JAKARTA – Pasar obligasi Indonesia terus menunjukkan penguatan signifikan sepanjang kuartal ketiga 2025. Penurunan yield terjadi di hampir seluruh tenor, bahkan pada obligasi jangka pendek rata-rata sudah mencapai 1 persen per 25 September, jauh turun dari 5,4 persen pada Agustus. Fenomena ini dikenal sebagai Bull Steepening, yakni kondisi di mana yield tenor pendek turun lebih cepat dibanding tenor panjang.
Analis Pasar Modal PT Penilai Harga Efek Indonesia (PHEI), Alfian Fernando menjelaskan, tren tersebut menggambarkan adanya optimisme kuat dari pelaku pasar terhadap prospek ekonomi Indonesia. “Walaupun pasar sudah terlihat rally, penurunan yield masih berlanjut, terutama di jangka pendek. Ini menandakan kepercayaan investor cukup tinggi,” ujarnya dalam edukasi wartawan di Jakarta, Selasa (30/9/2025).
Dari sisi pelaku pasar, Alfian menyebut perbankan menjadi penggerak utama dengan akumulasi lebih dari Rp300 triliun obligasi pemerintah, sehingga kepemilikan naik dari 18 persen di awal tahun menjadi 21 persen pada September.
Sementara itu, kepemilikan asing justru menyusut hingga 11,2 persen akibat sempitnya spread yield antara SBN Indonesia dan US Treasury yang kini hanya 230 basis poin, turun dari rata-rata historis 360 bps. “Dengan risiko mata uang dan risiko negara, spread yang kecil ini kurang menarik bagi investor asing. Meski demikian, tekanan jual dari asing mulai mereda dalam beberapa minggu terakhir,” tambah Alfian.
Ia juga menilai kebijakan fiskal pemerintah cukup tepat. Belanja APBN meningkat, sementara RAPBN 2026 memproyeksikan kebutuhan penerbitan SBN yang lebih rendah berkat kenaikan pendapatan negara. Di sisi moneter, Bank Indonesia diperkirakan akan menurunkan suku bunga satu hingga dua kali lagi pada kuartal IV 2025. Dengan kondisi tersebut, yield obligasi diperkirakan tetap terjaga, sementara rupiah stabil di kisaran Rp16.500 per dolar AS.
Terkait pilihan investasi, Alfian menyarankan investor ritel untuk lebih fokus pada obligasi jangka pendek (di bawah 5 tahun) dan Obligasi Syariah (Sukuk). “Momentum pasar obligasi masih menarik. Investor perlu memperhatikan tenor, frekuensi kupon, dan ketersediaan opsi jual di pasar sekunder agar tetap likuid,” tegasnya.





























































































