By: Saifuddin A. Rasyid 1
LAYAK disebut bukan ide konstruktif, ketika Menag Nasaruddin Umar menggendong isu Natal bersama tahun ini.
Isu seperti ini sudah terbukti bermasalah dan menguras energi umat Islam. Sejak lama. Kalau bijak Menag tak perlu mencari sensasi yang kontra produktif seperti itu.
Natalan bersama ini isu sentral dan kuat sejak dulu. Sampai keluar fatwa MUI pada tahun 1981 untuk meredam itu.
Pada masa itu seringkali dilakukan Natalan umat kristiani dengan melibatkan penganut lintas agama, termasuk Islam. Ini tentu bermasalah ketika umat Islam tidak punya pengetahuan dan panduan yang dapat dijadikan pedoman.
Bahkan pernah pada era akhir 1970-an Natal dan Idul Fitri jatuh pada waktu yang berdekatan. Kementerian agama, mungkin biar hemat, menjastifikasi penyelenggaraan acara peringatan sekaligus. Acara barengan. Dua khutbah dibacakan dalam acara yang sama. Pastur menyampaikan konsep tuhan tiga; tuhan bapa tuhan ibu dan tuhan anak. Yesus (nabi Isa) anak tuhan.
Saat pengkhotbah muslim naik mimbar menyampaikan Allahu Ahad; Tuhan Satu, tak punya anak tak punya bapak. Isa bukan tuhan, tapi nabi.
Intinya kacau. Berpotensi bermasalah. Tentu saja para pemuka umat Islam gusar dan memikirkan hal itu. Ini campur aduk. Tidak dapat dibiarkan. Laku dipimpin Buya Hamka selaku ketua MUI kala itu menyelenggarakan rapat para ulama dan menghasilkan fatwa MUI tahun 1981 tentang Natal bersama itu.
Fatwa itu ternyata tidak sejalan dengan misi kementerian agama dibawah Menag Alamsyah Ratu Prawiranegara karena dianggap mengurangi spirit toleransi antar umat beragama. Tetapi MUI memandang perlu fatwa itu untuk menjaga kemurnian akidah internal umat Islam.
Tidak dipublish keluar. Dibatasi. Hanya dimuat dalam buletin internal MUI, itupun dicetak 300 eksemplar. Namun fatwa itu kemudian bocor keluar melalui satu koran nasional. Heboh.
Menag minta MUI mencabut fatwa itu. Buya Hamka pun melalui pertimbangan yang alot bersedia mencabut secara formal fatwa itu tetapi diikuti denga pernyataan beliau mengundurkan diri dari posisinya selaku ketua MUI.
Habis? Tidak. Fatwa itu sudah dipegang sebagai pedoman oleh berbagai organisasi Islam dan lanjut dipakai secara internal umat. Walau sudah dicabut. Produktif dan strategis. Fatwa inilah yang sampai saat ini masih berlaku dan dirujuk di tengah umat Islam. Sangat kuat.
Ucapan Selamat Natal
Fatwa tahun 1981 itu tidak memuat larangan secara eksplisit bagi umat Islam terkait mengucapkan selamat Natal kepada tetangga dan atau keluarganya yang kristiani.
Yang haram bagi seorang muslim adalah melibatkan diri dalam ibadah perayaan Natal.
Fatwa tersebut pada butir pertama secara implisit menyebut bahwa perayaan Natal di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari keterkaitannya dengan substansi ibadah.
Jadi pada butir tiga umat Islam dianjurkan tidak melibatkan diri dalam perayaan Natal.
Pada butir tiga itu terbuka peluang pertimbangan lanjutan bagi penafsiran lebih jauh. Bila merasa aman dengan pemahaman masing masing ya tentu dilakukan, tentu saja dengan penuh tanggung jawab. Tetapi bila tidak ya cari aman, hindari berinteraksi dengan Natal itu. Termasuk mengucapkan selamat Natal.
Pada muatan butir ketiga itulah ada silang pendapat terjadi terhadap hukum mengucap selamat Natal.
Sebagian melihat tidak masalah karena ucapan selamat itu dalam satu pemahaman tidak terkait dengan ibadah Natal yang dilarang bagi umat Islam.
Misal seorang muslim mengucapkan “selamat ya atas perayaan Natal kamu semoga kamu bahagia.” Ini dipandang wilayah ekternum yaitu untuk sebatas hubungan baik antar manusia. Bukan wilayah inti ibadah. Yang internum atau inti ibadah adalah ikut misa nyanyian dan menyimak khotbah Natal di gereja. Atau simbul simbul peribadatan lainnya. Ini yang secara terang dilarang dalam butir kedua fatwa 1981.
Jadi sebagian orang, mungkin termasuk Menag Nasaruddin mencoba masuk melalui celah perbedaan pemahaman ini. Yaitu celah yang terbuka untuk dimasuki meskipun ada resikonya.
Ya resikonya umat Islam ribut. Karena umat Islam terutama tokoh tokoh umat Islam langsung terasosiasi pada pola Natal bersama era 70-an. Campur aduk. Yang itu bagi umat Islam dilarang secara keras oleh Allah.
