Sabtu, 20/04/2024 - 07:52 WIB
IndonesianArabicEnglishRussianGermanFrenchChinese (Simplified)JapaneseMalayHindi

TERBARU

LIFESTYLE

Psikiater: Stigma Buruk Gangguan Mental Halangi Pasien Berobat

ADVERTISEMENTS

Gangguan jiwa bersifat kompleks mulai dari gangguan neurokimia otak.

ADVERTISEMENTS
Ucapan Selamat dan Sukses atas Pelantikan Reza Saputra sebagai Kepala BPKA

 JAKARTA – Dokter spesialis kedokteran jiwa (psikiater) dr. Jiemi Ardian, SpKJ mengatakan, stigma buruk mengenai gangguan mental yang kerap ditemui di masyarakat menghalangi pasien untuk mendapatkan pengobatan atas kesehatan jiwanya. Stigma buruk seperti lemah, kurang bersyukur, kurang ibadah, dan aib keluarga.

ADVERTISEMENTS
Manyambut Kemenangan Idul Fitri 1445 H dari Bank Aceh Syariah


“Stigma-stigma ini membuat seseorang tidak mencari pertolongan atas kesehatan jiwanya jika ada masalah. Seseorang jadi menjauhkan diri dari pertolongan,” kata dokter yang bergabung di Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) itu dalam acara bincang-bincang virtual mengenai kesehatan mental yang diikuti dari Jakarta, Jumat (30/9/2022).

ADVERTISEMENTS


Menurut Jiemi, terdapat asumsi keliru di tengah masyarakat yakni bahwa gangguan jiwa terbatas seakan-seakan semuanya berasal dari pikiran. Padahal, kata dia, gangguan jiwa bersifat kompleks mulai dari gangguan neurokimia otak, sistem saraf, genetik, yang kemudian mempengaruhi reaksi seseorang.

Berita Lainnya:
Ahli Gizi Ingatkan Bahaya Konsumsi Makanan Berlemak secara Berlebihan Saat Lebaran


Selain itu, masih banyak yang menganggap orang dengan gangguan mental adalah orang yang lemah, kurang bersyukur, dan kurang ibadah. Orang-orang dengan gangguan mental juga sering dianggap sebagai aib keluarga.


Akibat dari stigma-stigma tersebut, Jiemi mengatakan banyak orang yang tidak berani menemui psikolog atau psikiater sehingga mendiagnosis diri sendiri. Padahal, tindakan tersebut sangat berbahaya bagi dirinya.

ADVERTISEMENTS
Mudahkan Hidup Anda!, Bayar PBB Kapan Saja, Di Mana Saja! - Aceh Singkil


“Sedikit cerita, pernah ada seseorang yang yakin sekali dirinya mengalami depresi. Tapi saat konsultasi saya melihat ada kemerahan di kulit-kulitnya dan saya melihat ada tanda-tanda tertentu yang saya curiga kayaknya dia sakit autoimun. Lalu saya cek profil autoimunnya, benar autoimun,” ujar Jiemi.

Berita Lainnya:
Jangan Disepelekan, Benjolan dan Nyeri Bisa Jadi Gejala Penyakit Langka


Jadi, menurut Jiemi, yang dianggap depresi ternyata adalah gejala autoimunnya. “Bahaya loh kalau dipercaya hanya sebagai depresi lalu kita curhat dan berasumsi kok depresinya enggak sembuh-sembuh, karena mungkin itu memang bukan depresi,” lanjutnya.


Masalah lain yang timbul akibat mendiagnosis diri sendiri, lanjut Jiemi, adalah pasien tidak mendapatkan penanganan sehingga kondisinya tak kunjung membaik, atau bahkan semakin parah. “Ini seperti saya sakit jantung tapi kemudian tidak ke dokter, kan enggak mungkin, ya,” katanya.


Selain itu, Jiemi mengatakan, mendiagnosis diri sendiri juga sangat memungkinkan pasien melakukan penanganan mandiri yang keliru. “Tentu saja, penanganannya keliru ya karena diagnosisnya juga keliru,” imbuhnya.


sumber : Antara

Sumber: Republika

x
ADVERTISEMENTS

Reaksi & Komentar

Berita Lainnya

Tampilkan Lainnya Loading...Tidak ditemukan berita/artikel lainnya.
IndonesianArabicEnglishRussianGermanFrenchChinese (Simplified)JapaneseMalayHindi