UPDATE

ENVIRONMENT
ENVIRONMENT

Failure

BENCANA banjir bandang yang menerjang Aceh dan meluas hingga Sumatera Utara serta Sumatera Barat bukan sekadar peristiwa alam. Ia adalah cermin yang memantulkan kegagalan negara dalam menjalankan fungsi dasarnya: melindungi warga negara dari ancaman keselamatan dan menjamin penanganan darurat yang cepat, tepat, dan bermartabat.

Negara kerap hadir dalam pidato dan seremoni, namun absen ketika rakyatnya berhadapan langsung dengan krisis. Banjir bandang yang datang berulang saban tahun menunjukkan bahwa negara belum sungguh-sungguh belajar dari pengalaman. Normalisasi sungai yang setengah hati, pengawasan tata guna lahan yang lemah, serta pembiaran terhadap kerusakan daerah aliran sungai menjadi penyebab struktural yang terus diabaikan. Ketika hujan deras turun, bencana seolah menjadi takdir, padahal sejatinya ia adalah akibat langsung dari kelalaian kebijakan.

Kegagalan paling mendasar negara bermula dari kawasan hulu. Negara terbukti tidak mampu — atau tidak berkehendak — menjaga kelestarian hutan sebagai benteng ekologis utama. Alih-alih melindungi kawasan lindung, negara justru memberikan izin kepada korporasi untuk membabat hutan atas nama investasi. Hutan-hutan Sumatera digadaikan demi kepentingan oligarki, sementara praktik bisnis gelap yang melibatkan oknum politisi berlangsung aman di balik meja perizinan.

Jargon menjaga hutan, menekan deforestasi, dan memperluas wilayah konservasi tak lebih dari dusta yang diucapkan secara sadar oleh para elit. Retorika hijau dijadikan kamuflase untuk menutupi praktik sistematis penggundulan hutan. Negara tampak seolah berpihak pada lingkungan di hadapan publik, namun menjadi fasilitator utama kehancuran ekologi di balik layar kekuasaan.

Other News:
Israel Bombs Beirut, Lebanon; Senior Hezbollah Commander Killed

Kegagalan berikutnya adalah sikap negara yang menutup mata terhadap maraknya tambang – baik ilegal maupun yang dilegalkan melalui izin resmi – yang mengorek bumi tanpa kendali. Belasan perusahaan disebut mengantongi izin pertambangan di kawasan hutan lindung, wilayah yang sejatinya harus dijaga ketat dan tidak boleh dirusak. Dengan dalih peningkatan pendapatan negara, penciptaan lapangan kerja, dan jargon hilirisasi, negara justru melegitimasi perusakan alam secara sistematis yang berujung pada hilangnya daya dukung lingkungan.

Namun kegagalan negara tidak berhenti pada tahap pencegahan. Kegagalan paling menyakitkan justru terjadi setelah bencana besar itu datang. Negara tidak mampu — atau tidak sigap — menyediakan kebutuhan dasar masyarakat pascabanjir. Lebih dari seribu nyawa rakyat melayang, sementara para penyintas dibiarkan bertahan tanpa kepastian hidup. Sembako tidak tersedia secara memadai, distribusi bantuan tersendat, dan jaringan listrik padam berhari-hari bahkan berminggu-minggu di banyak wilayah terdampak.

Rakyat juga dipaksa mengantri BBM berkilo-kilo meter panjangnya, situasi penuh ketidakpastian akan mendapatkan setetes BBM yang dibutuhkan. Begitu pula ketiadaan gas untuk kebutuhan memasak ibu-ibu dan pelaku UMKM. Semuanya begitu menyeramkan, seakan-akan negara ini bukan lagi milik mereka.

Ⓒ The copyright of the above photo is returned to the owner of the photo.
Other News:
Sumatra Disaster Update: Death Toll Reaches 1,006, 217 Missing

Sungguh! Dalam kondisi genting itu, negara benar-benar tidak hadir di tengah-tengah rakyatnya. Masyarakat bertahan dengan swadaya, mengandalkan solidaritas sesama korban dan relawan, sementara negara seolah hanya hadir melalui laporan dan pernyataan resmi. Ketika listrik padam, air bersih sulit didapat, dan logistik langka, rakyat dipaksa menghadapi bencana tanpa perlindungan yang layak dari pemerintahnya sendiri.

Situasi ini seakan menjadi penegasan yang pahit: bencana adalah milik rakyat, sementara kekayaan dan keamanan tetap menjadi milik pejabat dan elit yang berkuasa di istana. Negara tampil kuat dalam mengelola sumber daya dan anggaran, tetapi rapuh ketika dituntut menyelamatkan nyawa manusia.

Aceh, dengan sejarah panjang konflik dan bencana, seharusnya menjadi prioritas dalam pembangunan sistem mitigasi dan respons darurat yang tangguh. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Ketika hutan dihancurkan, tambang dibiarkan menganga, dan negara gagal memenuhi kebutuhan dasar warganya, maka hujan hanyalah pemicu – bukan penyebab utama tragedi.

Bencana besar ini telah berubah menjadi lonceng kematian bagi jutaan rakyat Aceh. Jika negara terus menjual retorika pembangunan sambil mengabaikan keselamatan warganya, maka tragedi serupa hanya tinggal menunggu waktu. Kegagalan ini bukan lagi tersirat—melainkan nyata, telanjang, dan mematikan. ***

Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Reaction

Other News

Show More Loading...No other news/articles found.