BANDA ACEH – Bola panas kasus tudingan ijazah palsu Presiden ke-7 RI, جوكو ويدودو (جوكوي) kini berada di tangan penyidik Polda Metro Jaya.
Pasalnya, meski sudah menetapkan 8 orang sebagai tersangka dan sudah melakukan gelar perkara khusus, hingga kini penyidik Polda Metro Jaya belum melimpahkan kasus ini ke kejaksaan untuk disidangkan.
Sikap penyidik Polda Metro yang terlalu meladeni pihak tersangka Roy Suryo Cs mendapat sorotan dari Penasehat Ahli Kapolri, Irjen (purn) Aryanto Sutadi.
Menurut Aryanto, masalah ini sudah terlalu lama.
Hal ini disebabkan karena adanya muatan Politik di baliknya yang membuat sengketa ijazah palsu Jokowi ini berkepanjangan.
“Kalau kasus ini pidana murni hanya menuduh menggunakan ijazah palsu, ya itu penyidikannya 2 bulan aja mesti selesai. Saksi ahli paling lima saja cukup. Kemudian alat-alat bukti yang di lapangan, bukti digital itu ya 20 aja cukup,” kata Aryanto dikutip dari tayangan akun youtube Kompas TV pada Rabu (24/12/2025).
Tetapi, lanjut Aryanto, karena kasus ini di belakangnya ada “orang yang mengendalikan”, membuat penyidik harus mengumpulkan 712 alat bukti.
“Menurut saya itu sangat spektakuler ya. Kemudian saksinya 100, saksi ahlinya ada 20,” katanya.
Itu pun, setelah 4 bulan baru ditetapkan tersangka, dan sampai saat ini belum ditahan.
Lalu kini, tersangka minta diajukan saksi-saksi yang meringankan.
“Nah, kok penyidik juga masih memberikan waktu juga gitu loh. Terus kemudian kemarin setelah dikasih waktu malah minta gelar perkara terbuka. Nah, sudah diladeni gelar perkara terbuka, malah keluar mengatakan bahwa mengatakan gelar perkara yang enggak benar dan sebagainya,” singgungnya.
Kini, setelah semua diladeni, para tersangka mengajukan permohonan uji forensik independen.
Hal itu sangat disesalkan Aryanto.
“Jadi ya penyidik kebetulan kok ya mengadeni gitu. Jadi, jadi ukurannya berapa lama ini tergantung wilayah penyidik nanti,”katanya.
Meski prosesnya sangat lambat, Aryanto menilai hal itu masih lazim meski penyidik sangat memberikan toleransi terhadap tersangka (Roy Suryo Cs).
“Biasanya kalau dalam perkara-perkara yang biasa itu penyidik dia enggak mau tahu itu. Yang penting dia pikir sudah lengkap ya udah kirim saja gitu. Entah itu yang bersangkutan itu keberatan apa tidak. Sepanjang dia melakukan tugasnya dengan profesional itu dianggap lengkap sudah dikirim gitu aja,” kataya.
Selain karena muatan politik, Aryanto melihat kasus ini banyak menarik perhatian publik.
“Ini penyidik ingin menunjukkan profesionalisme yang betul-betul adil, objektif, transparan, dan sebagainya. Akibatnya ya itu kemudian dia menunda-nunda,” katanya.
Akibat penundaan ini, Aryanto melihat ada pembelahan di masyarakat yang masing-masing itu menuduh asli apa tidak.
“Jadi ramai nih masyarakat terbelah ya. Penonton yang tidak tahu apa-apa ikut-ikut saling berseteru kan.Itulah yang saya juga tidak suka,” katanya.
Secara pribadi, Aryanto menyarankan berkas segera dikirim ke kejaksaam untuk segera bisa diadili.
“Perkara nanti penyelesaiannya bagaimana? Kalau saya sih bisa menentukan. Tetapi kasusnya harus sampai kepada pengadilan untuk menentukan apakah ijazahnya Pak Joko itu memang asli atau tidak.
“Harus sampai di pengadilan supaya rakyat tahu mana yang benar, mana yang salah. Itu dulu bahwa nanti kalau penyelesaiannya mau pakai salah maaf memaafkan atau berakhir dengan pemidanaan itu kita lihat saja perkembangannya gitu,” tukasnya.
Roy Suryo Cs Harus Ditahan Kalau Ingin Kasus Cepat Selesai
Terpisah, Abdul Fickar Hadjar,Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, menyebut polisi harus menahan Roy Suryo Cs, jika ingin kasus tudingan ijazah palsu Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi) cepat selesai.
Seperti diketahui, hampir setahun kasus ini bergulir dan polda Metro Jaya sudah menetapkan Roy Suryo dan tujuh orang lain sebagai tersangka.
