FENOMENA lantunan shalawat tarhim menjelang waktu salat telah menjadi tradisi keagamaan yang luas di Indonesia dan beberapa negeri Muslim lain.
Di berbagai masjid, terutama di wilayah berhaluan Ahlussunnah wal Jama‘ah (Aswaja), tarhim menggema sebagai penanda masuknya waktu Subuh atau menjelang salat Jumat.
Lantunan itu biasanya berupa bacaan pujian kepada Rasulullah SAW dengan nada khas, diiringi gema pengeras suara dari menara masjid.
Namun, praktik ini tidak lepas dari perdebatan. Sebagian kelompok menilai shalawat tarhim sebagai ekspresi cinta kepada Nabi, bagian dari syiar Islam, bahkan termasuk bid‘ah hasanah.
Di sisi lain, sebagian kalangan, khususnya dari mazhab yang lebih skriptural seperti Salafi, menganggap tarhim sebagai inovasi dalam ibadah yang tidak pernah dicontohkan Rasulullah SAW maupun para sahabat.
Artikel ini mengulas secara akademik apakah shalawat tarhim memiliki landasan syar‘i yang kuat atau termasuk dalam kategori bid‘ah ibadah, dengan meninjau pandangan para ulama dari berbagai mazhab.
Asal-Usul dan Makna Shalawat Tarhim
Kata tarhim berasal dari bahasa Arab raḥmah (رحمة), yang berarti kasih sayang. Secara terminologis, tarhim dalam konteks shalawat adalah seruan atau doa agar umat memperoleh rahmat Allah, disertai pujian kepada Nabi Muhammad SAW.
Dalam praktiknya di Nusantara, shalawat tarhim dibacakan sebelum azan, biasanya sekitar sepuluh atau lima belas menit sebelumnya.
Tradisi ini diyakini berkembang pada masa penyebaran Islam di wilayah Melayu dan Jawa. Ulama lokal memperkenalkan bacaan shalawat dan zikir dengan tujuan menanamkan kecintaan kepada Rasulullah SAW serta mempersiapkan jamaah menuju ibadah salat.
Namun, dari segi riwayat, tidak ditemukan dalil yang menunjukkan Rasulullah SAW atau para sahabat melantunkan bacaan serupa sebelum azan.
Dengan demikian, shalawat tarhim lebih bersifat tradisi sosial keagamaan (‘urf dini), bukan ibadah yang memiliki tawqif syar‘i (batasan dari wahyu).
Perspektif Hadis dan Sunnah
Ibadah dalam Islam bersifat tauqifiyyah, yakni hanya sah dilakukan jika ada dasar dari Al-Qur’an, Sunnah, ijmak, atau qiyas yang sahih. Prinsip ini ditegaskan dalam sabda Nabi SAW:
“Barang siapa mengada-adakan dalam urusan kami ini sesuatu yang bukan darinya, maka ia tertolak.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam konteks shalawat tarhim, tidak ada hadis yang menjelaskan adanya bacaan shalawat khusus sebelum azan.
Rasulullah SAW memerintahkan muazin mengumandangkan azan dan iqamah sesuai teks yang telah beliau ajarkan. Tidak ada tambahan berupa doa, shalawat, atau lantunan lain sebelum atau sesudahnya.
Sebagian pihak berargumen bahwa karena shalawat adalah ibadah yang disyariatkan secara umum, maka membacanya dalam waktu apa pun tidak terlarang.
Namun, ulama ushul fiqh menegaskan bahwa menentukan waktu, tempat, atau bentuk baru dalam ibadah adalah bentuk bid‘ah jika tidak ada dasar dari Nabi SAW.
Ibn Rajab al-Hanbali dalam Jāmi‘ al-‘Ulūm wal-Ḥikam menjelaskan bahwa amal yang baik sekalipun dapat menjadi bid‘ah jika dilakukan dengan cara yang tidak diajarkan oleh Rasulullah SAW atau generasi awal.
Dengan demikian, pembacaan shalawat secara berjamaah dan bersuara keras menjelang azan tidak memiliki contoh dari generasi salaf.
Pandangan Ulama Klasik dan Kontemporer
1. Imam Nawawi dan Tradisi Shalawat
Imam Nawawi dalam Al-Adzkar memang menganjurkan pembacaan shalawat dalam banyak kesempatan, termasuk antara azan dan iqamah, karena waktu itu mustajab untuk doa.
Namun, beliau tidak menyebut adanya bacaan tertentu yang dilantunkan sebelum azan. Jadi, meskipun beliau menganjurkan memperbanyak shalawat, tidak berarti membolehkan penetapan ritual tertentu yang tidak memiliki contoh.
