UPDATE

OPINI
OPINI

Raksasa Asia di Ambang Perang: Cina vs Jepang, Dunia Waspada

Ketegangan Cina–Jepang kembali memanas setelah jet tempur Tiongkok mengunci radar pada pesawat Jepang di dekat Okinawa. Artikel ini mengulas akar konflik, hubungannya dengan Taiwan, peta kekuatan militer kedua negara, hingga bagaimana dinamika Asia akan berubah saat Khilafah tegak. Analisis geopolitik yang kritis, tajam, dan membuka mata.

KETIKA jet-jet tempur mengunci radar satu sama lain di atas perairan internasional, dunia bukan lagi sekadar menonton latihan militer — namun menyaksikan gejolak geopolitik yang makin mendekati ambang resiko serius. Insiden terbaru antara Cina dan Jepang menunjukkan bahwa ketegangan dua raksasa Asia ini bukan sekadar retorika diplomatik, tetapi berpotensi merembet ke krisis yang lebih besar, bahkan perang terbuka jika salah kelola.

Dalam beberapa hari terakhir, Kementerian Pertahanan Jepang melaporkan bahwa jet-jet tempur Cina—termasuk J-15 yang diluncurkan dari kapal induk Liaoning—mengunci radar kendali tembak mereka pada pesawat F-15 milik Pasukan Bela Diri Jepang di atas perairan internasional dekat kepulauan Okinawa. Jepang mengecam tindakan tersebut sebagai tindakan berbahaya yang melebihi batas operasi penerbangan normal dan telah menyampaikan protes formal kepada Beijing.

Beijing sendiri menyatakan bahwa radar yang diaktifkan itu sepenuhnya mengikuti prosedur hukum internasional dan merupakan bagian dari latihan militer rutin yang telah diinformasikan sebelumnya. Cina bahkan menuduh Jepang “mengganggu” kegiatan tersebut.

Apa yang menjadi penyebab ketegangan?

Untuk memahami dinamika ini, kita harus melihat jauh ke akar hubungan sejarah dan geopolitik di kawasan Asia Timur. Hubungan antara Cina dan Jepang tidak pernah sederhana. Dari invasi Jepang ke Tiongkok pada awal abad ke-20 hingga Perang Dunia II, ingatan sejarah perang masih hidup di banyak generasi Cina.

Hari ini, isu Taiwan menjadi salah satu titik utama konflik mereka. Republik Tiongkok (Taiwan) adalah pulau yang dikelola sendiri dan merupakan sekutu dekat Jepang serta Amerika Serikat. Cina memandang Taiwan sebagai bagian dari wilayahnya yang harus disatukan kembali, siap dengan kekuatan jika perlu. Pernyataan politik oleh Perdana Menteri Jepang yang mempertimbangkan kemungkinan keterlibatan militer Jepang jika Cina menyerang Taiwan telah memicu respons keras dari Beijing dan meningkatkan ketegangan.

Selain itu, wilayah sengketa seperti Kepulauan Senkaku (yang dikenal sebagai Diaoyu oleh Cina) di Laut China Timur juga menjadi titik konflik, dengan patroli kapal dan pesawat yang sering terjadi di perairan tersebut.

Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto

Pemicu Ketegangan: Taiwan sebagai Titik Konflik

Kunci dari konflik ini adalah Taiwan—sebuah pulau strategis yang menjadi garis merah bagi Beijing. Cina menegaskan bahwa Taiwan adalah wilayahnya dan tidak akan mentolerir kemerdekaan pulau tersebut. Jepang, sekaligus kekuatan militer terbesar kedua di Asia, memiliki kepentingan strategis untuk memastikan dominasi Cina tidak mengubah status quo di kawasan, apalagi jika hal tersebut mengancam stabilitas regional termasuk sekutunya, Amerika Serikat.

Amerika Serikat sendiri telah menunjukkan dukungan kuat kepada Jepang dalam insiden radar ini, dengan menyatakan komitmennya terhadap sekutu tersebut dan menegaskan perlunya menjaga status quo regional.

