Harian Aceh Indonesia menampilkan berbagai iklan online kepada para pengunjung. Mohon dukungannya untuk membiarkan situs kami ini tetap menayangkan iklan dan dijadikan whitelist di ad blocker browser anda.
EROPAINTERNASIONAL

Atlet Muslimah Prancis Dilarang Berhijab Saat Berlaga di Olimpiade Paris

PARIS – Pemerintah Prancis memutuskan melarang atlet muslimah asal negaranya berhijab saat berlaga di Olimpiade Paris 2024. Pengumuman tersebut telah memicu pro dan kontra di negara tersebut.

Menteri Olahraga Prancis Amelie Oudea-Castera mengatakan, tidak ada anggota delegasi Prancis yang diizinkan mengenakan hijab dalam Olimpiade Paris. Dia menegaskan, sekularisme yang dianut Prancis harus turut diterapkan di bidang olahraga.

“Kami setuju dengan keputusan sistem peradilan baru-baru ini yang juga diungkapkan dengan jelas oleh Perdana Menteri, mendukung sekularisme yang ketat dalam olahraga. Artinya pelarangan segala bentuk dakwah dan netralitas sektor publik. Artinya, anggota delegasi kami, di tim olahraga kami, tidak akan mengenakan cadar,” kata Oudea-Castera saat berbicara dalam acara “Sunday In Politics” yang ditayangkan France 3 TV, dikutip Al Arabiya, Selasa (26/9/2023).

Pernyataan Oudea-Castera seketika memantik perdebatan di media sosial. Masyarakat Prancis terbelah ke dalam dua kubu, yakni penentang dan pendukung keputusan tersebut. Mereka yang menentang memandang pelarangan hijab di gelaran Olimpiade merupakan bentuk Islamofobia. Sementara kubu pendukung menilai, pelarangan itu adalah realisasi dari sekularisme yang dijunjung tinggi Prancis.

“Negara ini mempunyai masalah dengan Islam, saya mengatakannya dengan lantang dan jelas dan semua orang – tanpa kecuali – mengetahuinya,” tulis akun bernama Mehdi lewat platform X (Twitter) saat mengomentari larangan penggunaan hijab bagi atlet perempuan Muslim Prancis di Olimpiade.

Pengguna X lainnya, yakni Hassen Hammou, mempertanyakan keputusan tersebut dengan menyatakan bahwa pelarangan itu akan membuat olahraga tidak dapat diakses oleh banyak atlet, terutama kalangan perempuan Muslim.

“Mendemokratisasikan olahraga berarti menjadikannya dapat diakses oleh semua orang,” tulisnya.

Berita Lainnya:
Diserbu Netizen Indonesia, Tentara Teroris Israel Panik: Ini Membuat Saya Gila

Sementara itu para pendukung larangan pemakaian hijab bagi atlet perempuan Muslim menilai, keputusan Pemerintah Prancis mendukung cita-cita sekularisme Prancis.

“Kekhususan sekularisme Perancis adalah modernitas yang tidak dimiliki negara-negara Anglo-Saxon. Yang eksklusif adalah membedakan diri sendiri, memisahkan diri dari orang lain, dengan pakaian keagamaan yang tidak jelas,” tulis akun bernama Erik Verhagen di platform X.

Pengguna lain berpendapat bahwa tidak menerima sekularisme dalam olahraga dapat menyebabkan penolakan lebih lanjut terhadap peraturan.

“Jika mereka tidak menerima peraturan sekularisme hari ini, besok mereka juga tidak akan menerima peraturan olahraga!” tulis akun bernama Paule Adda di X.

Olimpiade Paris akan dihelat pada 26 Juli hingga 11 Agustus 2024. Beberapa atlet dan pejabat olahraga non-Prancis diperkirakan akan mengenakan jilbab. Hal itu karena Komite Olimpiade Internasional mengizinkannya dan tidak menganggap jilbab sebagai simbol agama melainkan simbol budaya.

Sejak 2014, FIFA juga memperbolehkan para pemain sepak bolah perempuan Muslim mengenakan hijab. Pada Juli lalu, bek Maroko Nouhaila Benzina menjadi pemain bercadar pertama di Piala Dunia.

Pada Agustus lalu, Menteri Pendidikan Prancis Gabriel Attal mengumumkan pelarangan pemakaian abaya di sekolah.

“Saya telah memutuskan bahwa abaya tidak lagi dikenakan di sekolah. Saat Anda masuk ke ruang kelas, Anda tidak seharusnya bisa mengidentifikasi agama murid hanya dengan melihat mereka,” kata Attal saat diwawancara stasiun televisi TF1, 27 Agustus 2023 lalu.

Menurut Attal, abaya adalah isyarat keagamaan. Oleh sebab itu dia menilai, penggunaannya di sekolah harus dilarang.

“Sekularisme artinya kebebasan untuk membebaskan diri melalui sekolah,” ujarnya.

Keputusan pelarangan penggunaan abaya di sekolah diambil setelah berbulan-bulan perdebatan di Prancis. Kelompok sayap kanan telah mendorong pelarangan tersebut. Sementara kelompok kiri menilai pelarangan itu akan melanggar kebebasan sipil.

Berita Lainnya:
Layanan Telekomunikasi di Gaza Kembali Terputus

Presiden Prancis Emmanuel Macron mengatakan, pemerintahannya tidak akan mengompromikan larangan penggunaan abaya di sekolah. Dia menegaskan, sebagai negara sekuler, sekolah harus terbebas dari simbol-simbol keagamaan.

“Sekolah-sekolah di negara kita bersifat sekuler, bebas, dan wajib. Namun yang terpenting (adalah) sekuler, dan tanda-tanda keagamaan, apa pun itu, tidak mendapat tempat (di sana),” kata Macron ketika dimintai komentar tentang aturan pelarangan pemakaian abaya saat dia mengunjungi sebuah sekolah menengah di kota Orange, Prancis selatan, 1 September 2023 lalu.

Macron pun menegaskan bahwa dia mendukung keputusan Gabriel Attal meluncurkan aturan pelarangan pemakaian abaya di sekolah.

“Kami tidak akan berkompromi mengenai topik ini. Kami akan mengambil tindakan yang melampaui kata-kata,” ucapnya.

Dia menambahkan, staf-staf khusus akan membantu kepala sekolah di sekolah-sekolah “sensitif” untuk melaksanakan aturan pelarangan pemakaian abaya. Mereka akan mengadakan dialog dengan para siswa terdampak pelarangan beserta keluarga mereka.

“Kami tidak akan membiarkan apa pun terlewat,” ujar Macron.

Pada Maret 2004, Prancis telah menerbitkan undang-undang untuk melarang siswa sekolah mengenakan tanda atau busana yang seolah-olah menunjukkan afiliasi agama.

Hal itu termasuk salib, kippa Yahudi, dan hijab. Tidak seperti jilbab, sebelumnya abaya menempati wilayah abu-abu dan tidak dilarang secara langsung oleh otoritas Prancis.

Terdapat laporan tentang semakin banyaknya penggunaan abaya di sekolah-sekolah Prancis. Ketegangan antara guru dan orang tua terkait persoalan pemakaian abaya juga dilaporkan semakin intens.

Sumber: Republika

Reaksi & Komentar

Berita Lainnya

Click to Hide Advanced Floating Content

Click to Hide Advanced Floating Content