Namun, hingga saat ini penyidik Polda Metro Jaya belum juga melimpahkan kasusnya ke polisi.
Bahkan, Roy Suryo Cs juga belum ditahan karena mereka mengajukan ahli dan saksi meringankan, sehingga tim penyidik akan memeriksa saksi yang diajukan terlebih dahulu sebelum memutuskan menahan tersangka atau tidak.
Menurut Abdul Fickar Hadjar, proses pidana yang tidak disertai penahanan tidak ada waktu yang membatasi.
Jika ingin kasus cepat selesai, kata Fickar, maka polisi harus menahan para tersangka.
“Sepanjang polisi belum yakin buktinya sudah terpenuhi, maka dia (kasusnya) masih boleh jalan, tetapi itu tadi tidak dikaitkan dengan penahan,” ungkapnya dalam wawancara eksklusif bersama Tribunnews, dikutip pada Rabu (24/12/2025).
“Tapi biasanya yang didorong supaya cepat itu biasanya tersangkanya ditahan. Kalau tersangkanya ditahan, kepolisian itu mengejar supaya proses ini berlanjut, penahannya belum selesai gitu,” sambungnya.
Menurut Fickar, penyidik tampak santai saja meski para tersangka belum juga ditahan, sebab merasa masih punya banyak waktu.
“Tidak ada pembatasan di dalam KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana) itu harus sekian waktu, harus sekian waktu gitu. Sepanjang alat-alat buktinya sudah dipenuhi, silakan diajukan ke pengadilan,” paparnya.
“Tapi kewenangan menangkap dan menahan itu dibatasi oleh undang-undang. Umpamanya penyidik itu (bisa menahan tersangka) cuma 20, bisa diperpanjang 40 hari. Nah, setelah itu harus lepas dia.”
“Kecuali bagi tindak pidana yang ancamannya 9 tahun ke atas. Menurut pasal 21 KUHAP itu ya, itu bisa sampai diperpanjang 30 lagi, 60 hari bahkan di penyidikan, demikian juga di penuntutan,” jelas Fickar.
Namun, lanjut Fickar, tindak pidana yang ancaman hukumannya di bawah 5 tahun atau di bawah 9 tahun, tidak terikat penahanan.
“Atau kalau tidak ditahan, ya tidak ada waktu yang membatasi, sampai ditemukan alat bukti yang cukup, dalam hal ini minimal dua alat bukti dan penyidiknya sudah yakin kemudian diserahkan kepada penuntut umum,” ungkapnya.
Kasus Tudingan Ijazah Palsu Jokowi
Sebelumnya, Polda Metro Jaya menetapkan delapan orang sebagai tersangka dalam kasus tudingan ijazah palsu Presiden Joko Widodo.
Para tersangka dibagi ke dalam dua klaster berdasarkan peran dan dugaan pelanggaran yang dilakukan.
Klaster pertama terdiri atas lima tersangka, yakni:
- Eggi Sudjana
- Kurnia Tri Rohyani
- M. Rizal Fadillah
- Rustam Effendi
- Damai Hari Lubis
Mereka dijerat dengan Pasal 310 dan/atau Pasal 311 dan/atau Pasal 160 KUHP, serta Pasal 27A juncto Pasal 45 Ayat (4) dan/atau Pasal 28 Ayat (2) juncto Pasal 45A Ayat (2) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Sementara itu, klaster kedua mencakup tiga tersangka, yakni:
- Roy Suryo
- Rismon Sianipar (Ahli digital forensik)
- Tifauziah Tyassuma (dr. Tifa)
Mereka dijerat dengan Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP, Pasal 32 Ayat (1) juncto Pasal 48 Ayat (1), Pasal 35 juncto Pasal 51 Ayat (1), Pasal 27A juncto Pasal 45 Ayat (4), serta Pasal 28 Ayat (2) juncto Pasal 45A Ayat (2) UU ITE.
Kasus ini bermula dari laporan yang diajukan oleh organisasi Pemuda Patriot Nusantara pada April 2025, diikuti dengan laporan Jokowi dan sejumlah pihak.
Di sisi lain, gugatan perdata terkait ijazah di Pengadilan Negeri Solo dan Jakarta Pusat telah dinyatakan gugur atau tidak diterima karena pengadilan tidak berwenang mengadili perkara tersebut, yang dinilai lebih tepat masuk ranah pidana atau Tata Usaha Negara.
Pihak Universitas Gadjah Mada (UGM) sendiri telah mengonfirmasi bahwa Jokowi adalah alumnus Fakultas Kehutanan UGM angkatan 1980 dan lulus pada tahun 1985






























































































