BANDA ACEH – Kementerian Agama Republik Indonesia terus memperkuat peran wakaf sebagai pilar penting dalam pengembangan ekonomi syariah nasional.
Melalui peningkatan kapasitas dan profesionalisme nazhir, Kemenag mendorong pengelolaan wakaf yang lebih produktif, transparan, dan berdampak bagi kesejahteraan umat.
Berdasarkan data Kementerian Agama tahun 2024, terdapat 445.504 lokasi tanah wakaf di seluruh Indonesia dengan total luas sekitar 57.550 hektare. Namun, hanya sekitar empat persen yang sudah dikelola secara produktif dan memiliki nilai ekonomi.
Sebagian besar aset wakaf masih dimanfaatkan untuk kegiatan keagamaan seperti pembangunan masjid, mushalla, dan lembaga pendidikan, sementara pengembangan wakaf produktif yang bernilai ekonomi masih perlu diperluas melalui manajemen profesional dan kolaborasi strategis.
Kemenag juga mencatat adanya 471 nazhir wakaf uang dan 62 bank syariah yang berperan sebagai Lembaga Keuangan Syariah Penerima Wakaf Uang (LKS-PWU). Meski demikian, sebagian besar nazhir masih bekerja secara sambilan dan belum memiliki kompetensi penuh dalam pengelolaan aset wakaf.
Penguatan kapasitas dan tata kelola menjadi kunci agar wakaf dapat dioptimalkan sebagai instrumen ekonomi umat yang berkelanjutan.
Sebagai bagian dari transformasi digital, Kementerian Agama telah meluncurkan Sistem Informasi Wakaf (E-AIW) untuk mempercepat proses pendaftaran tanah wakaf secara daring dengan sistem geotagging dan arsip digital. Inovasi ini diyakini akan meningkatkan transparansi, efisiensi, serta kepercayaan publik terhadap pengelolaan wakaf di Indonesia.
Langkah penguatan tata kelola wakaf juga diperkuat dengan penerapan sejumlah regulasi penting, antara lain Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006, dan Peraturan Menteri Agama Nomor 4 Tahun 2009 yang mewajibkan nazhir melaporkan hasil pengelolaan wakaf setiap enam bulan kepada Badan Wakaf Indonesia (BWI).
Aturan ini menjadi landasan bagi terciptanya sistem pelaporan yang terukur, akuntabel, dan berkesinambungan.
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025–2029, pemerintah menempatkan pengembangan dana sosial keagamaan produktif, termasuk wakaf, sebagai salah satu indikator pembangunan ekonomi syariah. Program seperti Kampung Zakat, Kota Wakaf, Green Waqf,
Hutan Wakaf, dan Inkubasi Wakaf Produktif diharapkan dapat menjadi motor penggerak pemberdayaan ekonomi masyarakat berbasis nilai-nilai syariah.
Potensi wakaf uang nasional diperkirakan mencapai Rp180 triliun per tahun, namun realisasi penghimpunannya baru sekitar Rp3 triliun. Meski masih jauh dari potensi ideal, tren peningkatan wakaf uang terus menunjukkan arah positif, terutama dengan munculnya pengelolaan dana abadi dan wakaf produktif di berbagai lembaga dan perguruan tinggi berbasis syariah.
Di tingkat daerah, Aceh menjadi salah satu wilayah yang memiliki potensi wakaf besar di Indonesia. Selain karena kuatnya budaya filantropi Islam, Aceh juga memiliki ribuan tanah wakaf yang tersebar di seluruh kabupaten/kota.
Melalui dukungan Kementerian Agama dan Badan Wakaf Indonesia, sejumlah lembaga di Aceh mulai mengembangkan wakaf produktif berbasis pesantren, pendidikan, dan pertanian.
Langkah ini diharapkan mampu memperkuat ekosistem ekonomi syariah daerah sekaligus menjadi contoh pengelolaan wakaf berdaya guna di tingkat nasional.
Kementerian Agama RI dalam bahan pembinaan nazhir tahun 2025 menegaskan bahwa wakaf bukan sekadar ibadah jariyah, melainkan juga instrumen ekonomi sosial yang mampu memperkuat sistem ekonomi syariah nasional.
Dengan tata kelola yang profesional, transparan, serta pemanfaatan teknologi digital, wakaf diyakini dapat menjadi sumber pertumbuhan ekonomi baru yang berkeadilan dan berkelanjutan bagi umat. []





























































































