KPK di Mata Rakyat Aceh

Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto

Ketua Harian Corruption Investigation Committee (CIC) Provinsi Aceh. FOTO/HAI/Saifullah Hayati Nur

ADVERTISEMENTS

BANDA ACEH – Terjadinya kompromi di pemerintah pusat dan provinsi maupun kabupaten/kota menjadikan korupsi tumbuh subur dan merajalela sampai ke daerah-daerah hingga pedesaan sekalipun. Perilaku ini bisa langsung blak-blakan ditemukan di depan mata hari-hari ini. Demikian yang disampaikan mantan Anggota KIP Kota Langsa, Sulaiman Datu yang juga menjabat saat ini sebagai Ketua Harian Corruption Investigation Committee (CIC) Provinsi Aceh kepada HARIANACEH.co.id, Kamis siang (16/3/2023) di Banda Aceh.

ADVERTISEMENTS

Sepertinya, lanjut Sulaiman Datu. Pola penindakan yang dilakukan KPK maupun aparat penegak hukum lain tidak berhasil untuk mencegah, memberantas dan membasmi korupsi yang tumbuh semakin menjamur itu.

ADVERTISEMENTS
ADVERTISEMENTS

“Sering kita dengar setiap saat dan bahkan selalu muncul slogan di mana-mana bahwa kita terus berkomitmen untuk memberantas korupsi dengan penegakan hukum yang profesional, sehingga memberikan kepastian hukum, keadilan hukum, menjunjung tinggi hak asasi manusia dan keselamatan jiwa serta rasa aman dan nyaman sebagai masyarakat,” ucap pria asal tanah Gayo itu.

ADVERTISEMENTS
ADVETISEMENTS

Kemudian, tambah Sulaiman Datu lagi. Pernyataan Ketua KPK Firli Bahuri yang menyebutkan bahwa pemberantasan korupsi di negeri ini adalah sebuah keniscayaan. Maka, seharusnya seluruh instansi baik di pusat maupun daerah harus menilai ungkapan Ketua KPK itu sebagai peringatan mendasar dalam rangka pencegahan atau early warning yang serius dan harus dijalani seutuhnya pula secara serius oleh setiap individu yang sedang diberi amanah untuk mengelola uang rakyat, karena ada dampak norma hukum yang melekat pada perilaku evil seperti korupsi, kolusi dan nepotisme yang kerap dikenal dengan istilah extraordinary crime.  Apalagi, sambung Sulaiman Datu, uang yang sedang dikelola adalah uang milik rakyat yang dihasilkan dari berbagai sektor seperti pajak dan sebagainya untuk seutuhnya kembali kepada rakyat pula.

ADVERTISEMENTS

“Terkhusus apabila kita kaitkan uang yang sedang dikelola itu adalah dana otsus (otonomi khusus) seperti di dua Provinsi yaitu Aceh dan Papua,” timpal Sulaiman Datu.

ADVERTISEMENTS

Sulaiman Datu mengingatkan bahwa KPK masih sangat dibutuhkan di Provinsi Aceh. Provinsi yang dulunya sempat porak-poranda pasca tsunami tahun 2004 akhir. Banyak warga Aceh yang meninggal dunia akibat bencana itu.

ADVERTISEMENTS

“Kalau kita tarik ke belakang lagi, Provinsi Aceh ini juga secara esensinya telah mati suri akibat konflik puluhan tahun dengan pemerintah pusat sejak dari era Soekarno hingga Soeharto, BJ Habibi, Abdurrahman Wahid dan Megawati. Aceh selalu dalam keadaan menyeramkan. Kalau ada warga yang bukan berasal dari Aceh dan ia ingin ke Aceh waktu itu, pasti dia akan bertanya terlebih dahulu jika ingin ke Aceh, Aceh Aman?,” cerita Sulaiman Datu.

ADVETISEMENTS

Perihal cerita itu, kata Sulaiman Datu setidaknya setelah pasca-perdaimaian MoU Helsinki, traumatik akut yang didera rakyat Aceh sudah mulai hilang perlahan-lahan secara psikologi dengan telah dilahirkannya pula Undang-Undang (UU) Pemerintah Aceh tahun 2006 dengan menyesuaikan kehidupan rakyat Aceh pasca konflik dan Bencana Tsunami. Namun, tanpa disadari juga, penyakit korupsi, kolusi, nepotisme yang merupakan evil act itu pelan-pelan muncul di tengah perilaku Rakyat Aceh itu sendiri saat ini.

