UPDATE

ISLAM
ISLAM

Loneliness in The Crowd: Keramaian Digital Membawa Kesepian

Fenomena kesepian digital melanda generasi Z di tengah hiruk pikuk media sosial. Artikel ini mengulas dampak media sosial terhadap relasi sosial, kesehatan mental, dan solusi Islam untuk menguatkan ukhuwah.

SESEORANG yang sangat aktif di media sosial — like, comment, share, live — belum tentu bebas dari rasa sunyi. Meski tampak “terhubung”, kenyataannya interaksi nyata seringkali minim.

Penelitian mahasiswa Ilmu Komunikasi UMY dengan judul “Loneliness in the Crowd: Eksplorasi Literasi Media Digital pada Fenomena Kesepian di TikTok” menyoroti bagaimana konten audiovisual dengan efek hiperrealitas dapat memicu perasaan kesepian.

Representasi digital dianggap lebih nyata dibanding kenyataan fisik, dan emosi yang dibentuk media memengaruhi kesehatan mental dan relasi sosial.

Fenomena ini semakin relevan di kalangan generasi Z, yang dibesarkan di tengah gawai dan algoritma media sosial.

Meski tubuh mereka berada dalam keramaian kelas, rumah, atau kafe, hati dan pikiran bisa terasa terisolasi di balik layar.

Kesepian di Tengah Gaung Digital

Generasi muda memiliki berbagai potensi seharusnya menjadi tulang punggung umat: inovator, da’i, pengusaha, pemimpin masa depan.

Wifi dan Charger Gratis dari Bank Aceh Syariah

Tapi, jika mereka terus tenggelam dalam kesepian digital, kreativitas akan padam, empati akan pudar, dan hasrat berjuang meredup.

Umat yang kehilangan relasi sosial kuat, kehilangan solidaritas, kehilangan jiwa kolektif — akan menjadi umat no man’s land: sendiri-sendiri dalam kesepian, tak peduli dengan penderitaan saudaranya di Palestina, Rohingya, atau Yaman. Mereka disibukan dengan dirinya sendiri.

Lahirlah generasi asosial di dunia nyata yang menghantarkan keretakan hubungan intrafamilial. Media sosial membentuk tipe interaksi baru: singkat, reaktif, dan instan.

Pesan instan, emoji, stiker—itulah sebagian bahasa mereka. Padahal, hubungan manusia butuh tatap mata, kehadiran, senyum, belaian — yang tak bisa disampaikan via teks atau video.

Kerenggangan bahkan terjadi dalam keluarga. Anak di ruang tamu sibuk dengan ponselnya, orang tua pun asyik di layar mereka sendiri.

Kehangatan rumah bisa terkikis. Komunikasi fisik jadi jarang. Keterikatan emosional tergerus media instan. Serumah tapi tidak sejiwa.

Berita Lainnya:
Bencana Datang Bertubi-tubi: Kenapa Penanganannya Selalu Lamban?

Tentu fenomena ini akan membawa petaka bagi umat. Generasi kini akan kehilangan potensinya yang berarti.

Kesepian digital bukan sekadar akibat kurangnya teman. Di era sekuler liberal, media sosial dijadikan panggung wacana, citra, dan reputasi.

Orang berlomba menampilkan kisah terbaik mereka — pekerjaan, relasi, liburan. Namun di balik itu, jiwa bisa kosong. Litera­si digital dan pengendalian diri yang lemah makin memperburuk keadaan.

Generasi Z menjadi episentrum, tekanan ekspektasi visual, malu akan kesalahan kecil, hingga perbandingan tak henti.

Mereka yang tak selaras dengan “narasi unggahan” merasa minor, bahkan teralienasi. Tentu ini bukan cuma masalah pribadi—tapi persoalan sosial kolektif.

Sadar Bermedia Sosial

Masyarakat harus membuka mata bahwa media sosial bukan ruang netral. Jika tak dikelola, ia bisa menjadi piranti demoralisasi dan isolasi.

Pengguna—terutama generasi muda—perlu dididik literasi digital: mengenali bias algoritma, membatasi konsumsi tak produktif, dan memilih konten yang membangun.

