Oleh: Muhammad Waqif Al Ghifary**
GAGASAN tentang mata uang bersama BRICS—yang digagas oleh Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan, dan kini diperluas dengan keanggotaan negara-negara seperti Mesir, Ethiopia, Iran, Uni Emirat Arab, bahkan Indonesia—menjadi perbincangan penting dalam percaturan ekonomi global.
Upaya ini lahir dari keinginan untuk mengurangi ketergantungan terhadap dolar Amerika Serikat dan memperkuat kemandirian ekonomi negara-negara berkembang. Di tengah perubahan besar ini, muncul pertanyaan menarik: bagaimana Islam memandang wacana pembentukan mata uang BRICS?
Dalam pandangan Islam, setiap instrumen ekonomi harus berlandaskan tiga prinsip utama, yakni keadilan (al-‘adl), kemanfaatan (maslahah), dan kesesuaian dengan hukum syariah. Apabila keberadaan mata uang BRICS membawa manfaat berupa stabilitas ekonomi, memperkuat posisi tawar negara-negara anggota, serta mengurangi dampak negatif dari fluktuasi nilai tukar, maka dari perspektif Islam, hal itu dapat dinilai positif. Islam tidak menolak inovasi ekonomi selama tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan mampu menghadirkan keadilan bagi seluruh pihak.
Namun, dalam penerapannya, beberapa catatan penting perlu diperhatikan. Pertama adalah persoalan riba. Sistem keuangan global modern sering kali terkait dengan bunga, spekulasi, dan instrumen derivatif—semuanya dilarang dalam Islam. Oleh karena itu, keberadaan mata uang BRICS harus dijaga agar tidak mengandung praktik riba, gharar (ketidakjelasan), dan maysir (spekulasi berlebihan). Fatwa DSN-MUI No. 28/DSN-MUI/III/2002 tentang Jual Beli Mata Uang (Al-Sharf) menegaskan bahwa transaksi mata uang dibolehkan asalkan tidak untuk spekulasi, dilakukan secara tunai, dan mengikuti nilai tukar yang berlaku. Prinsip ini menjadi landasan penting agar penggunaan mata uang BRICS tetap sesuai dengan syariah.
Kedua, perlu diperhatikan status fiat money atau uang kertas tanpa jaminan emas maupun perak. Sebagian ulama berpendapat bahwa uang semacam ini diperbolehkan selama diterima secara luas (‘urf) dan membawa kemaslahatan bagi masyarakat. Maka, jika mata uang BRICS nantinya berbentuk fiat money, keabsahannya dalam pandangan Islam akan bergantung pada sejauh mana ia mampu memenuhi prinsip keadilan dan tidak menimbulkan kemudaratan bagi umat.
Ketiga, keberadaan negara-negara muslim seperti Indonesia, Iran, dan Uni Emirat Arab dalam kelompok BRICS membuka peluang besar untuk membawa nilai-nilai ekonomi Islam ke dalam kebijakan internasional. BRICS dapat menjadi wadah strategis bagi penerapan sistem keuangan yang lebih beretika, transparan, dan bebas riba. Jika nilai-nilai ini mampu diinternalisasikan, maka BRICS bukan hanya simbol kemandirian ekonomi global, tetapi juga sarana memperkuat kontribusi Islam dalam membangun sistem ekonomi dunia yang adil dan menyejahterakan.
Pada akhirnya, perspektif Islam terhadap mata uang BRICS bersifat kritis sekaligus konstruktif. Islam tidak menolak inovasi moneter, asalkan selaras dengan prinsip syariah dan berorientasi pada kemaslahatan umat. Tantangan terbesar bukan hanya pada penciptaan instrumen baru, tetapi pada bagaimana menjaganya agar tetap beretika, bebas riba, dan berpihak kepada keadilan sosial. Bila prinsip-prinsip tersebut dipegang teguh, maka mata uang BRICS bukan sekadar proyek ekonomi global, melainkan peluang bagi dunia Islam untuk menunjukkan bahwa nilai-nilai syariah mampu berperan dalam mewujudkan tatanan ekonomi internasional yang lebih berkeadilan.
**). Penulis adalah Mahasiswa Program Akuntansi Syariah, Universitas Tazkia































































































