UPDATE

ISLAM
ISLAM

80 Tahun Merdeka, Tapi Terjajah Tak Kasat Mata

Kemerdekaan sejati tak cukup hanya dengan upacara dan bendera, tetapi harus bebas dari belenggu penjajahan ekonomi, politik, dan ideologi.

Oleh: Hanny N

AGUSTUS selalu menjadi bulan yang penuh gegap gempita. Bendera merah putih berkibar di setiap sudut jalan, lomba-lomba rakyat digelar, pidato kenegaraan disampaikan dengan kata-kata manis tentang persatuan dan kemajuan bangsa. Tapi, di balik suasana meriah itu, pertanyaan besar perlu kita ajukan: apakah bangsa ini benar-benar sudah merdeka?

Data yang dilansir Tirto.id menunjukkan betapa rentannya posisi kelas menengah Indonesia. Kelompok yang sering disebut “penopang ekonomi” ini ternyata mudah jatuh miskin jika diterpa krisis. Gaji naik perlahan, biaya hidup melambung, harga pangan terus meningkat, dan utang rumah tangga makin menggunung. Ironisnya, di tengah sempitnya napas ekonomi rakyat, sumber daya alam melimpah terus dieksploitasi oleh korporasi besar, sebagian besar milik asing. (tirto.id, 7-8-2025)

Jika merdeka diartikan sekadar tidak lagi dijajah secara fisik oleh Belanda atau Jepang, maka memang kita merdeka. Namun, jika merdeka berarti terbebas dari pengaruh, kendali, dan aturan penjajah dalam seluruh aspek kehidupan, maka faktanya Indonesia belum sepenuhnya merdeka. Kita hanya berpindah dari penjajahan fisik ke penjajahan sistemik.

Potret Nyata 80 Tahun Kemerdekaan

Hari ini, rakyat masih hidup dalam pusaran kesulitan ekonomi. PHK massal menjadi berita rutin, harga kebutuhan pokok terus melambung, utang negara menembus ribuan triliun, dan kelas menengah rentan jatuh miskin. Ironisnya, di negeri kaya sumber daya ini, sebagian rakyatnya kesulitan memenuhi kebutuhan dasar seperti pangan, pendidikan, dan kesehatan.

Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto

Tak hanya di bidang ekonomi, di bidang sosial dan budaya pun kita dijajah secara halus. Deradikalisasi dikampanyekan besar-besaran, istilah Islam moderat terus digembar-gemborkan, sementara ajaran Islam yang kaffah distigma sebagai ancaman. Generasi muda diarahkan pada gaya hidup hedonis dan jauh dari identitas Islamnya. Bahkan, kebijakan negara seringkali mengacu pada kepentingan asing melalui agenda-agenda global seperti Sustainable Development Goals (SDGs) atau kerjasama perdagangan yang menguntungkan korporasi internasional.

Penjajahan Gaya Baru

Dulu penjajah datang dengan kapal dan senjata. Kini penjajahan hadir dalam bentuk perjanjian utang, kontrak dagang yang timpang, privatisasi sektor strategis, dan regulasi yang menguntungkan investor asing.

Indonesia adalah salah satu negara dengan cadangan nikel, batu bara, emas, minyak, dan gas yang besar. Namun, kekayaan ini tidak sepenuhnya dikelola untuk kemakmuran rakyat. Sebagian besar justru dikuasai oleh perusahaan multinasional. Rakyat hanya menjadi penonton, sementara keuntungan besar dibawa keluar negeri.

Berita Lainnya:
Perjalanan Hijrah Gary Iskak Menyentuh Hati, Tak Pernah Tinggalkan Sholat hingga Tutup Usia

Akar Masalah: Sistem Kapitalisme

Kapitalisme telah menjadi sistem yang mengatur hampir seluruh aspek kehidupan bangsa. Dalam sistem ini, kekuasaan dan kebijakan publik sering tunduk pada kekuatan modal. Negara berperan sebagai fasilitator bisnis, bukan sebagai pelindung rakyat.

Hasilnya bisa kita lihat: kesenjangan ekonomi melebar, pendidikan dan kesehatan mahal, dan rakyat dipaksa “berjuang sendiri” di tengah derasnya arus pasar bebas. Dalam kapitalisme, yang kuat semakin kuat, yang lemah semakin tersingkir.

Islam sudah mengingatkan bahaya sistem zalim seperti ini. Allah berfirman,” Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil…” (QS. Al-Baqarah: 188)

Ayat ini menegaskan bahwa harta rakyat tidak boleh diambil secara zalim melalui kebijakan, monopoli, atau transaksi yang merugikan mereka.

