UPDATE

ISLAM
ISLAM

Shalawat Tarhim Sebelum Adzan: Syiar Islam atau Pelanggaran Tuntunan Nabi?

Oleh: Saifullah Hayati Nur**

SHALAWAT Tarhim kembali menjadi perbincangan hangat di Banda Aceh setelah lantunannya semakin sering terdengar melalui siaran Radio Baiturrahman. Alunan ini, yang biasanya mengudara menjelang waktu shalat, terdengar di masjid-masjid, rumah, warung kopi, hingga kendaraan umum. Bagi sebagian orang, ini dianggap indah, menenangkan, dan membangkitkan suasana religius. Namun, bagi sebagian lainnya—terutama yang berpegang teguh pada prinsip beragama yang ketat sesuai Al-Qur’an dan sunnah—shalawat tarhim justru dinilai menyalahi tuntunan Rasulullah ﷺ dan termasuk dalam kategori amalan bid‘ah yang seharusnya dihindari.

Istilah tarhim sendiri berasal dari kata Arab “rahima” yang berarti “mengasihi” atau “merahmati”. Dalam konteks di Nusantara, tarhim biasanya berupa lantunan shalawat, doa, dan puji-pujian kepada Allah serta Rasulullah ﷺ, dibacakan beberapa menit sebelum . Di Aceh, tradisi ini bukanlah sesuatu yang murni berasal dari budaya lokal, melainkan adaptasi dari kebiasaan di sebagian wilayah Timur Tengah dan Jawa yang diperkenalkan pada masa kolonial atau awal masuknya radio sebagai media dakwah. Dari sisi sejarah, tarhim lebih merupakan kebiasaan ulama atau takmir masjid yang ingin “mempersiapkan” jamaah untuk shalat.

Masalahnya muncul ketika kebiasaan ini mulai dianggap sebagai bagian dari ajaran agama yang seolah memiliki legitimasi syar’i, padahal Rasulullah ﷺ, para sahabat, dan generasi salaf yang saleh tidak pernah mencontohkan hal ini. Dalam ajaran Islam, semua tata cara ibadah, termasuk waktu dan bentuk seruan shalat, telah diatur secara sempurna melalui sunnah Nabi. Rasulullah ﷺ hanya menetapkan sebagai panggilan resmi menuju shalat fardu, disertai iqamah sebagai tanda dimulainya shalat. Tidak ada riwayat sahih yang menunjukkan bahwa beliau atau para sahabat mengumandangkan puji-pujian atau tarhim sebelum .

Para ulama yang mengkritik tarhim biasanya berpegang pada kaidah pokok dalam agama bahwa ibadah harus memiliki dalil yang jelas dari Al-Qur’an dan sunnah. Mereka mengutip sabda Rasulullah ﷺ dalam hadis sahih riwayat Bukhari dan Muslim: “Barang siapa membuat-buat perkara baru dalam urusan kami ini (agama) yang bukan berasal darinya, maka ia tertolak.” Hadis ini menjadi landasan bahwa setiap bentuk ibadah yang tidak pernah dicontohkan Nabi termasuk bid‘ah, meskipun niat pelakunya baik.

Shalawat tarhim, dalam bentuknya yang sekarang, tidak hanya dilakukan di masjid, tetapi juga melalui media elektronik seperti radio dan televisi. Radio Baiturrahman sebagai media resmi di Banda Aceh memutarkannya dengan jadwal tetap menjelang Subuh, Zuhur, Ashar, Magrib, dan Isya. Efeknya, tradisi ini semakin mengakar dan dipersepsikan sebagai bagian tak terpisahkan dari ibadah. Padahal, ketika suatu amalan yang tidak ada tuntunannya dipopulerkan secara masif, risikonya adalah umat akan menganggapnya sebagai kewajiban atau syariat yang harus dilaksanakan.

Pihak yang pro-tarhim sering berargumen bahwa lantunan tersebut hanyalah sarana untuk mengingatkan umat akan waktu shalat dan tidak dimaksudkan sebagai ibadah baru. Mereka menilai ini sebagai bentuk wasilah atau perantara menuju kebaikan, yang tujuannya murni untuk membangkitkan semangat ke masjid. Namun, argumentasi ini tidak serta merta membenarkan praktik tarhim. Dalam kaidah usul fiqh, wasilah yang mengandung kemiripan dengan ibadah tertentu atau berpotensi disangka sebagai bagian dari ibadah yang disyariatkan tetap harus dihindari, apalagi jika hal itu dilakukan secara rutin, terjadwal, dan diasosiasikan dengan ibadah fardu.

Berita Lainnya:
Pentingnya Peradaban Kota dalam Pandangan Ibnu Khaldun dan Sirah Nabi

Fenomena di Banda Aceh menunjukkan bahwa sebagian masyarakat sudah menganggap tarhim sebagai ajaran agama yang diwariskan oleh Nabi. Banyak anak-anak dan remaja tumbuh dengan asumsi bahwa sebelum harus ada tarhim, sehingga ketika mereka berada di tempat lain yang tidak memutar tarhim, mereka merasa ada yang kurang. Inilah yang dikhawatirkan para ulama salaf: bid‘ah kecil yang dibiarkan akan tumbuh menjadi kebiasaan yang sulit dihapuskan, bahkan dianggap lebih utama daripada sunnah yang sebenarnya.

Selain itu, ada aspek teknis yang juga patut diperhatikan. Pemutaran tarhim di radio atau pengeras suara masjid seringkali memiliki volume tinggi dan durasi panjang. Bagi masyarakat yang tinggal dekat dengan masjid atau memiliki jadwal tidur tertentu, ini bisa menjadi gangguan. Meskipun gangguan bukan alasan utama penolakan dari perspektif syariat, namun Islam sendiri mengajarkan untuk tidak mengganggu sesama Muslim, apalagi dengan sesuatu yang tidak diwajibkan oleh agama. Rasulullah ﷺ sendiri sangat menjaga agar ibadah tidak memberatkan umat, bahkan beliau pernah menegur imam yang shalat terlalu panjang karena khawatir memberatkan makmum.