Energi terkuras untuk hal yang tidak perlu. Mengapa? Karena Menag posisinya tinggi dalam lembaga kenegaraan bidang pembinaan keagamaan. Menag pun seorang muslim yang potensial diikuti sebagai contoh bisa secara keliru oleh tokoh dan umat muslim lainnya.
Syukurnya Menag cepat mengklarifikasi. Yang dimaksud adalah peringatan Natal bersama hanya umat kristiani, Katolik dan Protestan saja. Ah kalau itu mengapa sampai melibatkan Menag dan pakai deklarasi peringatan Natal bersama pertama dalam sejarah. Cukup urusan dirjen atau jajaran dibawah dirjen saja.
Jadi terkait ucapan Natal bagi muslim bagaimana bagusnya? Ya masing masing saja. Bila punya ilmu dan menguasai batasan rasa bahasa bahwa tidak sampai masuk wilayah internum peribadatan dan akidah, ya silahkan saja.
Sekedar membuat hubungan seorang muslim dengan teman kristianinya lebih segar, bukan untuk menemukan makna dan berkah Natal bagi kehidupan yang lebih baik. Kita pun yakin mana ada makna dan keberkahan pada Natal untuk seorang muslim.
Ukurannya ada pada kemampuan ilmu dan kesiapan diri masing masing. Tanggung jawab masing masing.
Tetapi bila tidak punya cukup ilmu dan khawatir terpeleset dari wilayah eksternum, yaitu hanya sebatas hubungan komunikasi antar manusia, maka jangan ambil resiko. Diam saja. Jangan libatkan diri dalam urusan momentum Natal seperti yang diarahkan oleh butir tiga fatwa 1981 itu.
Tetap Harmonis
Hubungan harmonis seorang muslim dengan kristiani tidak terletak pada ada atau tidak ada pengakuan antar pribadi terhadap keyakinan agama temannya. Harmoni terletak pada hubungan interpersonal yang baik. Baik tutur kata maupun tindakan.
Seorang kawan kristiani yang benar malah mungkin tersinggung bila kawan muslimnya terkesan berpura pura mengucap selamat. Seperti juga sebaliknya, seorang muslim tersinggung bila ada kawan kristiani berpura pura masuk wilayah internum Islam. Jadi biasa aja. Jaga agama dan diri masing masing. Justru disitu letak spirit toleransi dan rasa dihargai. Jangan mencampuri.
Sekedar catatan bahwa ucapan Natal dalam perspektif internum berbeda dengan ucapan selamat idul fitri atau Idul Adha. Karena perayaan natal adalah ibadah bagi kaum kristiani. Sementara perayaan Idul fitri, selain shalat sunat Idul fitri dan zakat fitrah, adalah kebudayaan. Demikian juga pada Idul Adha, selain shalat sunat Idul Adha dan Qurban, selebihnya kebudayaan.
Sikap
Sikap yang baik bagi seorang muslim dalam melewati momentum Natal dan juga tahun baru Masehi adalah “membiarkan dan memberi ruang”. Tidak mencampuri.
Biarkan teman dan tetangga kristiani kita menjalankan agenda ibadah mereka secara nyaman. Beri ruang yang luas untuk mereka, karena kita juga memerlukan ruang yang luas dalam menjalankan agenda dan ajaran agama kita secara nyaman.
Bila diperlukan buka gerbang pagar kita agar tamu tetangga kristiani kita bisa numpang parkir di halaman pekarangan kita. Bersihkan lingkungan dan lorong perkampungan untuk kenyamanan mereka.
Hindari saling menjegal dengan alasan mencegah kemaksiatan. Bila ini dilakukan seorang muslim, tentu dapat mengganggu tetangganya yang kristiani atau agama lainnya, maka sesungguhnya dia telah berperilaku non islami yang merusak citra Islam itu sendiri.
Disamping itu tidak ada anjuran berbuat baik apapun dalam momentum Natal dan tahun baru.
Misal ada himbauan agar menghidupkan malam di mesjid dalam momentum Natal. Ini misal. Maka misal seperti ini tidak ada kebaikan apapun.
Yang sudah pernah ada himbauan adalah untuk melakukan zikir bersama di mesjid mesjid pada malam tahun baru Masehi. Sudah ada yang melakukan. Tetapi ini pun tidak ada dasarnya. Tidak ada kebaikan apapun. Karena malam tahun baru Masehi adalah momentum kristiani, tidak sebaiknya kita muslim ikut merayakan, termasuk dengan perbuatan amal baik sekalipun seperti zikir.
Sikap kita muslim adalah diam saja. Itu sudah memadai. Ya diam di rumah saja. Tidak pula perlu keluar rumah untuk meramaikan suasana malam tahun baru. Termasuk keluar hanya untuk melihat lihat keramaian dan melaporkannya dalam media pribadi kita. Tidak ada kebaikannya. Bahkan mungkin ada dosanya, sekali lagi karena ini momentum kristiani. Ada kaitannya dengan agenda internum mereka.
Wallahu a’lam.
Referensi:
- Penulis adalah pengamat toleransi dan moderasi beragama, akademisi UIN Ar-Raniry Banda Aceh[↩]






























































