2. Ibn Taymiyyah: Penegasan Prinsip Tauqifiyyah
Ibn Taymiyyah (w. 728 H) dalam Majmū‘ al-Fatāwā (22/510) menegaskan:
“Tidak diperbolehkan menambah-nambah bentuk zikir atau doa dengan cara tertentu yang tidak diajarkan Nabi SAW. Barang siapa menetapkan suatu bentuk ibadah yang tidak berasal dari beliau, maka ia telah membuat bid‘ah dalam agama.”
Dalam kerangka ini, shalawat tarhim dipandang sebagai penambahan pada ibadah yang bersifat tauqifi.
Ibn Taymiyyah juga menyebutkan bahwa mengangkat suara dengan bacaan tertentu di luar tuntunan Rasulullah SAW, walaupun isinya baik, tetap termasuk ghuluw fi al-din (berlebih-lebihan dalam agama).
3. Imam Asy-Syathibi dan Konsep Bid‘ah
Imam Asy-Syathibi (w. 790 H) dalam Al-I‘tisam menjelaskan bahwa bid‘ah adalah:
“Cara dalam agama yang diada-adakan, menyerupai syariat, dimaksudkan untuk berlebih dalam ibadah kepada Allah.”
Dari definisi ini, shalawat tarhim memenuhi unsur bid‘ah idhafiyyah — yaitu ibadah yang dasarnya ada (shalawat), tetapi cara dan waktunya ditentukan tanpa dalil.
4. Syaikh Al-Albani dan Ulama Salafi
Syaikh Nasiruddin al-Albani dalam Tahdzīr as-Sājid menegaskan larangan menetapkan bacaan tertentu menjelang azan karena tidak ada contoh dari Rasulullah SAW. Menurutnya, jika suatu ibadah tidak memiliki dalil khusus dan tidak dilakukan oleh generasi awal Islam, maka ia tidak boleh dijadikan kebiasaan tetap (ta‘abbudi).
5. Ulama Aswaja dan Konsep Bid‘ah Hasanah
Sebaliknya, ulama Aswaja seperti Imam Jalaluddin As-Suyuthi dan Imam Ibn Hajar al-Asqalani menggunakan pendekatan yang lebih longgar. Mereka membedakan bid‘ah hasanah dan bid‘ah dhalalah.
As-Suyuthi menulis dalam Al-Amr bi al-Ittibā‘ wa an-Nahy ‘an al-Ibtidā‘:
“Setiap perkara baru tidak serta-merta tercela; yang sesuai dengan sunnah termasuk hasanah, sedangkan yang bertentangan adalah dhalalah.”
Dalam konteks ini, sebagian ulama menganggap shalawat tarhim sebagai bid‘ah hasanah karena berisi zikir dan pujian kepada Nabi SAW, bukan bentuk penyimpangan akidah.
Pandangan ini dianut oleh banyak ulama Nusantara seperti KH. Hasyim Asy‘ari dan KH. Ahmad Dahlan, yang menilai nilai moral dan dakwah lebih penting selama tidak mengganti rukun ibadah yang pokok.
Analisis Fiqh dan Kaidah Bid‘ah
Bid‘ah dalam Perspektif Ushul
Para ulama membedakan dua jenis bid‘ah:
Bid‘ah I‘tiqādiyyah – berkaitan dengan akidah dan prinsip pokok agama (seperti paham Qadariyah, Jabariyah).
Bid‘ah ‘Amaliyyah – berkaitan dengan bentuk ibadah atau amalan.
Shalawat tarhim termasuk kategori kedua. Ibadah yang memiliki dasar umum, tetapi bentuknya diatur sendiri tanpa dalil khusus, digolongkan sebagian ulama sebagai bid‘ah idhafiyyah.
Kaidah Ushul Fiqh
Kaidah penting dalam ushul fiqh menyebutkan:
“Al-Aṣlu fil ‘ibādāt at-taḥrīm illā mā dalla ad-dalīl ‘alā mashrū‘iyyatihi.”
(Asal hukum ibadah adalah terlarang kecuali ada dalil yang menetapkannya.)
Dengan demikian, menentukan waktu tertentu untuk membaca shalawat sebelum azan adalah bentuk penetapan ibadah yang tidak memiliki dalil khusus.
Namun, jika dilakukan tidak sebagai ritual tetap, melainkan kebiasaan sosial (sekadar pengingat waktu salat), sebagian fuqaha membolehkannya dengan syarat tidak diyakini sebagai bagian dari syariat.
Perspektif Sosial dan Kultural
Fenomena shalawat tarhim tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial masyarakat Muslim Indonesia.
Tradisi ini lahir dari semangat dakwah dan estetika Islam lokal. Ia berfungsi sebagai simbol keislaman dan penanda waktu yang lembut di tengah masyarakat agraris yang dulu belum mengenal jam modern.
Secara sosiologis, shalawat tarhim memiliki nilai edukatif: mengingatkan umat agar menyiapkan diri menuju salat dengan hati yang khusyuk.
Karena itu, sebagian ulama menilai manfaat sosialnya signifikan, meskipun dari segi fikih ada perbedaan pandangan.
