UPDATE

OPINI
OPINI

Aceh Masih Membutuhkan Dana Otsus

MENARIK menyimak pendapat beberapa tokoh Aceh yang mengomentari tentang dana Otsus, ada Prof A. Humam Hamid, Sosiolog dan Guru Besar USK yang dikenal kritis dan buah pikirannya kerap wara-wiri di berbagai media.

Ada juga Politisi Partai Gerindra T.A Khalid, Rektor UIN Ar-Raniry Prof Mujiburrahman, Tokoh Ulama Tgk H. Faisal Ali, dan tokoh perempuan Suraiya Kamaruzzaman, Ketua Dewan Pengawas Balai Syura Ureung Inong Aceh (BSUIA).

Judul tulisan yang tayang media Serambi Indonesia, Senin 14 Juli 2025 yang dirangkum dan diberi judul, “Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Alami Masalah Serius, Jika Dana Otsus Tak Diperpanjang”.

Highlight tulisan tersebut yakni tanpa perpanjangan dana Otsus, Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) berpotensi mengalami defisit besar.

Tingginya ketergantungan pada dana pusat, ditambah dengan keterbatasan dalam meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), menjadi tantangan utama bagi Aceh.

Konon dana Otsus Aceh akan berakhir pada tahun 2027 atau menjelang dua tahun kedepan. Tetapi benarkah tanpa Dana Otsus Aceh akan mengalami goncangan fiskal yang mengakibatkan Aceh bangkrut?

Jika ditelisik, pembangunan Aceh dalam dua dekade terakhir secara umum dapat dikatakan jalan di tempat. Masyarakat yang mengeluhkan minimnya ketersediaan fasilitas publik masih sangat tinggi. Pembangunan infrastruktur dasar publik seperti jalan, jembatan, dan sarana layanan lainnya bahkan tidak merata di setiap daerah.

Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto

Ketimpangan pembangunan semakin tampak nyata bila kita lihat lebih dekat di tiga wilayah Aceh yaitu lintas timur-utara, barat-selatan, dan tengah. Tingkat kemiskinan tinggi dan indeks pembangunan manusia masih terpuruk meskipun ada sedikit perbaikan.

Secara keseluruhan dapat disimpulkan, selama 20 tahun Aceh menerima dana otonomi khusus ratusan triliun rupiah, namun gagal meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat baik dari sisi ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan struktur sosial.

Berita Lainnya:
Duka Banjir di Sumatera Bercampur Amarah

Kegagalan Pemerintah Aceh menggunakan dana alokasi khusus untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi hingga di atas 5 persen serta mengejar ketertinggalan pembangunan dari provinsi-provinsi lain tersebut semata-mata karena gubernur-bupati/walikota tidak cerdas dalam pengelolaan anggaran. Beberapa puluh milyar bahkan dikorupsi oleh pejabat.

Pengelolaan anggaran yang tidak transparan dan akuntabel menyebabkan rawan terjadi kebocoran. Sehingga uang ratusan triliun tersebut tidak mampu menciptakan pembangunan yang berkelanjutan dan terintegrasi untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat.

Hasil kajian Kementerian Keuangan (2019), menyoroti efektifitas dana otsus menyimpulkan bahwa Pemda Otsus (Aceh Papua, Papua Barat) kurang transparan dalam menyampaikan data output dan outcome dari penggunaan dana otsus.

Temuan Kemenkeu tersebut jelas terkonfirmasi pada beberapa faktor penting yang menjadi sasaran dana otsus. Diantaranya tingkat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) penduduk miskin, dan pertumbuhan PDRB perkapita.

Menurut Kemenkeu rerata IPM periode 2011-2017 di Aceh 0,73 persen sedangkan rerata pertumbuhan IPM nasional 0,89 persen. Begitu pun tingkat pertumbuhan PDRB perkapita periode 2011-2017 di Aceh sebesar 3,34 persen bahkan lebih rendah dari Papua yang mencapai 6,25 persen. Sedangkan pertumbuhan PDRB perkapita nasional 8,80 persen.

Ini mengindikasikan ada yang tidak beres dalam pengelolaan dana Otsus. Fakta empiris terkait hal itu ditunjukkan oleh (Maulana, F at al.,2018), pengelolaan dana Otsus belum memenuhi prinsip Negara kesejahteraan, masih ada ketimpangan termasuk dalam perimbangan keuangan antara provinsi dengan kab/kota.

Akibatnya sektor pendidikan yang menjadi ujung tombak untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia gagal terjadi pemerataan. Begitu juga akses kesehatan, infrastruktur, dan pertumbuhan ekonomi antar daerah semakin meningkat kan gap.

Berita Lainnya:
Prabowo Punya Logikanya Sendiri

Padahal UU Nomor 17/2003 tentang Keuangan Negara menyatakan bahwa anggaran adalah alat akuntabilitas, manajemen, dan kebijakan ekonomi. Anggaran sebagai instrumen kebijakan ekonomi berfungsi untuk mewujudkan pertumbuhan dan stabilitas perekonomian serta pemerataan pendapatan dalam rangka mencapai tujuan bernegara.

Namun semenjak dana otonomi khusus Aceh digelontorkan pada 2008 dan terus meningkat jumlahnya secara progresif setiap tahunnya hingga sekarang, Aceh masih terseok-seok dalam pembangunan dan bahkan terpuruk dalam kemiskinan dan angka pengangguran terbuka yang masih meninggi.

Dengan fenomena yang tampak terang benderang maka patut dicurigai bahwa pengelolaan dana publik tersebut telah melenceng dari tujuan bernegara.

Boleh jadi kegagalan pengelolaan dana Otsus melahirkan Aceh baru yang maju, cerdas, dan bermartabat disebabkan lemahnya fungsi pengendalian anggaran sehingga terjadi overspending, underspending, bahkan salah sasaran dalam pengalokasian pada bidang yang bukan prioritas.

Sungguh sangat miris bila pemimpin Aceh saat ini akan meninggalkan generasi yang lemah dan mewariskan kemiskinan, kebodohan, di masa depan nanti. Sementara persaingan global terjadi peningkatan yang luar biasa dengan bangsa-bangsa di dunia. Dapat dibayangkan bagaimana posisi Aceh di masa mendatang?

Namun di bawah kepemimpinan Gubernur Aceh yang baru saya yakin bahwa Muzakir Manaf akan serius membenahi tata kelola anggaran termasuk dana Otsus dan fokus pembangunan akan tercurahkan pada peningkatan kesejahteraan rakyat Aceh secara menyeluruh.

Beliau akan sungguh-sungguh mewujudkan keadilan sosial di semua wilayah serta memprioritaskan pembangunan manusia sebagai kunci mencapai Aceh yang bermartabat, maju dan Islami.

Penulis: Warga Aceh berdomisili di pinggiran Kota

Reaksi

Berita Lainnya

Tampilkan Lainnya Loading...Tidak ditemukan berita/artikel lainnya.