“Karena pernah terpuruk puluhan tahun sebagai sebuah provinsi, ditambah miskin pula seperti yang kita kutip dari data BPS, sumber daya alam di blok B kabupaten Aceh Utara dikeruk habis-habisan untuk mensubsidi pembangunan di pulau Jawa. Maka, setidaknya penyakit korupsi, kolusi dan nepotisme pelan-pelan menghinggap di tengah oknum individu di Provinsi ini, oknum-oknum yang punya pengaruh kuasa ambil kesempatan, oknum-oknum di tubuh partai politik lokal ikut-ikutan ambil peluang, oknum-oknum mantan kombatan yang tergabung di GAM juga tidak mau ketinggalan, semuanya oknum-oknum itu merasa belum cukup dan terus merasa lapar untuk setidaknya membalas waktu yang sudah hilang sia-sia selama 30 tahun lebih yang seolah-olah itu adalah sebuah perjuangan,” ucap Sulaiman Datu.

Jika dulu, tambah Sulaiman Datu, Aceh pernah ada dalam situasi darurat militer yang berkepanjangan ditambah estafet darurat sipil yang tak menentu di era Megawati, korban konflik bertebaran di mana saja, pembantaian terjadi, killing field apalagi, membuat posisi Aceh ibarat ‘sudah jatuh tertimpa tangga pula‘. Maka, hari-hari ini situasi Provinsi Aceh juga tidak jauh dari situasi itu.

“Aceh hari ini tidak jauh-jauh dari situasi saat itu. Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) tetap dilakukan di Provinsi ini. Cuma polanya saja yang berbeda, ada drakula penghisap darah di Aceh saat ini yang masih saja membuat Aceh terpuruk. Oknum-oknum pejabat-pejabat di Aceh bertransformasi menjadi penghisap darah. Oknum-oknum ini mengumpulkan harta dengan cara-cara mencuci uang. Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) kalau kita bedah perlahan-lahan bisa kita temukan di Aceh,” tutur Sulaiman Datu.

Sebut saja sebagai contoh dugaan, kata Sulaiman Datu. Dugaan TPPU bisa kita lihat dari harta kekayaan yang dimiliki oleh oknum-oknum pejabat di Provinsi Aceh. Dugaan itu bisa dilihat dari misalnya harta kekayaan yang dimiliki oleh Mantan Gubenur Aceh Nova Iriansyah. Diduga ia mencuci uang dengan memanfaatkan nama orang lain untuk membangun sebuah rumah mewah di kawasan Gampong Kota Baru Kecamatan Kuta Alam, Banda Aceh.

“Sertifikat tanah yang dibangun di atasnya berupa bangunan rumah mewah itu diduga atas nama Alaidin Abu Abas. Kawan kita satu ini masih menjabat sebagai Anggota DPR Aceh dari Fraksi Partai Demokrat. Sedangkan Nova Iriansyah saat menjabat sebagai Gubernur Aceh adalah Ketua DPD Partai Demokrat Provinsi Aceh. Silahkan saja KPK atau penegak hukum meminta klarifikasi soal dugaan TPPU itu kepada mereka berdua,” duga Sulaiman Datu.

Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto
Rumah Mewah di Kawasan Gampong Kota Baru, Kec. Kuta Alam yang diduga milik Gubernur Nova Iriansyah. Namun, sertifikat tanahnya atas nama Alaidin Abu Abas yang merupakan anggota DPR Aceh dapil Aceh Tengah dari Fraksi Partai Demokrat. Nova Iriansyah saat menjabat sebagai Gubernur Aceh juga menjabat sebagai Ketua DPD Partai Demokrat Provinsi Aceh. FOTO/Dok. HAI

Ketika CIC Provinsi Aceh menelusuri harta kekayaan mantan Geburnur Aceh Nova Iriansyah di halaman e-lhkpn.kpk.go.id tahun lapor 2018, harta kekayaan yang dilaporkan Nova Iriansyah tertera Rp. 8.632.954.882,- dan di tahun 2019 bertambah menjadi Rp. 9.179.212.604,-.

“Ada kenaikan penambahan harta kekayaan yang bersangkutan sebesar 6,33% yaitu sebesar Rp. 546.257.722,-,” urai Sulaiman Datu.

Kemudian, ketika dilihat dari laporan harta kekayaan tahun lapor 2020 dan dibandingkan dengan tahun lapor 2018, harta kekayaan Nova Iriansyah bertambah sebesar 25,95% menjadi Rp. 10.873.381.120. Artinya terjadi kenaikan harta kekayaan sebesar Rp. 2.240.426.238,-.