Berita Lainnya:
Hutan Baru Dianggap Penting setelah Korban Tembus 1.003 Jiwa

Memetakan Kekuatan Cina dan Jepang

Dalam konflik potensial, penting untuk tahu peta kekuatan kedua negara. Cina saat ini memiliki angkatan laut terbesar di dunia dan militer darat serta udara yang terus berkembang pesat, disertai modernisasi teknologi, kapal induk, rudal balistik, dan kekuatan siber. Jepang, meski secara konstitusional membatasi peran militernya sebagai pasukan pertahanan (*Self-Defense Forces*), terus meningkatkan anggarannya dan memperkuat kerjasama dengan AS serta sekutu lain.

Kedua negara juga memiliki posisi ekonomi yang kuat, menjadikan Asia bukan hanya medan perang militer tetapi juga persaingan ekonomi global. Jepang adalah kekuatan teknologi dan manufaktur, sementara Cina adalah kekuatan demografis dan ekonomi terbesar kedua di dunia.

Menyingkap Politik Global: Asia dan Peran Global

Ketegangan antara Cina dan Jepang juga menunjukkan dinamika yang lebih besar: persaingan strategis antara kekuatan besar yang dipengaruhi oleh aliansi global, ekonomi, serta pertimbangan keamanan. Jepang dengan aliansi militernya bersama AS dan negara lain seperti Australia, memperlihatkan pola kerja sama militer yang semakin intens di kawasan.

Cina sebaliknya menunjukkan ambisi untuk memperluas pengaruhnya, tidak hanya di Taiwan tetapi di Laut China Selatan dan perairan di Asia Timur. Patroli bersama antara pesawat Cina dan Rusia di sekitar Jepang serta meningkatnya aktivitas jet tempur menunjukkan sinyal bahwa kedua blok kekuatan ingin memastikan dominasi geopolitik mereka.

Konflik antara Cina dan Jepang dipahami bukan sebagai konflik kebetulan, melainkan sebagai bagian dari pertarungan kepentingan politik internasional yang lahir dari sistem negara-bangsa dan kapitalisme global. Negara kapitalis bergerak berdasarkan kepentingan nasional (national interest). Kepentingan itu ditentukan oleh ekonomi, militer, dan pengaruh regional. Ini bukan konflik kebenaran vs kebatilan, melainkan pertarungan kepentingan antar negara kapitalis. Konflik ini sejatinya merupakan manifestasi nyata dari kegagalan sistem kapitalisme global dalam menciptakan stabilitas dan keadilan internasional.

Nasionalisme yang lahir dari sistem kapitalisme memaksa setiap negara mengejar kepentingannya sendiri, meski harus menciptakan ketegangan, ancaman perang, bahkan penjajahan terselubung.

Konflik Cina–Jepang tidak berdiri sendiri; ia berdampak langsung pada dunia Islam melalui investasi, utang, proyek infrastruktur, dan aliansi militer. Alih-alih mengambil sikap mandiri, banyak negeri Muslim justru terjebak dalam politik pragmatis—condong ke Cina demi modal, atau ke Jepang dan sekutunya demi keamanan. Dalam perspektif Islam, sikap ini mencerminkan hilangnya kepemimpinan politik yang berlandaskan akidah.

Akankah Ketegangan Ini Berujung Perang?

Melihat eskalasi saat ini, perang terbuka antara kedua kekuatan itu masih bukan sesuatu yang pasti—namun risikonya terus meningkat jika diplomasi gagal. Sejarah mengajarkan bahwa perang besar sering dimulai dari insiden kecil yang kemudian tidak dikelola secara bijak, hingga memicu reaksi berantai.

Mars yang digelar oleh jet tempur dan ancaman saling bertahan bukanlah hal baru dalam sejarah. Namun bagaimana kedua negara menanggapi insiden radar ini, diiringi tekanan diplomatik, pengaruh sekutu seperti AS, serta sensitivitas isu Taiwan, semua itu memberi pelajaran bahwa ketidakstabilan satu wilayah dapat dengan cepat memengaruhi keseluruhan tatanan global.

Berita Lainnya:
Bandara Morowali dan Kegilaan Investasi Asing

Bagaimana Posisi Politik Islam terhadap Ketegangan Ini?

