UPDATE

OPINI
OPINI

Dilema Anggaran, Antara Utang dan Kemanusiaan

Pemerintahan Kota Banda Aceh tengah berada di persimpangan jalan yang sulit. Di satu sisi, Walikota Illiza Sa’aduddin dan Wakil Walikota Afdhal Khalilullah berkomitmen melunasi utang besar warisan pemerintahan sebelumnya. Di sisi lain, ribuan tenaga honorer yang diantaranya telah mengabdi puluhan tahun menanti kepastian status melalui pengangkatan sebagai PPPK Paruh Waktu—sebuah hak yang sebenarnya telah dijamin oleh negara.

Inilah dilema klasik, memilih menyelamatkan keuangan daerah atau menyahuti hak kemanusiaan para abdi negara. Pilihan keduanya sama-sama berat, namun memiliki implikasi moral yang jauh berbeda.

Beban Utang yang Harus Ditanggung

Tidak bisa dipungkiri, warisan utang Pemko Banda Aceh adalah fakta pahit yang menuntut perhatian serius. Melunasi utang merupakan tanggung jawab moral sekaligus legal yang tidak bisa diabaikan, karena jika tidak, maka kredibilitas keuangan daerah akan runtuh. Dari sisi manajemen fiskal, fokus membayar utang adalah pilihan yang terkesan rasional.

Namun, apakah keberhasilan fiskal dapat berdiri tegak bila di atasnya ada ribuan honorer yang terus menunggu kepastian status, bahkan sebagian telah mendekati masa pensiun?

Berita Lainnya:
Gagal Menciptakan Lingkungan Ramah Anak: Analisis Sistemik Maraknya Penculikan Anak di Indonesia

Honorer: Wajah Kemanusiaan yang Terlupakan

Di balik angka-angka anggaran, ada wajah-wajah manusia yang mengabdi dengan gaji minim, bahkan kadang tak sebanding dengan tenaga dan waktu yang dikorbankan. Mereka adalah guru honorer, tenaga kesehatan, petugas kebersihan, dan berbagai peran vital lain yang selama ini menjaga jalannya pelayanan publik di Banda Aceh.

Ketika negara telah memberi jalan dengan skema PPPK Paruh Waktu, menutup pintu bagi mereka berarti memutus harapan akan status yang lebih jelas, layak, dan bermartabat. Di titik inilah, kebijakan fiskal tidak lagi sekadar soal angka, tetapi soal nurani.

Antara Rasionalitas dan Nurani

Walikota dan Wakil Walikota tentu menghadapi dilema besar. Namun, perlu disadari bahwa membayar utang adalah kewajiban, sementara menunaikan hak honorer adalah kemanusiaan. Keduanya tidak semestinya dipertentangkan, tetapi dicarikan jalan tengah. Bukankah pemerintahan yang baik seharusnya mampu menyelamatkan keuangan tanpa mengorbankan mereka yang selama ini menopang roda pemerintahan?

Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto

Menyusun Jalan Tengah

Solusi memang tidak instan. Pemerintah kota dapat membuka ruang negosiasi dengan pemerintah pusat untuk penambahan dana, melakukan efisiensi belanja daerah yang tidak prioritas, bahkan menjajaki skema pembayaran utang yang lebih fleksibel. Di saat yang sama, keberanian untuk mengusulkan pengangkatan honorer menjadi PPPK Paruh Waktu tetap harus ditunjukkan, agar mereka merasa dihargai dan tidak diperlakukan sekadar sebagai angka dalam pos pengeluaran.

Berita Lainnya:
COP30 Brasil: Menggugat Tanggung Jawab Sejati di Balik Krisis Iklim

Jangan Biarkan Nurani Tumpul

Sejarah akan mencatat bukan hanya soal utang yang berhasil dilunasi, tetapi juga bagaimana sebuah pemerintahan memperlakukan orang-orang yang setia mengabdi meski dalam keterbatasan. Jangan sampai Banda Aceh dikenal sebagai kota yang menyehatkan keuangan daerah, tetapi melupakan sisi kemanusiaannya.

Pada akhirnya, kemerdekaan sejati sebuah kota bukan diukur dari nolnya angka utang, melainkan dari tegaknya keadilan dan terpenuhinya hak-hak warganya, terutama mereka yang telah mengabdi puluhan tahun dengan setia. Insya Allah dengon doa ureung honorer yang ikhlas berbuat, kota Banda Aceh di bawah Bunda Illiza akan sijahtera dan menjadi negeri yang damai tentram.

Reaksi

Berita Lainnya

Tampilkan Lainnya Loading...Tidak ditemukan berita/artikel lainnya.