Banda Aceh – Kajian rutin Peradaban Islam yang digelar di Mushalla Nurul Ikhlas, Ie Masèn Kayè Adang, Selasa Subuh (27 Jumadil Awal 1447 H/18 November 2025), menghadirkan pembahasan menarik mengenai pentingnya peradaban kota (hadharah) dalam pandangan Imam Ibnu Khaldun.
Kajian yang disampaikan oleh Ustadz Dr. H. Mizaj Iskandar, LC., LLM ini juga mengaitkannya dengan strategi dakwah Rasulullah yang sarat pelajaran bagi pembangunan masyarakat modern.
Dalam penjelasannya, Dr. Mizaj menegaskan bahwa Rasulullah Saw selalu memilih kota atau kawasan yang lebih maju peradabannya sebagai pusat dakwah. “Beliau tidak pernah mengawali dakwah dari daerah pedalaman. Seluruh proses hijrah justru menuju kota yang lebih berkembang,” ujarnya seperti dirangkum oleh Sayed M. Husen.
Langkah pertama terlihat dari hijrah para sahabat ke Habasyah, sebuah negeri yang saat itu lebih mapan secara sosial dan politik dibanding bangsa Arab. Upaya ini dilanjutkan dengan perjalanan Rasulullah ﷺ ke Thaif–kota yang unggul dalam pertanian dan perdagangan–meski tidak berhasil.
Pada puncaknya, hijrah ke Madinah menjadi tonggak lahirnya peradaban Islam yang lebih kokoh. Kota Yatsrib yang multikultural–dihuni kaum Aus, Khazraj, dan tiga suku Yahudi–menjadi contoh jelas bahwa keberagaman adalah modal kemajuan.
“Daerah yang maju adalah daerah yang terbuka. Siapa pun yang datang memiliki ruang untuk berkompetisi secara sehat, fastabiqul khairat, dalam memperebutkan sumber-sumber kehidupan,” jelas Dr. Mizaj, merujuk kepada teori sosial Ibnu Khaldun.
Beliau menambahkan, Rasulullah Saw tidak pernah berhijrah ke wilayah dengan kualitas peradaban yang lebih rendah dari Makkah. Ini adalah pesan penting: umat Islam harus mencari ilmu, pengalaman, dan wawasan di tempat yang lebih maju agar dapat membawa pulang gagasan untuk memajukan negerinya sendiri.
Dalam kajian tersebut, Dr. Mizaj juga menguraikan sikap kaum Muhajirin yang selalu memohon perlindungan dari ta’arrub–kembali kepada kehidupan gurun yang keras dan jauh dari nilai-nilai syariat. Ini sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an mengenai sifat sebagian orang Badui yang cenderung kasar dan sulit taat pada hukum.
Rasulullah Saw bahkan mendoakan agar para sahabat yang hijrah ke Madinah tidak kembali ke Makkah sebelum Islam tegak. Doa itu terwujud. Para Muhajirin merasa kerasan di Madinah berkat keterbukaan kaum Ansar, sebagaimana firman Allah:
“Mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka, dan mereka tidak merasa iri terhadap apa yang diberikan kepada orang lain. Mereka lebih mengutamakan orang lain daripada diri mereka sendiri meskipun mereka dalam kesusahan.” (QS. Al-Hasyr: 9)
Dr. Mizaj menegaskan, ayat ini menjadi pesan kuat bahwa kemajuan sebuah kota tidak hanya tergantung pada fasilitas, tetapi juga pada budaya keterbukaan dan kemampuan menerima perbedaan.
“Madinah adalah contoh ideal. Multi-etnis, penuh keberagaman, namun bersatu dalam nilai. Inilah fondasi peradaban. Dari sanalah Islam berkembang menjadi rahmat bagi seluruh alam,” tutupnya.
Kajian ini disiarkan melalui kanal YouTube Popoen Atjeh dan menjadi bagian dari rangkaian upaya menghidupkan tradisi intelektual Islam di Aceh. []































































