Jika kemudian dibandingkan tahun lapor 2018 lagi dengan tahun lapor harta kekayaan tahun 2021, terjadi penurunan harta kekayaan milik Nova Iriansyah sebesar 10,87% yaitu sebesar Rp. 938.691.220,- menjadi Rp. 9.571.646.102,-

Lanjut lagi, kata Sulaiman Datu. Melihat laporan harta kekayaan milik Nova Iriansyah. Laporan harta kekayaannya yang dilaporkan hanya sampai tahun 2021 saja.

“Sedangkan laporan harta kekayaan Nova Iriansyah tahun lapor 2022 tidak ia laporkan padahal ia mengakhiri masa jabatannya di bulan juli 2022 yang artinya, patut diduga Nova Iriansyah menutupi jumlah harta kekayaannya dari mata publik di akhir masa jabatannya sebagai Gubernur Aceh, atau paling tidak di tanggal 31 Desember 2022 ia harus juga melaporkan harta kekakayaannya itu,” tutur Sulaiman Datu.

Bahkan, sambung Sulaiman Datu. Muncul juga dugaan di tengah-tengah percakapan publik Aceh, Nova Iriansyah memiliki harta kekayaan yang fantastis yang tidak ia laporkan di LHKPN KPK. Kira-kira diduga bisa mencapai ratusan miliar.

“Ada harta kekayaan ratusan miliar miliknya yang diduga ia simpan di luar negeri,” duga Sulaiman Datu.

Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU)

Negara ini juga sempat dihebohkan dengan beberapa peristiwa soal transaksi triliunan yang terjadi di tubuh Kementerian Keuangan RI yaitu Dirjen Pajak dan Bea Cukai. Media mainstream dan netizen sosial media ramai-ramai mengulik harta kekayaan para oknum-oknum pejabat di Kementerian Keuangan Republik Indonesia ini.

“Warga di Provinsi Aceh, seperti sebelumnya yang sempat trauma akibat konflik antar GAM dan Pemerintah RI soal penguasaan Blok B Aceh Utara yang memakan waktu nyaris hampir mendekati setengah abad itu dirasakan sia-sia saja. Sebenarnya Aceh ingin bangkit dengan lahirnya UUPA tahun 2006 itu. Tetapi, lagi dan lagi malah tertatih-tatih dan jalan di tempat saat dipimpin oleh oknum-oknum pejabat di Aceh,” ucap Sulaiman Datu.

Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) menjadi peluang segar yang dinilai oleh oknum pejabat sebagai salah satu celah mudah yang dapat diakali untuk menghimpun harta kekayaan yang berasal dari dana otsus Aceh. Bertahun-tahun oknum-oknum pejabat di Aceh diduga berusaha merampok uang rakyat dengan caranya masing-masing, oknum-oknum pejabat di Aceh bak jadi Blood Sucker (baca: penghisap darah, -red) alias Dracula.

“Di Aceh tidak ada industri besar yang saling bersaing, kalaupun ada juga ikut disikat sama oknum-oknum, sebut saja seperti PDPA yang merengkarnasi dirinya menjadi PT PEMA. Korupsi, Kolusi, Nepotisme kesannya memang tidak bisa hilang dari tubuh oknum-oknum orang Aceh. Kalau nggak korupsi ya kolusi, kalau nggak kolusi ya nepotisme, kalau nggak nepotisme ya balik lagi ke korupsi. Tepuk jidat kita melihat itu semua. Berputar-putar di wilayah itu saja. Salah satu celah korupsi yang gampang dilakukan ya Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) itu,” ucap Sulaiman Datu.

Pertumbuhan Ekonomi di Aceh, kata Sulaiman Datu. Agar Ekonomi Aceh surplus dan mampu mensejahterakan rakyat Aceh akan sulit untuk dicapai jika KPK tidak memberi perhatian khusus terhadap Aceh. APBA di Aceh dananya Otonomi Khusus alias Otsus, tapi pengawasan hukumnya tidak khusus. Jadi, sambungnya lagi sulit untuk memakmurkan rakyat Aceh jadinya.

“Untuk menyembunyikan hasil korupsi saat ini sepertinya sangat mudah sekali, setidaknya yaitu dengan cara mencuci uang hasil korupsi itu. Hasil yang dikorup dijadikan barang bergerak atau tidak bergerak atas nama orang lain atau dijadikan barang-barang mewah yang sulit untuk ditelusuri kecuali mungkin dengan menggunakan sistem tracking-nya PPATK,” sebut Sulaiman Datu.

