Oleh: Masry**
NUH membangun bahtera di atas tanah kering. Orang-orang menertawakannya. Ia tak menjawab. Ia hanya terus memaku papan demi papan, seolah tahu bahwa air tak hanya datang dari langit, tapi juga dari kelalaian manusia.
Ketika air akhirnya datang, bumi diperintah untuk menelan, langit diperintah untuk berhenti. Dan air pun surut. Tapi tak semua diselamatkan. Yang binasa bukan hanya mereka yang tak percaya, tapi mereka yang tak bersiap.
Hari ini, kita tak hidup di zaman mukjizat. Tapi kita hidup di zaman data. Kita tahu kapan hujan akan datang, seberapa deras, dan ke mana ia akan mengalir. Kita punya radar cuaca, peta kontur, dan model prediksi. Tapi kita tak punya bahtera.
Di Aceh dan Sumatera Utara, air kembali datang. Ia tak mengetuk pintu. Seperti badai tropis Senyar yang pernah menyelinap ke perairan timur, tanpa suara, tanpa guntur, hanya angin yang tiba-tiba menggila. Tapi bukan langit yang lalai. Kita yang tak menaruh telinga. Kita yang tak menyiapkan pintu.
Ia menyapu jalan, rumah, dan sawah. Ia membawa lumpur, bangkai ternak, dan berita duka. Juga membawa data hutan rusak lewat kayu gelondongan yang hanyut serta. Seakan banjir sedang memaksa kita untuk jujur—bahwa yang hanyut bukan hanya benda, tapi bukti. Bahwa air tak hanya merusak, tapi juga mengungkap.
Kita menyebutnya bencana. Tapi mungkin ia hanya pengingat. Bahwa bumi bisa menelan air, jika tak disemen. Bahwa sungai bisa mengalir, jika tak disumbat. Bahwa rawa bisa menampung, jika tak dijadikan perumahan. Bahwa hujan bisa jadi berkah, jika kita tak mengubahnya jadi musibah.
Surah Hud ayat 44 bukan hanya kisah masa lalu. Ia adalah cermin. Ia menunjukkan bahwa alam bisa diperintah, tapi manusia harus belajar. Ia mengajarkan bahwa Tuhan tak hanya memberi mukjizat, tapi juga memberi ilmu. Dan menolak ilmu, mungkin adalah bentuk lain dari kezaliman.
“Binasalah orang-orang yang zalim itu,” kata ayat itu.
Tapi siapa yang zalim hari ini? Mereka yang menebang hutan? Yang mengabaikan tata ruang? Atau kita semua, yang hanya berdoa tapi mengabaikan data?
Nuh membangun bahtera sebelum hujan turun. Kita membangun posko setelah air naik. Mungkin itu bedanya iman dan kebiasaan. Yang satu percaya dan bersiap. Yang lain percaya, tapi lupa. []































































































