PEKANBARU – Jumat (15/8/2025) menjadi hari yang disebut Corruption Investigation Committee (CIC) sebagai “Jumat Keramat” untuk penegakan hukum di Indonesia.
Organisasi antikorupsi ini secara terbuka mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Gubernur Riau Abdul Wahid sebagai tersangka kasus dugaan korupsi dana Corporate Social Responsibility (CSR) Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
CIC menuding Abdul Wahid menerima aliran dana hingga Rp25 miliar dalam skandal yang disebut sebagai “Pusaran Gurita” korupsi CSR BI & OJK, yang diduga merugikan negara hingga Rp28,2 triliun. Nilai kerugian ini menjadikan kasus tersebut salah satu dugaan penyelewengan dana sosial terbesar dalam sejarah Indonesia.
“Kalau Abdul Wahid tidak terlibat, silakan klarifikasi. Tapi kalau terlibat, sebagai kesatria segera serahkan diri dan mundur dari jabatan. Jangan menghilang bak ditelan bumi,” tegas Ketua Umum CIC, R. Bambang SS, saat konferensi pers di Pekanbaru.
Kasus ini pertama kali terendus pada akhir 2024 ketika Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengeluarkan Laporan Hasil Analisis (LHA) terkait transaksi mencurigakan dari program CSR BI dan OJK. Dana yang seharusnya digunakan untuk kegiatan sosial, seperti pembangunan fasilitas umum dan pemberdayaan masyarakat, ternyata dialirkan melalui yayasan yang dikelola atau terafiliasi dengan anggota Komisi XI DPR RI.
Dari yayasan tersebut, dana diduga digunakan untuk pembiayaan pribadi, penguatan jaringan politik, bahkan pembelian aset pribadi. Laporan PPATK inilah yang kemudian menjadi dasar pengaduan masyarakat ke KPK.
Penyelidikan umum dimulai Desember 2024. Dalam waktu enam bulan, KPK menemukan setidaknya dua alat bukti yang cukup untuk menetapkan dua anggota Komisi XI DPR RI sebagai tersangka: Satori (Nasdem) dan Heri Gunawan (Gerindra).
Namun, menurut CIC, daftar penerima dana CSR tidak berhenti di dua nama tersebut. Salah satunya adalah Abdul Wahid, yang ketika itu masih menjabat anggota Komisi XI DPR RI sebelum terpilih menjadi Gubernur Riau.
Komisi XI DPR memiliki peran strategis dalam mengawasi dan menyetujui anggaran BI dan OJK. Posisi ini menjadi pintu masuk bagi terjadinya transaksi “balas budi” melalui alokasi dana CSR.
Menurut CIC, terdapat kesepakatan informal yang melibatkan tiga poin utama:
Kuota Dana CSR – BI mengalokasikan sekitar 10 kegiatan CSR per tahun untuk setiap anggota Komisi XI, sedangkan OJK mengalokasikan antara 18–24 kegiatan per tahun.
Penyaluran melalui Yayasan – Dana disalurkan melalui yayasan yang dikelola atau terafiliasi langsung dengan anggota dewan.
Pengaturan Teknis oleh Tenaga Ahli – Tenaga Ahli anggota DPR RI bertemu dengan pelaksana dari BI dan OJK untuk membahas pencairan dan penggunaan dana, yang pada praktiknya dipakai untuk kepentingan non-program.
Bambang menyebut, mekanisme ini berlangsung sistematis dan berulang selama beberapa tahun.
“Ini bukan kebetulan, ini pola yang sudah mapan. Kami menyebutnya ‘pusaran gurita’ karena melibatkan banyak pihak dan cabang kepentingan,” ujarnya.
Abdul Wahid adalah figur politik yang menanjak cepat. Sebelum menjadi Gubernur Riau, ia merupakan anggota DPR RI dari Komisi XI. Rekam jejaknya di parlemen membuatnya memiliki hubungan dekat dengan mitra kerja Komisi XI, termasuk BI dan OJK.
Kedekatan inilah yang, menurut CIC, membuat namanya muncul dalam daftar penerima aliran dana CSR.
“Posisinya strategis, relasinya luas, dan aksesnya besar. Itu yang membuat aliran dana ini bisa masuk,” kata Bambang.
Timeline Kasus
- Desember 2024 – PPATK mengirim LHA ke KPK terkait transaksi mencurigakan dana CSR BI & OJK.
- Januari 2025 – KPK membuka penyelidikan umum.
- Maret 2025 – KPK menemukan dua alat bukti kuat; penyidikan resmi dimulai.
- Mei 2025 – KPK menetapkan dua anggota Komisi XI DPR RI, Satori dan Heri Gunawan, sebagai tersangka.
- Juli 2025 – Nama Abdul Wahid mulai disebut dalam pemeriksaan saksi.
- Agustus 2025 – CIC secara resmi mendesak KPK menetapkan Abdul Wahid sebagai tersangka.
CIC memperkirakan total kerugian negara mencapai Rp28,2 triliun, dengan aliran dana ke sejumlah pihak politik, pejabat daerah, dan pihak swasta. Dana sebesar itu, kata Bambang, seharusnya mampu membiayai ratusan proyek infrastruktur sosial di seluruh Indonesia.
“Bayangkan jika Rp28 triliun itu digunakan sesuai tujuan, berapa banyak sekolah, rumah sakit, dan fasilitas publik yang bisa dibangun,” katanya.
Dua hari terakhir, publik Riau kehilangan jejak Abdul Wahid. Padahal, sebelumnya ia kerap hadir dalam kegiatan resmi provinsi.
“Kami melihat ini sebagai indikasi menghindar dari sorotan. Kalau tidak bersalah, seharusnya tampil dan menjelaskan,” kata Bambang.
CIC menegaskan akan terus mengawal kasus ini hingga tuntas, termasuk mengungkap aktor utama dan jejaring penerima dana.
“Kemanapun sembunyi, kami akan terus mengejar dan mengawal. Tidak ada ruang untuk kompromi,” tegas Bambang.
Hingga berita ini dirilis, KPK belum memberikan tanggapan resmi atas desakan CIC. Namun, sumber internal KPK mengonfirmasi bahwa penyidikan masih berjalan dan kemungkinan akan ada penetapan tersangka baru dalam waktu dekat.
Praktik penyalahgunaan dana CSR lembaga negara bukan fenomena baru. Sejumlah kasus sebelumnya menunjukkan pola yang mirip: dana disalurkan melalui pihak ketiga (yayasan atau LSM) yang dikelola oleh pejabat atau orang dekatnya, kemudian digunakan untuk kepentingan pribadi atau politik.
Pengawasan lemah, minimnya transparansi alokasi, serta hubungan “politik timbal balik” antara legislatif dan mitra kerja menjadi faktor utama yang membuat praktik ini berulang.
Kasus CSR BI & OJK yang menyeret nama Gubernur Riau Abdul Wahid menegaskan bahwa dana sosial lembaga negara rentan menjadi lahan bancakan elite politik. KPK dituntut membuktikan komitmen antikorupsi tanpa pandang bulu, sekalipun pelaku menjabat di posisi strategis.






























































