Namun, di tengah era globalisasi dan penyebaran paham puritan, muncul gesekan antara kelompok yang menolak dan mempertahankan tarhim.
Dalam banyak kasus, perbedaan ini menimbulkan konflik kecil di masjid atau komunitas.
Imam Malik pernah menegaskan, “Barang siapa membuat sesuatu yang dianggap ibadah tetapi tidak dilakukan para sahabat, maka ia telah menuduh mereka lalai.” Pernyataan ini menjadi dasar etis agar umat berhati-hati membedakan antara tradisi sosial dan ibadah murni.
Analisis Kritis: Antara Cinta dan Ketepatan Ibadah
Shalawat adalah bentuk cinta kepada Rasulullah SAW, dan cinta kepada beliau adalah bagian dari iman. Namun, cinta itu harus mengikuti prinsip ittiba‘ (mengikuti), bukan ibtida‘ (mengada-adakan).
Rasulullah SAW telah memberikan tuntunan bacaan zikir dan shalawat dalam banyak waktu.
Tidak ditemukan riwayat bahwa beliau menetapkan bacaan tertentu sebelum azan. Maka, menetapkannya sebagai ritual tetap dapat berpotensi menambah-nambah dalam ibadah.
Meski demikian, tidak bijak jika perbedaan ini dijadikan dasar untuk menuduh pihak lain sesat. Sebab, masalah ini berada pada wilayah ijtihadiyyah – ranah perbedaan penafsiran hukum yang tidak menyentuh akidah.
Ulama seperti Syaikh Yusuf al-Qaradawi menegaskan dalam Al-Ijtihad al-Mu‘āṣir bahwa perbedaan pendapat dalam hal cabang tidak boleh melahirkan perpecahan.
Selama niatnya untuk mendekatkan diri kepada Allah, umat Islam hendaknya saling menghormati.
Dimensi Hukum dan Etika
Jika shalawat tarhim dijadikan ritual tetap dan dikaitkan dengan keutamaan khusus (misalnya diyakini berpahala tertentu atau sunnah Rasul), maka menurut kaidah fiqh, hal itu termasuk bid‘ah ibadah yang perlu dihindari. Tetapi jika dilakukan sekadar pengingat, tanpa diyakini sebagai bagian dari syariat, maka ia termasuk ‘urf yang mubah.
Ibn Taymiyyah sendiri membedakan antara amalan yang bersifat ta‘abbudi dan ta‘awwuni.
Selama tarhim tidak mengubah tata cara ibadah, ia tidak dapat dikategorikan sebagai kesesatan yang menafikan iman, tetapi cukup disebut amalan ghairu masyrū‘ah (tidak ada tuntunan).
Pendekatan fiqh kontemporer lebih menekankan maqāṣid syarī‘ah — tujuan umum syariat, yaitu menjaga iman, akal, dan persatuan umat.
Karena itu, melarang atau menolak shalawat tarhim secara keras tanpa edukasi dapat menimbulkan fitnah sosial yang lebih besar daripada manfaatnya.
Kesimpulan Normatif
Berdasarkan analisis nash dan pandangan para ulama, dapat disimpulkan:
Tidak terdapat dalil dari Al-Qur’an maupun hadis sahih yang menunjukkan adanya bacaan shalawat khusus menjelang azan.
Dari perspektif usul fiqh, shalawat tarhim termasuk amalan yang tidak memiliki dasar tauqifi, sehingga tidak bisa dikategorikan sebagai sunnah ibadah.
Sebagian ulama menganggapnya bid‘ah idhafiyyah, sementara ulama lain menilainya bid‘ah hasanah karena isinya tidak bertentangan dengan syariat.
Secara sosial, tradisi ini berfungsi sebagai syiar dan pengingat waktu salat, yang secara moral dapat diterima selama tidak diyakini sebagai bagian dari tata cara ibadah.
Umat Islam perlu memahami perbedaan antara ibadah yang bersifat tauqifiyyah (harus ada dalil) dan amalan ‘urfiyyah (tradisi) agar tidak saling menyesatkan.
Kembali kepada prinsip dasar, Rasulullah SAW bersabda:
“Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad, dan seburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan.”
(HR. Muslim)
Karenanya, kehati-hatian dalam ibadah wajib diutamakan. Cinta kepada Rasulullah SAW seharusnya diwujudkan dengan mengikuti sunnah beliau secara murni, bukan dengan menambah bentuk ibadah baru tanpa dasar syar‘i.
Namun, menjaga ukhuwah dan menghindari permusuhan antarumat tetap menjadi prioritas utama, karena perbedaan dalam hal cabang tidak boleh merusak persaudaraan Islam.































































































