Skema manipulasi kualitas dan bobot beras yang merugikan rakyat, di tengah lemahnya pengawasan negara.
Penulis: Hanny N
MENTERI Pertanian Amran Sulaiman mengungkap ada temuan sebanyak 157 merek beras premium yang tidak sesuai dengan standar mutu yang berlaku. Dari jumlah tersebut, hanya 26 merek yang memenuhi ketentuan.
“Premium yang sesuai hanya 26. Jadi bisa bayangkan 80 persen, lebih hampir 90 persen yang tidak sesuai,” ujar Amran dalam konferensi pers yang disiarkan secara daring melalui kanal YouTube Kementerian Pertanian, Kamis, 26 Juni 2025.
Kecurangan dalam perdagangan beras premium kembali mencuat ke publik. Praktek pengurangan timbangan, manipulasi kualitas, dan peredaran beras non-premium yang diklaim sebagai premium merugikan konsumen dan negara secara besar-besaran. Ironisnya, pelaku bukan hanya pedagang kecil, melainkan perusahaan besar yang seharusnya menjadi teladan. Padahal Indonesia memiliki sejumlah regulasi yang seharusnya mencegah tindakan tak bermoral ini. Lalu mengapa seolah regulasi tersebut tak bergigi?
Kapitalisme dan Normalisasi Kecurangan
Fenomena ini tak bisa dilepaskan dari sistem ekonomi kapitalisme sekuler yang menempatkan keuntungan sebagai tujuan utama. Dalam sistem ini, praktek manipulatif dianggap lumrah dan bahkan “pintar” secara bisnis. Kecurangan pun menjadi hal biasa karena sistem ini tidak dibangun atas dasar moral dan spiritual. Dalam Islam, tindakan semacam ini jelas haram dan tercela.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, yaitu orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi. Dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.” (QS. Al-Muthaffifin: 1–3)
Ayat ini menjadi landasan tegas bahwa kecurangan dalam takaran dan timbangan adalah bentuk kezaliman yang mendapat ancaman keras dari Allah. Maka praktik yang mengarah pada penipuan dan manipulasi mutu beras masuk dalam kategori ini.
Lemahnya Pengawasan dan Sanksi
Walaupun regulasi telah dibuat, lemahnya pengawasan dan tidak efektifnya sanksi membuat pelaku tetap leluasa beroperasi. Tidak ada efek jera karena hukuman yang ringan atau sulit dibuktikan. Sehingga praktik ini terus berulang.
Lebih jauh, hal ini juga menunjukkan kegagalan sistem pendidikan sekuler dalam mencetak individu yang amanah dan bertakwa. Pendidikan saat ini lebih mementingkan pencapaian akademik dibanding pembinaan akhlak. Maka tak heran banyak pelaku bisnis yang cerdas secara intelektual, namun rusak secara moral.
Dominasi Korporasi dan Ketidakhadiran Negara
Sistem tata niaga pangan nasional hari ini juga memperlihatkan dominasi korporasi. Negara hanya menguasai 10% pasokan pangan, selebihnya dikuasai pihak swasta. Kondisi ini membuat negara tidak memiliki bargaining power dalam urusan harga maupun kualitas, apalagi dalam mencegah kecurangan. Hilangnya peran negara sebagai pelayan rakyat (raain wa junnah) menyebabkan rantai pengawasan terputus dan kepentingan publik dikorbankan.
Padahal Rasulullah SAW menegaskan:
“Imam adalah pemelihara dan penanggungjawab (terhadap rakyatnya). Ia akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Penguasa dalam Islam adalah pelayan rakyat, bukan makelar kepentingan korporasi. Maka ketidakhadiran negara dalam mengatur pangan secara menyeluruh adalah bentuk pengingkaran terhadap amanah yang Allah berikan.
Solusi Islam: Ketakwaan, Kontrol, dan Sistem Sanksi
Islam memiliki mekanisme sistemik untuk memastikan keadilan tegak dan kecurangan dicegah. Ada tiga elemen penting: ketakwaan individu, kontrol sosial masyarakat, dan penerapan sistem sanksi oleh negara. Ketiganya saling melengkapi.
Untuk urusan ekonomi dan tata niaga, Islam mengenal institusi Qadhi Hisbah, yaitu aparat yang memeriksa aktivitas pasar agar sesuai dengan syariat dan hukum yang berlaku. Qadhi Hisbah memastikan regulasi bukan hanya di atas kertas, tapi benar-benar dijalankan.
Di masa Khalifah Umar bin Khattab, Qadhi Hisbah aktif mengawasi pasar, menegur pedagang nakal, bahkan memberikan sanksi di tempat bila terjadi kecurangan. Ini menunjukkan betapa seriusnya Islam dalam menjaga kejujuran dan keseimbangan pasar.
Pengelolaan Pangan ala Islam
Islam tidak menyerahkan urusan pangan pada korporasi. Negara wajib hadir penuh mulai dari *produksi, distribusi, hingga konsumsi*. Pengelolaan ini bukan semata memastikan pasokan, tapi juga menjaga kualitas, harga, dan pemerataan distribusi agar seluruh rakyat mendapatkan akses pangan yang layak.
Hal ini sesuai dengan kaidah:
Penguasa bertanggung jawab atas urusan rakyatnya, dan Apa yang menjadi kebutuhan umum, tidak boleh dimiliki oleh individu atau swasta.
Negara yang menerapkan sistem Islam akan menolak dominasi korporasi dan memastikan kebijakan pangan berpihak pada rakyat. Kecurangan pun bisa dicegah karena ada kontrol yang kuat dan sistem yang berpihak pada kebenaran, bukan keuntungan.
Membangun Generasi yang Amanah
Persoalan kecurangan beras juga tidak lepas dari minimnya pembinaan karakter dalam sistem pendidikan kita. Ketika pendidikan hanya fokus pada angka dan prestasi akademik, aspek moral dan spiritual seringkali diabaikan. Padahal dalam Islam, amanah bukan sekadar konsep, tapi karakter mulia yang wajib dimiliki setiap individu. Rasulullah SAW bersabda:
Tidak beriman seseorang yang tidak amanah. (HR. Ahmad dan Baihaqi)
Kalimat ini menunjukkan betapa pentingnya amanah sebagai indikator keimanan. Tanpa amanah, pelaku bisnis cenderung mencari celah untuk curang, apalagi jika sistem yang ada memungkinkan mereka untuk lolos dari hukum.
Oleh karena itu, solusi jangka panjang harus dimulai dari pembentukan individu yang bertakwa. Pendidikan yang berlandaskan nilai-nilai Islam akan membentuk generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga jujur, adil, dan bertanggung jawab. Inilah fondasi utama agar aturan dan regulasi memiliki daya gigit, bukan sekadar formalitas.
Penutup
Kecurangan beras premium bukan hanya masalah teknis pasar, melainkan masalah sistemik dari sebuah sistem yang jauh dari nilai ilahi. Lemahnya regulasi, dominasi korporasi, serta minimnya ketakwaan dalam individu dan penguasa menjadi faktor utama.
Islam menawarkan solusi menyeluruh yang telah terbukti efektif di masa lalu. Ketika keimanan individu dibina, kontrol sosial dijaga, dan negara menjalankan fungsi pelayan umat secara utuh, maka kecurangan akan menjadi sesuatu yang langka. Sudah saatnya sistem Islam dihadirkan sebagai alternatif atas tumpukan masalah yang tak kunjung selesai ini.































































