Semua harus sadar dalam bermedia sosial jangan seperti orang mabuk, tak sadarkan diri tenggelam dalam kehidupan media sosial.

Dalam sistem sekuler liberal, identitas agama sering dijadikan simbol privat. Akibatnya, agama melemah sebagai kekuatan moral dan sosial. Umat menjadi konsumen media, bukan pembentuk nilai.

Sebagai muslim, Islam harus menjadi identitas dasar yang menahan manusia dari keterasingan.

Ketika seseorang menghayati bahwa dirinya bagian dari umat terbaik (QS. Ali Imran: 110), dia tidak akan merasa sendirian dalam perjuangan.

Karena Islam menguatkan ukhuwah, empati, dan tanggung jawab sosial.

Regulasi Media & Produktivitas Umat

Negara yang sehat bertugas melindungi warganya secara holistik, termasuk dari dampak negatif media sosial.

Beberapa kebijakan yang dapat diterapkan, diantaranya Regulasi platform digital agar tak semata bertujuan profit, tapi memperhatikan dampak psikologis.

Konten dakwah & edukasi yang mudah diakses generasi muda, membangun jati diri islami.

Insentif & fasilitas produktivitas: ruang kreatif, studio media dakwah, beasiswa konten Islami. Kebijakan pembatasan usia & kontrol konsumsi digital di sekolah & keluarga.

Berita Lainnya:
Viral Link Video Lala Vilansty Durasi 8 Menit Beredar Lewat WhatsApp dan Videy

Dengan demikian, generasi muda tidak hanya konsumen tapi produsen nilai Islam yang bermanfaat bagi umat.

Ukhuwah Islam

“Perumpamaan orang mukmin dalam hal saling mencintai, menyayangi, dan berbelas kasih adalah seperti satu tubuh; jika salah satu bagian sakit, maka seluruh tubuh turut merasakannya.” (HR. Muslim)

Hadits ini mengingatkan bahwa rasa kesepian yang dialami seorang Muslim bukan sekadar masalah individu — ia terkait dengan ikatan umat.

Di zaman Nabi dan para sahabat meski hidup penuh ujian, masyarakat Madinah bersinergi. Hubungan sosial sangat erat, gotong royong nyata, dakwah menyentuh rakyat akar rumput.

Di Masa Khulafaur Rasyidin, Umar bin Khattab memerintahkan pembagian rumah ke rumah, pemukiman baru, dan sistem infak–zakat terintegrasi agar tak ada warga yang merasa terisolasi.

Di zaman Khalifah Utsmaniyah, pendidikan Islam, madrasah, masjid, dan organisasi sosial kuat membentengi umat dari isolasi modern. Bahkan, media surat dan percetakan Islam turut menyebarkan pemikiran ke pelosok.

Inilah potret ukhuwah, empati, saling sayang, saling jaga, saling peduli yang berlandaskan akidah Islam. Sadar bahwa ini adalah perintah Allah dan pasti baik untuk kita.

Penutup

Di tengah gelombang “keramaian digital” yang penuh dengan buzzer, konten viral, dan efek hiperrealitas, umat Islam tak boleh pasif. Kesepian di tengah massa bukan nasib tetap — itu panggilan untuk bangkit.

Generasi muda harus dididik untuk memahami media sebagai ladang dakwah, bukan jurang isolasi.

Negara harus hadir sebagai regulator yang melindungi generasi dari dampak buruk digital. Identitas Islam harus kembali dipahami sebagai syafaat kolektif, bukan label privat.

“Loneliness in The Crowd” bukan sekadar fenomena psikologis, melainkan tantangan ideologis terhadap umat.

Mari ubah media menjadi alat memperkuat ukhuwah, menjadi jembatan perlawanan bukan alienasi.

Jadikan keramaian digital bukan tempat kosong yang sunyi, melainkan medan kebangkitan umat Islam.

Wallahu’alam bish shawab.

Reaksi

Berita Lainnya

Tampilkan Lainnya Loading...Tidak ditemukan berita/artikel lainnya.