Oleh: dr. Masry, SpAn**
TRANSFORMASI rumah sakit umum daerah (RSUD) menjadi Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) bukan sekadar perubahan administratif.
Ia adalah pergeseran paradigma: dari birokrasi anggaran menuju manajemen pelayanan yang adaptif, profesional, dan berani mengambil risiko demi mutu layanan yang lebih baik.
Dengan status BLUD, RSUD memperoleh fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan, sebagaimana diatur dalam Permendagri No. 79 Tahun 2018 tentang BLUD, PP No. 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, dan Permendagri No. 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah.
Regulasi ini memberi ruang bagi RSUD untuk menyusun Rencana Bisnis dan Anggaran (RBA), mengelola pendapatan langsung, serta melakukan pengadaan barang dan jasa secara mandiri dan cepat.
Dalam kerangka ini, RSUD beroperasi sebagai semi private good—layanan publik yang tetap menjunjung asas keadilan, namun tidak alergi terhadap efisiensi dan surplus.
Keuntungan bukan lagi hal yang tabu, selama ia dihasilkan dari pelayanan sah dan digunakan kembali untuk peningkatan mutu. Sebaliknya, kerugian bukan sesuatu yang harus ditutupi.
Ia adalah bagian dari siklus pembelajaran manajerial, selama transparan dan ditindaklanjuti dengan perbaikan sistemik.
Mirna Amirya, pakar akuntansi publik dari Universitas Brawijaya, menyebut BLUD sebagai bentuk agensifikasi pelayanan publik.
Menurutnya, pemisahan fungsi kebijakan dan operasional memungkinkan RSUD bertindak cepat, efisien, dan tetap akuntabel.
“BLUD memberi ruang manuver yang lebih luas, tapi juga menuntut akuntabilitas yang lebih tinggi,” ujarnya.
Indikator keberhasilan RSUD sebagai organisasi tata kelola pelayanan (OTP) pun bergeser. Serapan anggaran yang selama ini menjadi ukuran utama, kini tidak lagi relevan.
RSUD yang menyerap 100% anggaran namun gagal meningkatkan kepuasan pasien, bukanlah institusi yang berhasil.
Keberhasilan justru diukur dari efektivitas penggunaan anggaran—seberapa besar dampak pelayanan yang dihasilkan dari setiap rupiah yang dibelanjakan.
Lulu Aulia, peneliti dari UIN Sumatera Utara, menegaskan bahwa RSUD yang mampu memberikan layanan cepat, transparan, dan bermutu tinggi dengan anggaran terbatas jauh lebih relevan dibanding institusi yang boros namun minim dampak.
“BLUD adalah tentang keberanian mengambil risiko demi pelayanan yang lebih baik,” katanya.
Transformasi ini bukan sekadar teori. RSUD dr. Soetomo di Surabaya, misalnya, berhasil melakukan digitalisasi rekam medis dan mengembangkan layanan unggulan seperti bedah jantung dan kanker.
RSUD Banyumas mengembangkan antrean online dan optimalisasi layanan BPJS, yang berdampak pada peningkatan pendapatan dan kepuasan pasien.
RSUD Bali Mandara membangun pusat onkologi dan trauma dengan dukungan teknologi informasi, menjadikannya salah satu rumah sakit daerah dengan tingkat rujukan tertinggi.
Namun, fleksibilitas BLUD juga membawa risiko. Kasus RSUD Sumbawa menjadi pengingat bahwa keleluasaan fiskal bisa disalahgunakan jika tidak dibarengi dengan pengawasan ketat.
Audit BPK menemukan kerugian negara sebesar Rp1,3 miliar akibat kelebihan pembayaran dan mark-up pengadaan. Hendi Arifin, Kajari Sumbawa, menegaskan bahwa fleksibilitas harus dibarengi dengan transparansi dan audit berkala.
“BLUD bukan zona bebas kontrol,” tegasnya.
Di sisi lain, proses harmonisasi regulasi juga menjadi kunci. Rapat harmonisasi Raperbup BLUD RSUD Kapuas Hulu yang digelar oleh Kemenkum Kalbar menunjukkan pentingnya pengaturan yang selaras dengan mandat regulasi nasional.
Zuliansyah, Kepala Divisi Peraturan Kanwil Kemenkum Kalbar, menekankan bahwa pengelolaan pegawai BLUD harus diatur secara tegas agar tidak menimbulkan celah hukum yang menghambat pelayanan.
Dengan dukungan regulatif yang kuat, studi kasus yang inspiratif, dan pandangan ahli yang kritis, RSUD sebagai BLUD tampil sebagai aktor pelayanan publik yang dewasa.
Ia tidak lagi sekadar “tempat berobat”, melainkan institusi yang berani berubah, berani mengambil risiko, dan berani bertanggung jawab.
Keberhasilan RSUD BLUD bukan diukur dari seberapa besar anggaran yang dihabiskan, tapi dari seberapa besar kepercayaan publik yang dibangun melalui pelayanan yang cepat, adil, dan bermutu.[]
**). Penulis adalah warga Aceh yang berdomisili di pinggiran Kota Banda Aceh.































































































