UPDATE

OPINI
OPINI

Mengapa Pejabat Resah dengan Bendera One Piece?

MENJELANG perayaan Hari Kemerdekaan Indonesia, sebuah fenomena unik merebak: pengibaran bendera Bajak Laut Topi Jerami dari serial anime populer, One Piece di beberapa daerah.

Alih-alih merayakan dengan bendera Merah Putih semata, sebagian masyarakat justru menyandingkannya dengan bendera bergambar tengkorak khas Luffy.

Fenomena ini memicu berbagai tanggapan, terutama dari para pejabat yang merasa resah. Lantas, apa yang membuat simbol dari sebuah karya fiksi ini menjadi kontroversial di mata pemerintah?

Keresahan para pejabat bermula dari interpretasi simbolisme bendera tersebut.

Dalam cerita One Piece, bendera Jolly Roger melambangkan kebebasan, perlawanan terhadap tirani, dan solidaritas melawan “Pemerintah Dunia” yang korup. Pengibaran bendera ini di Indonesia, terutama saat isu ketidakadilan, korupsi, dan kesulitan ekonomi sedang hangat, dianggap sebagai bentuk kritik atau sindiran halus terhadap kondisi negara. Aksi ini diartikan sebagai cerminan kekecewaan publik yang merasa pemerintah saat ini tidak sejalan dengan aspirasi rakyat, mirip dengan perjuangan Bajak Laut Topi Jerami melawan kekuasaan yang sewenang-wenang.

Selain itu, para pejabat khawatir pengibaran bendera One Piece berpotensi mengikis nilai-nilai nasionalisme.

Dalam semangat merayakan kemerdekaan, pemerintah gencar mengimbau masyarakat untuk mengibarkan bendera Merah Putih sebagai simbol persatuan, patriotisme, dan pengorbanan para pahlawan. Mengibarkan bendera bajak laut, meskipun hanya dari sebuah serial, dikhawatirkan dapat menempatkan simbol negara pada posisi yang kurang sakral.

Berita Lainnya:
Prabowo Punya Logikanya Sendiri

Ada kekhawatiran bahwa hal ini bisa menodai makna dari bendera Merah Putih dan berpotensi memecah belah persatuan, bahkan dianggap sebagai upaya yang dapat mengancam wibawa negara.

Namun, di sisi lain, masyarakat yang mengibarkan bendera tersebut sering kali berdalih bahwa itu adalah bentuk ekspresi kreatif dan kritik sosial yang wajar dalam negara demokrasi, bukan upaya makar. Mereka tidak berniat melawan negara, melainkan hanya ingin menyuarakan keresahan dan harapan akan perubahan yang lebih baik, sama seperti semangat perjuangan kru Bajak Laut Topi Jerami.

Fenomena ini menunjukkan adanya perbedaan cara pandang antara pemerintah dan sebagian masyarakat dalam menyampaikan aspirasi, di mana satu pihak melihatnya sebagai ancaman, sementara pihak lain melihatnya sebagai bentuk aspirasi yang sah.

Lalu bagaimana seharusnya kita menyikapi? Sebagai warga negara Indonesia yang baik, tentu kecintaan terhadap tanah air merupakan sesuatu yang absolut. Tidak dapat ditawar. Kecintaan tersebut dibuktikan dengan pengorbanan dan mengisi kemerdekaan Indonesia dengan karya yang bermanfaat.

Manifestasi kecintaan terhadap tanah air juga bisa dalam wujud merayakan hari kemerdekaan dengan penuh penghayatan dan mengedepankan nilai-nilai sakral seperti pengibaran bendera merah putih. Meskipun tidak harus selalu dalam sebuah upacara khusus. Bahkan dalam kondisi bagaimana pun mengibarkan merah putih akan terlihat sebagai sikap penghormatan kepada bangsa dan negara.

Berita Lainnya:
Mitigasi Bencana Di Tangan Panglima

Memang ini sangat simbolik, tidak subtansial sebagai aksi mengisi kemerdekaan. Sedangkan amanat pembukaan UUD 1945 menekankan dengan jelas bahwa menciptakan kehidupan rakyat Indonesia yang makmur dan sejahtera adalah esensi utama kemerdekaan. Namun apa dinyana, pemimpin bangsa gagal mewujudkannya meski usia kemerdekaan nyaris satu abad.

Makanya tidak dapat disalahkan pula jika ada sebagian rakyat yang merasa kecewa. Bukan kepada tanah air dan tumpah darah Indonesia tetapi kepada elit penguasa yang telah nyata-nyata melanggar sumpahnya dan lupa diri dalam mengelola negara. Dengan demikian mestinya mereka tidak pantas marah jika rakyat meminta haknya.

Selain itu pengibaran bendera apapun tentu saja tidak dapat menggantikan posisi Merah Putih. Sebab itu kita juga menyakini bahwa fenomena one piece hanyalah ekspresi rasa kecewa semata terhadap penguasa yang dalam cerita itu disebut tirani dan tidak menegakkan keadilan. Sayangnya cuplikan cerita itu ternyata menggambarkan kondisi negara kita saat ini. Maka tidak ada salahnya rakyat menggugat dengan selembar bendera tanpa suara.

Kendati demikian yang lebih bijak adalah tetap mengibarkan sang saka merah putih di hari ulang tahun kemerdekaannya namun dengan wajah murka terhadap penguasa yang jelas-jelas menginjak-injak nilai-nilai Pancasila dan Pembukaan UUD 1945. Bravo para pejuang bangsa. *

Reaksi

Berita Lainnya

Tampilkan Lainnya Loading...Tidak ditemukan berita/artikel lainnya.