NO Viral No Justice, kalimat ini sangat cocok ketika menggambarkan pelayanan publik pemerintah dalam pemenuhan kebutuhan pokok rakyatnya. Apapun itu, akan ditangani jika sudah viral. Termasuk video viral yang memperlihatkan seorang siswa dihukum duduk di lantai karena menunggak pembayaran SPP selama tiga bulan.
Dalam video terdengar ibu siswa sambil menangis mempertanyakan mengapa sang wali kelas memperlakukan anaknya sedemikian rupa. Tak pelak, usai diunggah video tersebut memicu reaksi netizen yang merasa perlakuan itu sangat tak pantas dilakukan oleh seorang guru dan masih berada di lingkungan sekolah.
Fakta miris itu ternyata terjadi di sebuah sekolah SD swasta Abdi Sukma, yang berlokasi di Jalan STM, Kelurahan Suka Maju, Kecamatan Medan Johor. Berita terbaru, Dinas Pendidikan Kota Medan, Sumatera Utara (Sumut) sedang memeriksa wali kelas berinisial H (Beritasatu.com, 11-1-2025).
Ketua Yayasan SD Swasta Abdi Sukma, Ahmad Parlindungan sangat menyayangkan insiden ini, dan berjanji akan menindak tegas wali kelas berikut kepala sekolah karena dianggap lalai, sebab sekolah Abdi Sukma dirancang untuk membantu masyarakat kurang mampu sesuai keinginan pendiri sekolah, biaya sekolah hanya dipungut selama enam bulan, yakni dari Juli hingga Desember, sedangkan Januari hingga Juni gratis.
Ahmad juga menegaskan, tindakan wali kelas tersebut bertentangan dengan aturan sekolah dan yayasan, tak ada aturannya dimana siswa yang belum membayar SPP dilarang mengikuti pelajaran. Nasi sudah jadi bubur, insiden ini viral dan menuntut harus segera diselesaikan.
Kapitalisasi Pendidikan Berujung Bu ullyan Tak Terelakkan
Dunia pendidikan kita memang sedang tak baik-baik saja. Dari mulai guru, siswa, infrastruktur, kurukulum maupun pendanaan yang berkaitan dengan pendidikan masih jauh dari kata baik, kalaulah ada yang berkualitas harganya mahal sehingga tidak setiap anak bisa mengakses.
Pendidikan seharusnya menjadi hak setiap individu rakyat. Namun dalam sistem kapitalisme, negara tidak hadir secara nyata dalam mengurusnya, di antaranya nampak dari kurangnya sarana pendidikan. Mirisnya, negara malah menyerahkan pada swasta (sebagai stakeholder) yang jelas-jelas berorientasi mencari keuntungan. Ini adalah tanda kapitalisasi pendidikan karena pendidikan menjadi ladang bisnis.
Kasus dihukumnya siswa tidak akan terjadi ketika pendidikan bisa diakses secara gratis oleh semua siswa. Dan sudah Sunatullah jika kondisi setiap orang tua tak sama, bukankah pemberi rezeki adalah Allah SWT ? Maka dari itu harus ada sebuah institusi yang mengatur kebutuhan pokok setiap individu rakyat terpenuhi. Baik bagi kaya maupun miskin.
Sistem Islam Saja yang Mampu Mewujudkan Keadilan
Islam menetapkan bahwa pendidikan adalah kewajiban negara, yang termasuk dalam layanan publik yang ditanggung langsung oleh negara. Negara menyediakan layanan gratis untuk semua warga negara Khilafah, baik untuk siswa kaya maupun miskin, baik cerdas atau tidak.
Islam mampu mewujudkannya karena memiliki sumber dana yang banyak, yaitu berbasis Baitulmal, terdiri dari tiga pos utama, pertama, pos kepemilikan negara ( fa’i, jizyah, usyur dan lainnya), kedua pos kepemilikan umum ( tambang dan energi, sumber daya alam dan lainnya) serta ketiga, pos Zakat. Dana untuk pendidikan diambilkan dari pos kepemilikan umum, semua sarana dan prasarana pendidikan juga guru yang berkualitas dibiayai dari pos ini. Dan tidak dialihkan kepada pihak ketiga atau investor. Apalagi dari utang negara atau pajak.
Dengan layanan pendidikan sesuai dengan sistem Islam, tidak akan ada kasus siswa dihukum karena keterlambatan soal biaya. Inilah bukti jika Islam mendahulukan pendidikan, sebab pendidikan adalah jaminan majunya sebuah bangsa dan beradabnya generasi. Pendidikan juga menjadikan seseorang taat kepada Rabbnya. Sebagaimana firman Allah SWT. yang artinya, “Dan agar orang-orang yang telah diberi ilmu, meyakini bahwasanya Al-Qur’an itulah yang hak dari Tuhan-mu lalu mereka beriman dan tunduk hati mereka kepadanya dan sesungguhnya Allah adalah Pemberi Petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus.”(TQS. Al-Hajj: 54).