Keberadaan KPK di Mata Rakyat Aceh

Jika pusat benar-benar punya political will, kata Sulaiman Datu. Seharusnya Pemerintah Pusat harus menaruh perwakilannya di Aceh dan Papua. Pasalnya, dua Provinsi ini memperoleh Dana Otonomi Khusus (Otsus) yang diletakkan di Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Maka, kata dia treatment-nya juga harus khusus dalam rangka menjaga dana otsus itu agar tidak dirampok.

“APBD misalnya, kalau di Aceh ABPA sebutannya, postur anggaran ini jadi incaran para oknum-oknum pejabat. Baik oknum pejabat maupun oknum-oknum mitra mereka dengan landasan nepotisme dan kolusi, mereka hisap semua anggaran itu seperti layaknya Dracula menghisap darah mangsanya. Hasil korupsi itu mereka tampung di kantong-kantong penyembunyian dan mereka sembunyikan dengan cara menyimpannya dalam bentuk apapun dengan mengatasnamakan istri, anak dan keluarga dan bahkan sempat juga mereka sembunyikan di luar negeri dalam berbagai bentuk,” ketus Sulaiman Datu.

Jadi, kata dia lagi. KPK jangan hanya jadi Kilang Padi Keliling (KPK) yang setelah menggiling padi warga, kemudian cabut dari Aceh karena dianggap sudah selesai jasa penggilingannya itu dan pemilik padi sudah boleh langsung memasak nasinya. Dan jangan pula sampai dianggap oleh warga Aceh, KPK itu sudah selesai periksa-periksa orang di Aceh, kemudian main cabut saja tanpa ada kelanjutan apapun setelahnya.

“Setidaknya kesan itulah yang tertanam di pikiran rakyat Aceh saat ini. KPK itu ibarat Kilang Padi Keliling. Tidak ada lanjutan penegakan hukum yang terukur dan professional di Bumi Serambi Mekkah. Maka, wajar saja kalau perampokan di Aceh itu sangat mudah dilakukan dan bahkan ada yang sempat DPO puluhan tahun dan baru tertangkap beberapa pekan lalu, inikan makin bikin kita distrust sama KPK,” ketus Sulaiman Datu.

Ketua KPK di Aceh

Beberapa hari ini, Ketua KPK Firli Bahuri mengunjungi Provinsi Aceh dalam rangka memberikan kuliah umum. Salah satunya di Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry. Di hadapan civitas akademika UIN Ar-Raniry, Firli bahkan menjelaskan bahwa tindak pidana korupsi adalah kejahatan serius (Extraordinary Crime). Di mana akibat korupsi, negara gagal dalam mewujudkan tujuan negara itu sendiri dan pada akhirnya berdampak pada susahnya kehidupan masyarakat.

“Secara teori, terjadinya korupsi dipengaruhi beberapa hal. Mengutip Gone Theory, korupsi terjadi karena adanya keserakahan, kesempatan, kebutuhan dan hukuman pada pelaku korupsi yang rendah. Ironisnya, korupsi bisa melibatkan siapa saja ketika ada kekuasaan, kesempatan dan kurangnya integritas,” sebut Sulaiman Datu menirukan ucapan Firli Bahuri saat mengisi kuliah umum di Aula gedung Pascasarjana UIN Ar-Raniry pada Rabu kemarin (15/3/2023) yang ia kutip dari pemberitaan HARIANACEH.co.id.

Satu-satunya harapan rakyat Aceh, kata Sulaiman Datu hanyalah kepada Firli Bahuri sebagai pimpinan KPK. Masyarakat Aceh berharap sosok anak desa itu dapat membersihkan tikus-tikus yang selama ini bercokol dan telah membebani keuangan daerah. Beberapa bulan lalu, KPK memeriksa sejumlah orang di Aceh terkait dengan dugaan kasus korupsi. Sebagai langkah awal, KPK dapat mengungkapkan perkembangan hasil pemeriksaan dan menindaklajuti pemeriksaan itu sesuai dengan rambu-rambu yang ada.

“Sebenarnya KPK masih banyak mempunyai pekerjaan rumah (PR) di Provisi Aceh. Apakah mungkin KPK bisa melakukan pemberantasan korupsi di Aceh? Sebab KPK sendiri yang mengatakan akan memantau beberapa kasus yang sedang ditangani oleh pihak kepolisian dan kejaksaan. Jadi mana hasilnya? dan siapa yang disidangkan ke Pengadilan? dan berapa banyak harta kekayaan para koruptor bisa disita oleh penegak hukum di Aceh?, justru para aktivis dan rakyat Aceh akhirnya merasa apatis terhadap penegakan hukum di Provinsi bergelar syariat Islam itu,” demikian tutup Sulaiman Datu.

ADVERTISEMENTS
x
ADVERTISEMENTS
Exit mobile version