Sabtu, 20/04/2024 - 00:33 WIB
IndonesianArabicEnglishRussianGermanFrenchChinese (Simplified)JapaneseMalayHindi

TERBARU

LIFESTYLE

Terbiasa Puasa Intermiten, Orang Berisiko Binge-Eating Kemudian Hari

ADVERTISEMENTS

Puasa intermiten tampak memengaruhi kebiasaan makan sehat di masa depan.

ADVERTISEMENTS
Ucapan Selamat dan Sukses atas Pelantikan Reza Saputra sebagai Kepala BPKA

JAKARTA — Puasa intermiten alias intermitten fasting telah menjadi strategi penurunan berat badan yang populer selama dekade terakhir. Namun, sebuah studi baru dari Texas A&M University yang diterbitkan dalam jurnal Appetite menunjukkan bahwa hal itu dapat meningkatkan risiko binge-eating dan gangguan makanan lainnya kemudian hari.

ADVERTISEMENTS
Manyambut Kemenangan Idul Fitri 1445 H dari Bank Aceh Syariah

Binge-eating berarti menyantap makanan dalam porsi besar secara teratur dalam waktu singkat sampai merasa begah. Penulis studi, Jordan Schueler yang merupakan kandidat PhD di Departemen Ilmu Psikologi dan Otak di Texas A&M, mulai mengembangkan studi baru pada 2019.

ADVERTISEMENTS

Schueler mengatakan bahwa tidak banyak informasi tentang efek psikologis puasa intermiten. Namun, ada dampaknya pada hasil medis, seperti berat badan dan kolesterol.

“Saya tertarik untuk melihat apakah bentuk khusus dari diet terbatas waktu ini, di mana orang mungkin mengabaikan isyarat lapar untuk waktu yang lama, juga dapat menyebabkan makan berlebihan,” ujar Schueler, dilansir Fox News, Ahad (5/2/2023).

Berita Lainnya:
Cemas Saat Bepergian? Atasi dengan 5 Trik Simpel Ini

Ada beberapa jenis puasa berkala. Tetapi semuanya mengikuti konsep yang sama, yaitu bergantian antara puasa dan makan.

ADVERTISEMENTS
Mudahkan Hidup Anda!, Bayar PBB Kapan Saja, Di Mana Saja! - Aceh Singkil

Dengan pendekatan makan yang dibatasi waktu, pelaku diet hanya bisa mengisi perut selama jendela tertentu. Misalnya, dengan metode 16/8, orang tersebut berpuasa selama 16 jam dan kemudian dapat makan dalam rentang waktu delapan jam antara pukul 10.00 hingga pukul 18.00 WIB.

Para peneliti yang terlibat dalam studi baru mencermati sampel dari hampir 300 mahasiswa sarjana. Di antara peserta, 23,5 persen saat ini berpartisi dalam puasa intermiten, 16 persen pernah mencoba puasa intermiten, dan 61 persen tidak pernah puasa intermiten sebelumnya.

Mereka yang pernah puasa intermiten pada masa lalu tampak lebih mungkin untuk terlibat dalam binge eating daripada mereka yang tidak pernah berpuasa intermiten. Schueler mengatakan, apa pun yang memaksa tubuh ke dalam pola makan yang tidak normal memiliki potensi untuk gangguan makan.

“Salah satu penjelasannya adalah mereka yang secara aktif terlibat dalam puasa intermiten mungkin masih bisa ‘berhasil’ terlibat dalam kekakuan dan pengendalian diri seputar perilaku makan mereka,” katanya.

Berita Lainnya:
Diet Sesuai Variasi Genetik, Ini Segudang Manfaatnya

Namun, menurut Schueler, mengalami rebound effect setelah pembatasan kalori yang parah, di mana makan berlebihan terjadi, memang hal lazim. Temuan timnya menunjukkan bahwa meskipun puasa intermiten tampaknya menjadi faktor risiko untuk makan berlebihan saat seorang secara aktif terlibat dalam diet, itu mungkin memiliki efek yang bertahan lama pada hubungan seseorang dengan makanan.

Dilansir RxList, rebound effect adalah produksi gejala negatif yang meningkat ketika efek terapi telah berlalu atau pasien tidak lagi merespons suatu terapi. Studi ini juga menemukan bahwa puasa intermiten cenderung tidak menyesuaikan dengan rasa lapar internal dan isyarat kenyang.

Puasa intermiten cenderung memberi pelakunya lebih sedikit izin untuk makan. Dengan kata lain, menurut Schueler, puasa intermiten jauh dari pemakan intuitif.

“Daripada mengandalkan persepsi bawaan tubuh mereka, asupan mereka ditentukan oleh aturan eksternal,” kata Schueler.

Sumber: Republika

x
ADVERTISEMENTS

Reaksi & Komentar

Berita Lainnya

Tampilkan Lainnya Loading...Tidak ditemukan berita/artikel lainnya.
IndonesianArabicEnglishRussianGermanFrenchChinese (Simplified)JapaneseMalayHindi