UPDATE

OPINI
OPINI

Beras Bukan Lagi Sekadar Pangan, tapi Pemicu Kemiskinan di Aceh

Fenomena kemiskinan di wilayah perkotaan saat ini, termasuk Banda Aceh dan Aceh Besar, tidak bisa dilepaskan dari gejolak harga beras yang terus merangkak naik. Meski pemerintah telah menetapkan Upah Minimum Provinsi (UMP) Aceh, daya beli masyarakat justru melemah. Kenaikan upah yang hanya berkisar beberapa persen per tahun tidak mampu mengimbanginya, sementara inflasi pangan melaju lebih cepat.

Harga beras sebagai bahan pangan pokok kini menjadi faktor terbesar yang menggerus pendapatan riil masyarakat. Keluarga berpenghasilan rendah terpaksa mengalihkan anggaran dari kebutuhan lain—pendidikan, kesehatan, hingga perumahan—hanya untuk memenuhi kebutuhan beras harian.

Struktur pengeluaran rumah tangga miskin mencerminkan krisis ini: sekitar 18–20% dari garis kemiskinan di perkotaan disumbang oleh beras (BPS, 2024). Tekanan ini semakin berat bagi masyarakat yang tidak menerima bantuan sosial yang dijanjikan pemerintah, sementara distribusi bantuan memiliki kebocoran hingga 70%, di mana justru banyak yang tidak termasuk yang paling miskin menerima manfaatnya (Bank Dunia, 2012).

Berita Lainnya:
TNI Maksimalkan Operasi Udara dan Jembatan Darurat, Fokus Pulihkan Akses Daerah Terisolasi Aceh

Kenaikan harga beras menciptakan efek domino: dari lauk-pauk hingga harga makanan di usaha kuliner kecil meroket—membebani pekerja sektor informal seperti ojek, pedagang kaki lima, dan buruh harian. Setiap kenaikan harga beras 1% dapat meningkatkan angka kemiskinan perkotaan hingga 0,12% (BPS, 2024). Elastisitas konsumsi pangan menunjukkan bahwa saat harga beras naik, rumah tangga miskin mengurangi asupan protein dan gizi penting lainnya (IPB University, 2020).

Dalam perkembangan terbaru, stok beras di Aceh sangat melimpah. Gudang Bulog Aceh kini menyimpan sekitar 118 ribu ton—cukup untuk 14 bulan pemenuhan kebutuhan (Detik, Mei 2025). Panen raya yang berkelanjutan membuat Aceh tidak perlu mengimpor beras—malah mengirim ke provinsi tetangga. Baru-baru ini, Bulog Aceh mengirim 4.000 ton hingga 20.000 ton beras ke Perum Bulog Sumut di Medan untuk memperkuat stok pangan di sana. Inisiatif ini meringankan tekanan stok di Sumut, tetapi juga menambah kompleksitas distribusi: stok melimpah di Aceh tidak otomatis membuat harga di pasaran kota lebih terjangkau.

Berita Lainnya:
Rampung! Jembatan Bailey Teupin Mane Sudah Bisa Dilalui, Akses Bireuen-Bener Meriah Pulih

Tidak hanya soal angka. Beban psikologis akibat ketidakpastian pangan menambah kerentanan sosial. Keluarga miskin di perkotaan tertekan secara ekonomi, berutang, atau melakukan penghematan ekstrem yang mengorbankan kualitas gizi. Lonjakan harga beras menunjukkan bahwa ini bukan sekadar isu pasar—melainkan problem struktural tak boleh diabaikan.

Melimpahnya stok beras di gudang Bulog Aceh hingga mampu mengirim puluhan ribu ton ke Medan seharusnya menjadi kabar baik, namun realitas di lapangan menunjukkan ironi: warga miskin di Banda Aceh dan Aceh Besar tetap membeli beras dengan harga tinggi, sementara banyak yang tak tersentuh bantuan sosial yang dijanjikan. Ini adalah potret kegagalan tata kelola pangan—bukan karena kurangnya produksi, melainkan buruknya distribusi dan lemahnya keberpihakan pada kelompok rentan. Selama beras diperlakukan sekadar sebagai komoditas dagang, bukan hak dasar rakyat, kemiskinan di perkotaan akan terus bertambah, meski gudang-gudang kita penuh dan laporan ekonomi tampak indah di atas kertas.

Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto

Reaksi

Berita Lainnya

Tampilkan Lainnya Loading...Tidak ditemukan berita/artikel lainnya.