SATU dekade terakhir, DPR RI hidup dalam kemewahan yang bahkan raja pun bisa iri.
Gaji belasan juta ditambah tunjangan puluhan juta, rumah dinas, mobil dinas, fasilitas kesehatan kelas satu, hingga perjalanan dinas yang lebih mirip wisata.
Semua itu disediakan rezim demi kenyamanan mereka. Dan apa yang rakyat dapatkan? UU yang setengah hati, skandal demi skandal, dan wajah wakil rakyat yang semakin jauh dari rakyat.
Kemarahan publik pun akhirnya pecah. Demonstrasi kemarin adalah puncak akumulasi jijik dan muak terhadap lembaga yang seharusnya terhormat itu.
Di jalanan, rakyat tidak lagi sekadar menuntut, melainkan menampar keras muka DPR dengan kritik yang tak bisa ditutupi lagi: “Kalian kenyang di atas penderitaan kami!”
Tersentak oleh gelombang protes, DPR buru-buru merendahkan suara. Ada pernyataan maaf. Ada janji berbenah.
Ada klaim ingin mendengar rakyat. Tetapi publik tidak lagi percaya pada retorika.
Rakyat sudah terlalu sering diberi gula-gula kata manis, hanya untuk kembali ditipu di tikungan berikutnya.
Kalau DPR sungguh-sungguh ingin bertobat, ada satu jalan yang tak bisa ditawar: segera sahkan Undang-Undang Perampasan Aset bersama Presiden.
RUU ini bukan barang baru. Ia sudah bertahun-tahun mangkrak, termasuk ketika Jokowi berkuasa. Padahal inilah senjata ampuh untuk merampas harta hasil korupsi dan kejahatan ekonomi yang selama ini membuat negara bocor dan rakyat menderita.
DPR tahu, UU ini akan menjadi mimpi buruk bagi para maling berdasi. Mungkin itu sebabnya mereka selalu menunda.
Tapi di titik ini, penundaan sama artinya dengan pengkhianatan. Kalau DPR masih berani main-main dengan UU Perampasan Aset, jangan salahkan rakyat bila kepercayaan itu habis tanpa sisa.
Taubat DPR tidak bisa ditulis di kertas konferensi pers. Tidak bisa dilafalkan di depan kamera. Taubat DPR hanya sah bila dibuktikan dengan pengorbanan kenyamanan dan privilege mereka sendiri.
Sahkan UU Perampasan Aset—atau berhentilah berbicara soal reformasi diri!.
Rakyat sudah bosan menunggu. Waktu kalian nyaris habis.
DPR hanya punya dua pilihan: tercatat dalam sejarah sebagai lembaga yang berani menebus dosa, atau dikenang sebagai generasi pengkhianat yang tak pernah benar-benar mendengar jeritan rakyat.[]






























































































