BANDA ACEH – Kisah menyentuh ini diceritakan oleh Syamsul Bahri Ys, seorang dosen senior di FKIP Bahasa Inggris Universitas Syiah Kuala yang kini telah memasuki masa purna tugas. Istrinya berasal dari Kota Langsa, dan keduanya sudah lama menetap di Banda Aceh.
Hampir setiap dua pekan sekali, perjalanan pulang kampung menjadi rutinitas keluarga ini–sebuah perjalanan akrab yang biasanya tenang dan penuh kehangatan. Namun perjalanan mereka kali ini berubah menjadi sebuah pengalaman luar biasa, kejutan yang sama sekali tak pernah mereka bayangkan
Senja baru saja turun ketika kami meninggalkan SPBU Bugeng sekitar pukul lima sore pada Kamis (27/11). Biasanya, perjalanan menuju Bireuen hanya memakan waktu 25 menit, tetapi sore itu banjir mengubah segalanya. Setelah melewati jembatan Peudada, air mulai meluap ke jalan, memaksa kendaraan merayap pelan. Satu jam kemudian barulah kami tiba di Bireuen – dalam suasana yang terasa asing dan berat.
Kami mengambil arah kantor bupati menuju Matang. Air masih menutup sebagian badan jalan, dan masyarakat berdiri berjajar mengatur arus kendaraan dengan lampu seadanya. Raut wajah mereka lelah, tapi tetap berusaha membantu siapa pun yang datang.
Sesampainya di Matang menjelang Magrib, kami memutuskan makan malam dahulu–sate yang tersisa sedikit menjadi pengisi tenaga. Firdha dan beberapa ibu-ibu menunaikan shalat Magrib di warkop sate yang kebetulan menyalakan genset. Di luar, Matang gelap gulita. Hanya suara angin dan langkah-langkah orang yang lewat yang terdengar.
Tak lama kemudian kami mendapat kabar bahwa di belakang warkop ada sebuah mushalla kecil. Di situlah kami melaksanakan shalat Magrib dan Isya, ditemani cahaya redup dan suara air yang mengalir di kejauhan.
Sudah malam ketiga kami menginap di dalam mobil Hiace di Matang. Mobil sengaja dimatikan untuk menghemat solar, membuat malam terasa lebih sunyi dan dingin. Berbeda dengan SPBU Bugeng yang pada malam hari diterangi genset galon–air melimpah, shalat nyaman, bahkan bisa mandi. Di Matang, semuanya serba terbatas.
***

Ketika terbangun untuk shalat Subuh, kami–yang kini tersisa lima penumpang–berjalan kaki sekitar sepuluh menit menuju Masjid Matang. Masjid sudah penuh dengan pengungsi dan penumpang lain yang juga terlantar. Tempat wudu gelap total, kami harus menggunakan senter dari ponsel. Seusai shalat, di sela-sela dua orang yang tidur di lantai masjid, kami melangkah menuju mobil kembali.
Dalam perjalanan, kami menjumpai seorang penjual nasi bebek. Ibu-ibu membeli, tapi kami para laki-laki menunda karena berharap menemukan nasi gurih. Namun pukul tujuh pagi, tak satu pun warung buka. Tidak ada gas. Rumah penjual banyak terendam. Bireuen ternyata sudah kebanjiran sejak hari Selasa.
Kami, para penumpang laki-laki, berkeliling mencari kedai kopi. Akhirnya menemukan satu warkop di area pasar. Kopi saset pun terasa nikmat di tengah kelelahan dan ketidakpastian.
Di dekat warkop, ada seorang pria menjual pisang. Kami membeli dua sisir, tetapi ia menambahkan dua sisir lagi sebagai “bonus”–mungkin karena stoknya sudah terlalu masak. Pisang itu berat dibawa, tetapi di sepanjang jalan banyak penumpang yang belum makan. Kami memberikan kepada mereka sebanyak yang mereka inginkan. Rasanya ringan–bukan hanya di tangan, tetapi juga di hati.
Di teras warkop kami membuka pisang untuk dimakan bersama penumpang mobil dan para penumpang mobil lain. Dua hari tiga malam keterlantarannya seperti ini menumbuhkan tali persaudaraan baru di antara kami. Dalam gelap, tanpa sinyal, tanpa listrik sejak Rabu pagi pukul 08.30, kami saling menopang. Komunikasi benar-benar putus, tapi rasa kemanusiaan justru mengalir lebih deras.
***
Pukul sembilan pagi, sopir memutuskan kami harus pulang ke Banda Aceh. Empat jembatan yang menghubungkan Matang–Kuta Blang semuanya putus. Menyeberang menggunakan sampan pun mustahil–air terlalu tinggi, arus terlalu deras.
Kami, empat penumpang, kembali ke Banda Aceh bersama tambahan beberapa penumpang lain hingga mobil terisi penuh. Satu penumpang dari Langsa bergabung dengan rombongan suaminya yang juga menuju Langsa.
Sepanjang perjalanan, antrean panjang tampak di setiap SPBU. Rumah-rumah penduduk terendam. Di Pidie Jaya, sisa-sisa banjir dan kerusakan jalan nasional terlihat jelas. Sesampainya di kede Ulim, kami berbelok ke kanan melalui jalan kampung karena jembatan di Meureudu dikabarkan rusak. Jalan alternatif yang menghubungkan Ulim–Merdu–Trienggadeng juga digenangi air yang mengalir deras–namun masih bisa dilewati.
Oh ya di kawasan Jeunib, sopir mengisi solar sekadarnya di pinggir jalan. Syukur alhamdulillah, di SPBU Ulee Glee kami bisa mengisi solar penuh setelah antre 30 menit.
Perjalanan menuju Banda Aceh kembali berlanjut…
Dan ketika hampir tiba di Sigli, kami mengucap syukur – Alhamdulillah.
Setelah tiga hari berjalan dalam gelap, air, dan keterasingan, kami akhirnya kembali melihat cahaya. (*)






























































































