BANDA ACEH – Di tengah bencana dahsyat banjir bandang yang menyapu Aceh, ketika lumpur menelan rumah, jembatan patah, dan keluarga-keluarga kehilangan segalanya dalam sekejap, harapan masyarakat seolah ikut hanyut.
Para penyintas bukan hanya berjuang melawan dinginnya malam dan kelaparan karena logistik tak kunjung tiba, tetapi juga menghadapi masalah paling mendasar: energi untuk bertahan hidup.
Di banyak titik pengungsian, perempuan harus memasak dengan kayu basah karena gas langka. Para relawan kelelahan mencari solar untuk perahu evakuasi. Ambulans terjebak antrean di SPBU. Listrik padam berhari-hari.
Dalam situasi seperti ini, setiap tetes BBM bukan lagi sekadar komoditas—ia adalah penentu hidup dan mati.
Namun di Banda Aceh, pemandangan memilukan itu tergambar jelas: antrean kendaraan mengular hingga dua kilometer, hanya untuk mendapatkan beberapa liter BBM. Orang-orang berdiri dalam terik matahari, menunggu berjam-jam dengan wajah lelah, sebagian bahkan membawa jeriken demi bisa kembali ke lokasi terdampak untuk menolong keluarga mereka.
Ironi itu begitu telanjang. Negeri yang kaya energi, namun rakyatnya mengemis energi di tengah bencana negerinya sendiri.
Dan di sinilah pertanyaan paling menyakitkan muncul. Mengapa tidak ada kebijakan luar biasa untuk situasi luar biasa? Mengapa ketika rakyat terendam air setinggi dada, BBM tetap berjalan seperti hari biasa?
Bayangkan seandainya Pertamina mengambil sikap yang lebih berani, lebih berempati, lebih manusiawi.
Bayangkan jika dalam 72 jam pertama—fase paling kritis penyelamatan— BBM digratiskan atau minimal disalurkan tanpa syarat birokratis yang berliku. Bayangkan SPBU khusus bencana dibuka, mobil tangki bergerak ke titik-titik pengungsian, BBM didistribusikan langsung untuk dapur umum, ambulans, dan relawan tanpa antrean, tanpa barcode, tanpa ribet.
Bayangkan jika pemerintah dan Pertamina menggerakkan seluruh rantai distribusi sebagai operasi kemanusiaan, bukan operasi niaga.
Dengan langkah sederhana itu, maka akan banyak hal yang dapat tertolong:
- Perahu evakuasi tidak perlu berhenti karena kehabisan BBM/solar.
- Ambulans tidak lagi terjebak antrean, sementara nyawa di dalamnya menipis.
- Dapur umum bisa tetap menyala, memberi makan ribuan orang yang kehilangan segalanya.
- Generator (genset) di pengungsian terus bekerja, memastikan bayi, lansia, dan pasien kritis tetap aman.
Masyarakat tidak perlu merasakan penderitaan berlapis—banjir menghancurkan rumah mereka, antrean SPBU menghancurkan sisa harapan mereka.
Di saat bencana sebesar ini, BBM bukan lagi barang dagangan. Ia adalah alat penyelamat, sama pentingnya dengan perahu karet, tenda, atau tenaga medis. Dan penyelamatan seharusnya tidak dibatasi harga.
Andai Pertamina menggratiskan BBM selama masa tanggap darurat, bukan berarti negara rugi. Justru itulah bentuk tertinggi dari tanggung jawab sosial—mengembalikan sesuatu kepada rakyat yang selama ini setia membiayai negara, membiayai energi, dan membiayai Pertamina itu sendiri.
Rakyat Aceh tidak meminta kemewahan. Mereka hanya meminta empati yang diwujudkan dalam kebijakan nyata.
Bencana ini telah memperlihatkan betapa rentannya kita, tetapi sekaligus memperlihatkan betapa kuatnya solidaritas rakyat. Maka alangkah indahnya jika solidaritas itu tidak hanya datang dari relawan dan masyarakat sipil, tetapi juga dari lembaga energi yang memegang peranan vital di negeri ini.
Sebab di tengah air bah yang menggulung apa saja, yang paling dibutuhkan rakyat bukanlah janji—melainkan kehadiran nyata yang memudahkan hidup mereka, bukan menambah deritanya.
Aceh sedang menangis. Andai saja, di tengah tangis itu, energi untuk bertahan hidup diberikan tanpa hambatan. Tetapi itu tidak mungkin. (**)
































































