Dari perspektif Islam, politik bukan sekadar seni diplomasi atau perebutan kekuasaan, melainkan ri‘āyatusy syu’ūn—pengurusan urusan umat berdasarkan sebuah ideologi. Karena itu, konflik antarnegara harus dibaca melalui ideologi yang menggerakkan kebijakan mereka. Islam menolak politik non-blok, politik netral, politik ikut poros Barat atau Timur. Karena dengan mengakui semua ini, kita masuk dalam labirin dan klasifikasi asing.

Dalam Islam hubungan internasional dibangun untuk menjaga kepentingan umat Islam, membawa risalah Islam ke dunia, dan mncegah dominasi juga penjajahan. Maka Islam tidak berpihak ke Cina atau Jepang, karena keduanya bukan negara ideologis Islam, keduanya bergerak dengan logika penjajahan ekonomi dan kekuatan. Dukungan kepada salah satu hanya akan memperpanjang ketergantungan dan melemahkan posisi umat.

Sayangnya, dunia Islam hari ini tidak berdaulat. Negara-negara Muslim dijadikan pasar oleh Cina, dijadikan basis militer dan sekutu oleh Jepang-AS. Konflik Cina–Jepang justru membuka peluang eksploitasi baru menjadikan negeri-negeri Muslim sebagai objek investasi, jalur logistik, dan medan perebutan pengaruh.

Yang seharusnya dilakukan dunia Islam adalah menjaga independensi politik umat, menyadarkan umat bahwa konflik ini bukan konflik mereka, membangun kekuatan ideologis Islam, mengakhiri sistem negara-bangsa, dan menegakkan Khilafah sebagai negara ideologis.

Selama dunia diatur kapitalisme, konflik antar negara tak akan berhenti karena kepentingannya. Sementara Islam yang diterapkan dalam institusi Khilafah, tidak bertumpu pada ekspansi ekonomi, tidak menjadikan negeri lain sebagai koloni, hubungan luar negerinya berbasis dakwah dan hukum syara’. Khilafah bukan sebagai nostalgia sejarah, melainkan sebagai solusi sistemik. Negara Khilafah berdiri di atas ideologi Islam yang tidak menjadikan ekspansi ekonomi sebagai tujuan utama, tidak menghalalkan penjajahan, dan menjadikan hukum syara’ sebagai landasan hubungan internasional.

Dalam tatanan ini, konflik seperti Cina–Jepang tidak akan menyeret umat Islam, karena dunia Islam berdiri sebagai kekuatan ideologis mandiri yang mampu menyeimbangkan bahkan mengoreksi arah politik global.

Penutup

Insiden jet tempur Cina yang mengunci radar pada pesawat Jepang adalah sebuah alarm geopolitik yang serius. Ia bukan sekadar “permainan militer” di udara terbuka, tetapi bagian dari dinamika yang lebih besar: dominasi kekuasaan, klaim geopolitik, dan perubahan tatanan global.

Sebagai generasi yang hidup di era keterkaitan global, kita wajib memahami bahwa politik luar negeri bukan hanya urusan negara besar, tetapi berdampak pada setiap warga dunia. Umat Islam, khususnya, diajak untuk mengedepankan prinsip keselamatan, perdamaian, dan keadilan dalam setiap dinamika hubungan internasional.Konflik Cina–Jepang adalah cermin kegagalan kapitalisme dan negara-bangsa dalam menciptakan perdamaian sejati. Dalam kacamata Islam, konflik tersebut tidak layak didukung, apalagi dijadikan sandaran politik. Umat Islam dituntut untuk memahami realitas global secara ideologis, melepaskan diri dari jebakan kepentingan kapitalis, dan kembali memperjuangkan kepemimpinan politik Islam yang mampu menghadirkan keadilan, bukan hanya bagi umat Islam, tetapi bagi seluruh manusia.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Berlangganan
Beritahukan tentang
guest
0 Komentar
Umpan Balik Langsung
Lihat semua komentar

Reaksi

Berita Lainnya

Tampilkan Lainnya Loading...Tidak ditemukan berita/artikel lainnya.