menunjukkan bahwa Pertamina memang berupaya memaksimalkan keuntungan.

ADVERTISEMENTS

Padahal, meskipun kita sudah menjadi importir BBM tetapi kita juga memiliki hasil BBM dari bumi kita sehingga bisa dilakukan subsidi silang antara biaya pembuatan BBM dari impor dengan BBM dari bumi Indonesia.

Jangan lupa bahwa Pertamina itu merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), jadi jangan ambil untung yang terlalu besar. Atau ternyata Pertamina tidak lebih efisien dari perusahaan swasta lain yang juga menjual BBM?.

Jangan lupa bahwa Pertamina didirikan dari uang pemeritah. Sumber uang pemerintah salah satunya pajak yang dipungut dari masyarakat Indonesia. secara tidak langsung Pertamina juga dimiliki oleh rakyat. Jadi jangan menekan rakyat di tengah kondisi ekonomi yang masih sulit.

Ingat Pasal 33 Ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Mengutip laman Liputan6.com 26 Agustus 2022, Menteri ESDM Arifin Tasrif mengungkapkan harga keekonomian Pertalite Rp 17.200/liter dan Solar Rp 17.600/liter. Angka ini perlu dikaji ulang. Vivo sebelumnya mampu menjual BBM ron 89 di harga Rp 8.900/liter. Akan tetapi kemudian dipaksa oleh pemerintah untuk menaikkan harganya menjadi Rp 10.900/liter.

Hal ini menunjukkan bahwa Pertalite juga dapat dijual dengan harga yang tidak jauh berbeda dari harga tersebut. Kita tahu jumlah pom bensin Pertamina tahun 2022 sekitar 6.729, sedangkan Vivo hanya 14.

Secara skala ekonomi saja sudah jauh berbeda, yang dengan demikian harusnya Pertamina dapat menjual dengan harga BBM yang lebih murah. Sehingga angka keekonomian tersebut perlu dikaji ulang.

Pertamina harus mengungkapkan alasan kenapa mereka tidak mampu menjual Pertalite dengan harga yang lebih murah dari harga saat ini di Rp 10.000/liter.

Jika memang tidak efisien dalam produksinya maka harus diungkapkan. Pertamina juga perlu mempublikasi  struktur biaya yang dibutuhkan untuk menghasilkan 1 liter Pertalite ke masyarakat.

Agar masyarakat mendapatkan informasi yang lengkap terkait kondisi naiknya harga BBM saat ini dan mengapa harga tersebut tidak jauh berbeda dengan perusahaan swasta konvension.

Naiknya harga BBM tentu akan berimbas kepada peningkatan harga barang dan jasa. Dengan demikian daya beli masyarakat pun kembali dihantam beban berat di tengah ekonomi yang masih terseok-seok .

Contohnya harga cabai merah yang kembali meningkat setelah kenaikan harga BBM dari 62.900/kg pada 2 September lalu menjadi 71.200/kg per 7 September.

Kondisi ini disebabkan ongkos angkut yang meningkat karena marjin perdagangan dan pengangkutan yang tinggi atau sekitar 61,31% (BPS 2019). Belum lagi telur yang merupakan sumber protein hewani, harganya masih menjulang di Rp 30.800/kg per 7 September 2022.

Pemerintah mengatakan target inflasi tahun 2022 sekitar 3,5 – 4,5%. Sedangkan secara year to date per Agustus 2022 inflasi sudah berada di angka 3,63%. Pemerintah saat ini perlu bercermin dari dampak kenaikan BBM terhadap inflasi hingga 17% pada pemerintahan Pak SBY sebelumnya.

Meskipun tingkat kenaikannya berbeda, akan tetapi dengan target inflasi pemerintah saat ini agaknya angka tersebut akan meleset. Apalagi dengan kenaikan suku bunga The FED yang berdampak pada nilai rupiah yang juga akan mendorong kenaikan inflasi.

Masalahnya, kenaikan harga BBM dan yang berdampak kepada meningkatnya harga barang tidak diikuti oleh kenaikan upah. Konsekuensinya ke kenaikan upah buruh 2023 karena patokannya melalui inflasi.

Tekanan daya beli masyarakat yang tak kunjung henti akan berdampak kepada peningkatan jumlah penduduk miskin. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), persentase penduduk miskin pada Maret 2022 sebesar 9,54%.

Angka kemiskinan ini kemungkinan akan meningkat kembali menjadi dua digit sebagai dampak kenaikan harga BBM. Karena dengan naiknya harga BBM tentu akan mendorong peningkatan harga barang.

Memang pemerintah telah menyiapkan bantalan akibat kenaikan BBM. Seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT) sebesar Rp 600.000 untuk 20,65 juta keluarga penerima manfaat (KPM) yang diberikan 2 tahap masing-masing senilai Rp 300.000.

Jika dengan ambang batas garis kemiskinan sebesar Rp 505.469 dikali 4 anggota keluarga maka asumsinya total pengeluaran orang yang dianggap miskin senilai Rp 2.021.876 per bulan.

BLT diberikan dengan 2 tahap masing-masing Rp 300.000. dari angka tersebut terlihat bahwa bantuan pemerintah hanya mencakup 14,8% dari total pengeluaran orang miskin.

Padahal, harga Pertalite naik 30,7%. Sehingga pemerintah perlu mengevaluasi kebijakan kenaikan BBM ini sebelum memporak-porandakan ekonomi rakyat dan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan, karena 57% ekonomi Indonesia didorong oleh konsumsi.

Untuk itu evaluasi kebijakan peningkatan harga BBM harus di segerakan mengingat dampak yang begitu besar pada perekonomian nasional dan kesejahteraan rakyat.

Pemerintah jangan ragu untuk menurunkan kembali harga BBM mengingat dampaknya terhadap kemiskinan dan ekonomi masyarakat secara keseluruhan.

Harus dikaji ulang besaran peningkatan harga BBM tersebut. Kemudian konsumsi Pertalite itu sendiri dibatasi misalnya hanya untuk motor dan kendaraan umum pelat kuning.

Dengan begitu, konsumsi Pertalite juga akan berkurang berikut dengan beban APBN. Jangan lupa transportasi umum dan aksesnya dibenahi terutama untuk daerah di luar DKI Jakarta. Supaya orang lebih nyaman menggunakannya.

Sehingga, ketika terjadi kenaikan harga BBM, telah tersedia alternatif transportasi yang aman, nyaman dan tepat waktu bagi masyarakat.

Selain itu, untuk BBM non subsidi seperti Pertamax, harganya juga perlu kembali disesuaikan. Selisih harga Pertalite dan Pertamax didekatkan agar perlahan-lahan masyarakat bisa bergeser mengonsumsi Pertamax. Karena pada dasarnya ongkos produksi 1 liter Pertamax dan Pertalite tidak jauh berbeda.

Pemerintah harus sadar bahwa di tengah peralihan aktivitas masyarakat dari sebelumnya online ke ofline tentunya membutuhkan akses bahan bakar yang lebih murah dan terjangkau. Saya yakin pemerintah dapat menyikapi kondisi ini dengan bijak.

Pemerintah juga perlu memanfaatkan momentum saat ini untuk kembali mengubah postur APBN 2022 yang tidak harus melalui DPR.

**). Penulis adalah Peneliti Sigmaphi.

Sumber: Republika

ADVERTISEMENTS
x
ADVERTISEMENTS
Exit mobile version