Oleh: Damai Hari LubisPengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)
Sultan Yogyakarta sekaligus Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengkubuwono X sudah memperingatkan bekas Presiden Joko Widodo (Jokowi saat menjadi presiden) untuk tidak pernah mengkhianati Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri.
Wejangan Sri Sultan tentu dapat dibenarkan, karena Jokowi tidak pantas mengkhianati tokoh nasional yang nyata “membesarkannya”, selain Megawati sebagai seorang putri biologis sang proklamator, anak mendiang Presiden RI pertama Ir. Soekarno, juga salah seorang pahlawan bangsa ini.
Pesan mendalam tersebut disampaikan Sri Sultan Hamengkubuwono X saat bertemu Jokowi di Kompleks Keraton Jogja pada awal tahun di akhir bulan Januari 2024.
Dalam pertemuan tersebut Jokowi sempat bertanya kepada Sultan kenapa para dosen dan kampus dibiarkan bersuara,” dijawab oleh Sultan, “Itu kan suara para akademisi kenapa harus dilarang,”
Dari dialog ini kentara sekali, Jokowi tidak memahami dunia akademisi, sehingga pantas dia berperilaku cenderung otoritarian dalam pola kepemimpinannya (leadership character), sehingga patut dicurigai selain Jokowi dikenal amat sangat tidak jujur, karena sosoknya yang mudah sekali berbohong dan nampak tidak memiliki harga diri dan tanggung jawab moral (minim moralitas), juga Jokowi tidak mau transparansi atas dugaan publik terhadap ijazah palsu S.1 yang Ia gunakan Jo. Tata cara merujuk UU. Tentang Keterbukaan informasi Publik.
Menurut artikel penulis sebelumnya saat Jokowi memperlihatkan ketamakannya ingin 3 (tiga) periode melalui sounding para pembantunya, utamanya LBP dan kawan-kawan, namun ditolak oleh Megawati, maka Jokowi memang sudah berencana planning keduanya, untuk mengkhianati Megawati dus parti PDIP namun mesti diingat sebagai catatan penting pendapat penulis, Jokowi bukan untuk meninggalkan partai PDIP. PDIP adalah partai idolanya (cocok ideologinya) selain sejarah sudah mencatat dirinya (Jokowi), menjadi presiden atas sebab dukungan utama PDIP maka Ia akan merebut partai PDIP dengan segala pengaruhnya kelak.
Sedangkan planning kedua Jokowi yang fakta saat ini, terjadi Gibran yang tak jelas ijasahnya (mirip dirinya), dia paksakan naik dengan pola nepotisme yang sudah dirancang dengan pola “pernikahan politik” antara adiknya dengan Anwar Usman yang kemudian Anwar Usman selaku Ketua Mahkamah Konstitusi diperpanjang masa jabatannya.
Dan pra Jokowi dipecat pun, penulis dalam artikel, nyatakan bahwa, andai saja Megawati mau mendekati Prabowo, maka semudah membalikan telapak tangan, tinggal memberikan senyumnya dan Megawati, bisa jadi lebih terasa pahit dikhianati oleh sosok Jokowi, atas permasalahannya dengan sosok SBY dan publik yang bukan pendukung Megawati, bakal antusias mendukung full Megawati anak mantan presiden RI. dibanding terhadap seorang Jokowi, yang justru masih dipertanyakan biografinya oleh sebagian besar publik bangsa ini, bahkan Jokowi bakal menjadi musuh bersama (common enemy) mayoritas bangsa ini lintas SARA. Dalam kacamata luas, bukan kah saat ini perspektif publik nyata tidak apriori?
Megawati selaku seorang pemimpin yang komitmen dan bertanggungjawab kepada partai termasuk kepada para kadernya, terlebih kepada seorang Sekjen Hasto kristiyanto, mesin partainya yang loyal (setia) mendampinginya sejak pra dan pasca peristiwa “kuda tuli” tetap konsisten untuk membesarkan Partai PDIP, namun ternyata sang sekjen dikejar oleh KPK yang disinyalir “suruhan Jokowi” sang pengkhianat partai sampai-sampai malam natal diberi “bingkisan menyakitkan” surat penetapan tersangka/ TSK oleh KPK, karena ada kisah arogansi dan realistis, bahwa Jokowi orang yang memilih Ketua KPK Setyo Budiyanto, pada tanggal 14 Oktober 2024, walau sudah tidak berkepatutan karena bersisa 6 hari selesai masa jabatannya, sehingga perspektif logika publik, mempertanyakan, untuk apa mengurusi Ketua KPK baru? Sedang yang lama tugas jabatannya tidak sampai sepekan dari pelantikan Presiden terpilih 20 Oktober 2024? Andai tidak punya misi menanamkan kuku tajamnya serta untuk berupaya digunakan?