KASUS penculikan anak di Indonesia, yang baru-baru ini menimpa seorang balita di Makassar, bukan sekadar insiden kriminal tunggal. Peristiwa ini membuka kembali luka lama tentang kelemahan struktural dalam perlindungan anak di Tanah Air. Fenomena berulang ini memicu pertanyaan krusial: Mengapa negara terkesan gagal menghadirkan ruang publik yang aman dan ramah bagi anak-anak?
Artikel opini ini akan mengulas kegagalan sistemik tersebut, menganalisis faktor penegakan hukum yang lemah, kerentanan sosial, serta menawarkan perspektif solusi yang berlandaskan pada prinsip perlindungan jiwa.
Ancaman Nyata di Ruang Publik: Ketika Anak Menjadi Target Kejahatan
Maraknya kasus penculikan di berbagai wilayah menunjukkan satu fakta pahit: ruang publik di Indonesia belum aman bagi anak-anak. Anak-anak, sebagai kelompok paling rentan, seharusnya mendapatkan perlindungan maksimal, namun realitasnya mereka mudah menjadi target, baik saat bermain, dalam perjalanan, atau bahkan di lingkungan sekitar rumah.
Kegagalan ini tidak dapat dilepaskan dari tiga indikator utama:
Minimnya Fasilitas Keamanan: Kurangnya pengawasan publik yang terintegrasi dan sistem keamanan yang siaga (seperti CCTV atau patroli yang efektif) di area sensitif anak.
Pengawasan Sosial yang Melemah: Solidaritas sosial yang dulunya menjadi benteng perlindungan masyarakat (seperti “tetangga ikut mengawasi”) kini semakin terkikis.
Isu Perlindungan Anak Bukan Prioritas Strategis: Negara tidak menempatkan isu keamanan anak sebagai agenda prioritas nasional yang memerlukan alokasi sumber daya dan kebijakan yang tegas.
Penculikan adalah bentuk agresi tertinggi terhadap keselamatan jiwa. Jika negara gagal melindungi warganya yang paling lemah dari bahaya yang nyata, maka telah terjadi pelanggaran tanggung jawab mendasar sebagai penyelenggara keamanan publik.
Kelemahan Penegakan Hukum dan Jaringan Kejahatan (TPPO)
Indonesia telah memiliki kerangka hukum yang kuat, termasuk Undang-Undang Perlindungan Anak dan UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Namun, peningkatan tren penculikan membuktikan bahwa perangkat hukum tersebut tidak bekerja secara efektif sebagai efek jera.
Laporan dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sering mengindikasikan bahwa TPPO melibatkan jaringan terorganisir yang rapi, terdiri dari perekrut, pengantar, pembeli, dan penadah.
Poin Kritis: Ketika penegakan hukum lemah—ditandai dengan sanksi yang longgar, proses hukum yang lamban, dan kurangnya pengawasan terhadap narapidana kasus anak—jaringan kejahatan akan tumbuh subur dan terus beroperasi tanpa rasa takut.
Nilai nyawa dalam berbagai ajaran (termasuk Islam, yang memandang hilangnya dunia lebih ringan daripada terbunuhnya seorang mukmin) menegaskan bahwa penculikan anak adalah kejahatan berat yang seharusnya ditangani dengan tingkat urgensi dan hukuman maksimal.
Kerentanan Sosial dan Ekonomi: Target Empuk Sindikat Kriminal
Kasus penculikan seringkali menyasar golongan masyarakat yang paling rentan: masyarakat miskin, masyarakat adat di daerah terpencil, dan mereka yang memiliki akses informasi dan pendidikan terbatas.
Pada kasus di Makassar, pelaku diduga memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat adat dengan mengaku membawa surat resmi dan menjanjikan imbalan finansial (uang adopsi). Ini adalah modus operandi klasik: memanfaatkan celah sosial yang diciptakan oleh kemiskinan dan ketidakmerataan.
Kerentanan ini menunjukkan bahwa ketidakamanan anak berakar pada masalah sosial-ekonomi yang lebih luas. Negara wajib menutup celah-celah kerentanan ini, karena berdasarkan prinsip perlindungan jiwa universal (seperti hifzhun nafs dalam Islam), penjagaan atas jiwa setiap warga negara, tanpa memandang status sosial, adalah kewajiban mutlak.
Solusi Sistemik: Menegakkan Maqasid Syariah dan Jaminan Keamanan
Untuk mewujudkan lingkungan ramah anak yang sesungguhnya, diperlukan pergeseran paradigma dari reaktif menjadi solusi sistemik. Sejarah peradaban yang berorientasi pada nilai (seperti masa kejayaan Islam) menunjukkan bahwa keamanan jiwa rakyat adalah prioritas mutlak yang diemban penuh oleh pemimpin negara.
Implementasi perlindungan jiwa yang komprehensif memerlukan tiga pilar utama:
| Pilar Solusi | Deskripsi Tindakan Strategis |
| Pencegahan Sistemik | Menciptakan lingkungan sosial yang berintegritas dan bermoral; menguatkan ketahanan keluarga dan pendidikan masyarakat. |
| Penegakan Hukum Tegas | Menerapkan sanksi berat (hukuman setimpal) bagi pelaku kejahatan anak dan TPPO; menindak tegas sindikat kriminal hingga ke akarnya untuk menciptakan efek jera. |
| Jaminan Kesejahteraan | Menghapus disparitas ekonomi dan sosial yang membuat kelompok masyarakat rentan dimanfaatkan; memastikan akses informasi dan perlindungan bagi warga di pinggiran. |
Hukum sebagai Stabilitas Sosial: Sebagaimana disampaikan dalam hadis (HR. An-Nasa’i) bahwa tegaknya satu hukum Allah lebih baik daripada hujan selama empat puluh hari, ini menekankan bahwa ketegasan hukum syariah adalah fondasi utama bagi stabilitas dan keamanan sosial.
Penutup dan Rekomendasi Aksi Nyata
Maraknya penculikan anak adalah cermin kegagalan sistemik multi-dimensi: kegagalan negara dalam melindungi, kegagalan hukum dalam memberikan efek jera, dan kegagalan sistem sosial dalam menciptakan benteng keamanan bagi kelompok yang paling lemah.
Anak-anak adalah aset masa depan bangsa dan amanah yang harus dijaga. Tidak ada toleransi untuk membiarkan mereka hidup dalam ancaman.
Rekomendasi Utama:
Prioritaskan Anggaran dan Kebijakan: Pemerintah harus menetapkan keamanan dan perlindungan anak sebagai prioritas strategis nasional dengan alokasi anggaran yang memadai.
Integrasi Penegakan Hukum: Melakukan investigasi dan penindakan terintegrasi (Polisi, PPATK, Kementerian Sosial) untuk membongkar jaringan TPPO.
Hukuman Maksimal: Hakim dan Jaksa harus menggunakan pasal dan tuntutan maksimal untuk kasus-kasus kejahatan anak, termasuk hukuman mati atau penjara seumur hidup bagi pelaku sindikat.
Saatnya menata ulang cara kita melihat keamanan anak, bukan sebagai isu kriminalitas biasa, tetapi sebagai indikator fundamental keberhasilan sebuah negara.
Wallahu’alam bish shawab.





























































