Penjajahan Sistem Kapitalisme Sekuler

Masalah ini bukan sekadar soal pemimpin yang salah kelola, tapi karena sistem yang kita terapkan adalah kapitalisme sekuler—warisan langsung dari kolonialisme Barat. Sistem ini mengatur negara berdasarkan pemisahan agama dari kehidupan publik, menjadikan keuntungan materi sebagai tujuan utama, dan menyerahkan ekonomi pada mekanisme pasar bebas.

Alhasil, kekayaan alam dijual murah kepada asing. Kebijakan ekonomi tunduk pada lembaga keuangan global seperti IMF dan Bank Dunia. Pendidikan diarahkan sesuai standar Barat, bukan akidah Islam. Hukum dibuat untuk melayani kepentingan elite, bukan melindungi rakyat.

Allah SWT sudah mengingatkan dalam Al-Qur’an,” Dan sekali-kali orang-orang kafir itu tidak akan rela kepadamu hingga kamu mengikuti millah mereka…” (QS. Al-Baqarah: 120)

Ayat ini jelas menegaskan bahwa selama umat Islam mengikuti aturan dan sistem mereka, penjajah akan terus mendikte arah kebijakan kita.

Sejarah Membuktikan: Merdeka Hakiki dengan Khilafah

Jika kita menengok sejarah, umat Islam pernah mengalami kemerdekaan hakiki di bawah naungan Khilafah Islamiyah. Bukan hanya terbebas dari penjajahan fisik, tetapi juga berdiri sebagai negara adidaya selama lebih dari 13 abad.

Di masa itu kekayaan alam dikelola penuh oleh negara untuk kepentingan rakyat. Pendidikan gratis dan berkualitas merata di seluruh wilayah. Keadilan hukum ditegakkan tanpa pandang bulu, bahkan khalifah pun tunduk pada hukum Allah. Politik luar negeri diarahkan untuk melindungi dan menyebarkan Islam, bukan untuk mencari keuntungan semata.

Berita Lainnya:
Israel Terus Serang Gaza Selama Gencatan Senjata, Total Korban Tewas Hampir 70.400 Orang

Rasulullah ﷺ bersabda, “Imam (Khalifah) adalah perisai, di belakangnya umat berperang dan kepadanya mereka berlindung.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits ini menegaskan bahwa kepemimpinan dalam Islam berfungsi sebagai pelindung umat, bukan alat untuk melanggengkan kepentingan kelompok atau asing.

Perbedaan Mendasar: Kapitalisme vs Islam

Dalam kapitalisme, negara bertindak sebagai regulator yang memberi ruang bagi swasta dan asing menguasai aset strategis. Utang luar negeri dianggap wajar untuk pembiayaan pembangunan. Moral masyarakat dibentuk oleh tren global, bukan oleh syariat.

Dalam Islam, kekayaan alam adalah milik umum, negara mengelola dan hasilnya untuk seluruh rakyat. Tidak ada konsep utang berbunga (riba) yang menjerat negara. Syyariat menjadi sumber hukum tertinggi, mengatur ekonomi, pendidikan, politik, dan seluruh aspek kehidupan.

Ajakan untuk Perubahan Hakiki

Kemerdekaan yang kita rayakan tiap Agustus seharusnya menjadi momen muhasabah. Apakah kita puas dengan kondisi sekarang? Apakah kita rela kemerdekaan yang diperjuangkan dengan darah dan nyawa para pejuang hanya berakhir pada kemerdekaan semu di bawah kendali sistem kapitalisme?

Perubahan hakiki hanya bisa terjadi jika kita berani meninggalkan sistem warisan penjajah ini dan kembali pada sistem yang berasal dari Allah SWT—Islam kaffah. Allah berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan (kaffah), dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 208)

Sudah 80 tahun kita merdeka, tetapi rakyat masih menanggung beban penjajahan gaya baru. Saatnya umat menyadari bahwa masalah ini bukan sekadar soal kebijakan yang salah, tetapi karena kita mengadopsi sistem yang salah: kapitalisme.

Kita memerlukan perubahan mendasar dengan kembali pada sistem Islam yang telah terbukti memerdekakan umat dari segala bentuk penjajahan. Perubahan ini bukan sekadar mimpi, tetapi sebuah kewajiban yang harus diperjuangkan bersama.

Kemerdekaan hakiki hanya bisa diraih jika kita memiliki negara yang berdaulat penuh, berdiri di atas hukum Allah, dan melepaskan diri dari cengkeraman asing. Inilah kemerdekaan yang akan melahirkan keadilan, kemakmuran, dan kehormatan sejati bagi bangsa.

Wallahu’alam bish shawab

Reaksi

Berita Lainnya

Tampilkan Lainnya Loading...Tidak ditemukan berita/artikel lainnya.