Kritik terhadap tarhim bukan berarti menolak shalawat secara mutlak. Shalawat adalah ibadah yang sangat dianjurkan, bahkan Allah memerintahkan umat Islam untuk bershalawat kepada Nabi Muhammad ﷺ dalam Al-Qur’an surat Al-Ahzab ayat 56. Namun, cara dan waktu membacanya tidak boleh diikat dengan ketentuan tertentu kecuali yang datang dari syariat. Membaca shalawat setiap saat, di rumah, di perjalanan, atau di sela-sela aktivitas adalah amalan yang utama. Tetapi menjadikannya sebagai pengantar sebelum, apalagi dilakukan secara rutin dan masif, adalah bentuk pengkhususan waktu ibadah yang tidak ada tuntunannya.

Banyak ulama Ahlus Sunnah yang tegas dalam masalah ini. Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, ulama besar dari Saudi Arabia, pernah menjelaskan bahwa segala bentuk bacaan atau lantunan yang diatur waktunya sebelum adalah bid‘ah. Menurut beliau, cukup dengan yang disyariatkan untuk memanggil umat shalat, tanpa perlu tambahan ritual lain. Pendapat ini senada dengan fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Baz yang menegaskan bahwa kebiasaan seperti tarhim adalah tambahan dalam agama yang harus dihindari.

Dalam konteks Banda Aceh, polemik tarhim juga bersinggungan dengan qanun syariat yang berlaku di provinsi ini. Qanun memang mengatur kewajiban melaksanakan shalat berjamaah dan memakmurkan masjid, tetapi tidak secara eksplisit memerintahkan tarhim. Ini berarti, secara hukum daerah pun, tarhim bukanlah kewajiban. Karena itu, menganggapnya sebagai bagian dari syiar resmi berpotensi menyesatkan persepsi masyarakat tentang mana yang sunnah dan mana yang bid‘ah.

Berita Lainnya:
Perjalanan Hijrah Gary Iskak Menyentuh Hati, Tak Pernah Tinggalkan Sholat hingga Tutup Usia

Ada pula dimensi dakwah yang perlu dipikirkan. Ketika masyarakat awam melihat perbedaan praktik antara daerah yang memakai tarhim dan yang tidak, mereka mungkin bingung atau bahkan menuduh pihak yang tidak memutar tarhim sebagai kurang islami. Perpecahan seperti ini seharusnya dihindari, apalagi jika penyebabnya adalah amalan yang tidak memiliki dasar syar’i. Dakwah yang benar adalah mengajak umat kembali kepada Al-Qur’an dan sunnah dengan pemahaman para sahabat, bukan menambah-nambah ritual baru yang justru membuka pintu perbedaan pendapat yang tajam.

Sebagai media penyiaran keagamaan, Radio Baiturrahman memiliki peran besar dalam membentuk persepsi keagamaan masyarakat Aceh. Konten yang disiarkan secara rutin akan membentuk budaya dan keyakinan kolektif. Karena itu, penting bagi pengelola untuk mempertimbangkan landasan syariat dalam setiap programnya. Mengganti tarhim dengan pembacaan ayat-ayat Al-Qur’an, hadis-hadis Nabi, atau pengumuman waktu secara langsung adalah opsi yang lebih selaras dengan sunnah dan tetap bermanfaat bagi umat.

Menghapus tarhim bukan berarti menghapus nuansa religius di udara Banda Aceh. Justru, dengan kembali kepada tuntunan Nabi, umat akan lebih terjaga dari perbuatan yang tidak disyariatkan. Kekuatan Islam terletak pada kemurnian ajarannya, bukan pada kreativitas menambah ritual yang dianggap indah namun tidak ada dasarnya. Kita harus ingat, banyak bid‘ah dalam sejarah awalnya disukai umat karena dianggap memperindah ibadah, tetapi lambat laun menutupi sunnah yang sebenarnya.

Pada akhirnya, masalah tarhim bukan hanya soal selera atau kebiasaan, tetapi soal prinsip dalam beragama. Islam adalah agama yang sempurna, setiap detil ibadah sudah diatur oleh Allah melalui Rasul-Nya. Menambah sesuatu ke dalam ibadah, sekecil apapun, adalah bentuk ketidakpercayaan terhadap kesempurnaan ajaran ini. Rasulullah ﷺ telah mengajarkan kita untuk berpegang teguh pada sunnah dan menjauhi perkara baru dalam agama, karena semua bid‘ah adalah kesesatan, dan semua kesesatan akan menuntun ke neraka.

Oleh sebab itu, masyarakat Aceh, khususnya pengelola masjid dan media dakwah seperti Radio Baiturrahman, perlu merefleksikan kembali praktik shalawat tarhim ini. Jika tujuannya adalah mengingatkan umat akan waktu shalat, cukup dengan sebagaimana diajarkan Nabi. Jika tujuannya adalah bershalawat, lakukanlah setiap saat tanpa mengikatnya pada waktu tertentu sebelum. Dengan demikian, syiar Islam tetap terjaga, sunnah Nabi tetap hidup, dan umat terhindar dari bid‘ah yang berpotensi menjerumuskan.

**). Penulis adalah Warga Aceh yang tinggal di pinggiran Kota Banda Aceh

 

Reaksi

Berita Lainnya

Tampilkan Lainnya Loading...Tidak ditemukan berita/artikel lainnya.