KASUS teranyar mengenai Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi jenis Pertalite yang diduga menjadi biang kerok kerusakan, khususnya gejala brebet hingga mogok pada kendaraan bermotor roda dua di wilayah Jawa Timur, telah memicu gelombang kritik tajam yang menyorot langsung tanggung jawab PT Pertamina (Persero) sebagai BUMN penyedia energi.
Peristiwa ini, yang mencuat ke permukaan publik sejak akhir Oktober 2025 dan viral di media sosial, bukan sekadar keluhan teknis mesin biasa, melainkan telah menjelma menjadi isu perlindungan konsumen berskala masif yang mengancam kredibilitas Pertamina dan menimbulkan kerugian material tak sedikit bagi masyarakat.
Narasi yang beredar, diperkuat oleh laporan dari berbagai kota seperti Bojonegoro, Tuban, Surabaya, Sidoarjo, Lamongan, hingga Sumenep, menunjukkan adanya dugaan serius terhadap kualitas Pertalite yang bermasalah, berpotensi terkontaminasi air atau memiliki spesifikasi yang tidak sesuai standar.
Sebagai penjual tunggal BBM bersubsidi, Pertamina berada di bawah sorotan tajam publik, regulator, dan wakil rakyat.
Janji kompensasi dan perbaikan gratis dari Pertamina Patra Niaga Regional Jatimbalinus memang langkah yang cepat, namun bagi banyak pihak, tindakan ini hanya permulaan.
Tuntutan sesungguhnya adalah investigasi transparan, akuntabilitas penuh, dan jaminan mutu BBM yang tidak dapat ditawar-tawar.
Jantung Masalah: Gejala Kerusakan, Dugaan Kualitas, dan Analisis Pakar
Gejala Klinis Mesin yang Brebet
Laporan dari para pengendara motor yang menjadi korban memiliki pola yang seragam: kendaraan mendadak mengalami masalah kinerja serius sesaat atau setelah mengisi Pertalite di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) Pertamina. Gejala umum yang dilaporkan meliputi:
- Motor menjadi “brebet” atau kehilangan tenaga secara tiba-tiba.
- Akselerasi (tarikan) motor terasa berat (ngeden) atau lemah.
- Kesulitan menyalakan mesin (sulit distarter).
- Dalam beberapa kasus yang lebih parah, mesin bisa mengalami knocking (ngelitik) hingga mogok total.
Dampak ini langsung berimplikasi pada aspek terpenting motor bagi masyarakat: fungsi sebagai alat transportasi harian dan, yang paling krusial, sebagai sarana mencari nafkah. Ketua BPKN, Mufti Mubarok, menegaskan bahwa motor bukan sekadar alat transportasi, tetapi merupakan sarana vital ekonomi bagi banyak keluarga.
Perubahan Kualitas: Air, Tiner, atau Oktan Menurun?
Kritik utama diarahkan pada dugaan perubahan atau penurunan kualitas Pertalite itu sendiri. Berbagai sumber di lapangan, termasuk pengakuan montir bengkel, mengindikasikan adanya kejanggalan pada bahan bakar yang dikuras dari tangki motor korban.
- Kontaminasi Air: Dugaan paling kuat adalah adanya kontaminasi air pada BBM di beberapa tangki pendam SPBU, yang dapat merusak sistem injeksi, karburator, hingga komponen mesin.
- Bau Mirip Tiner: Beberapa montir lokal bahkan mencium bau yang tidak biasa, mirip tiner, pada Pertalite yang dikuras, yang mengindikasikan adanya zat kontaminan lain atau perubahan komposisi.
- Pembentukan Kerak: Laporan lain menyebutkan bahwa penurunan kualitas Pertalite bisa menyebabkan timbulnya kerak yang lebih cepat pada mesin motor, berakibat pada pembakaran yang tidak sempurna.
Sudut Pandang Pakar Teknik: Kesesuaian Oktan dan Kompresi
Meskipun fokus publik tertuju pada Pertamina, beberapa pakar teknik mesin memberikan perspektif tambahan. Prof. Bambang Sudarmanta dari Departemen Teknik Mesin ITS mengingatkan bahwa masalah tidak semata-mata pada bahan bakar, tetapi juga pada karakteristik mesin dan kesesuaian nilai oktan (RON).
- Pertalite memiliki RON 90. Motor modern, terutama matik dan sport, didesain dengan rasio kompresi yang lebih tinggi, yang idealnya membutuhkan BBM dengan RON 92 (Pertamax) ke atas.
- Penggunaan RON di bawah rekomendasi dapat menyebabkan pembakaran tidak optimal, gejala brebet, tenaga drop, bahkan risiko detonasi (knocking) yang dalam jangka panjang bisa merusak piston dan komponen mesin lainnya.
- Namun, jika masalah adalah kontaminasi (air atau zat lain) atau perubahan kualitas yang ekstrem, itu jelas merupakan kegagalan kontrol kualitas Pertamina di rantai distribusi.
Desakan Institusional: BPKN, ESDM, dan Tekanan Parlemen
Kasus ini telah memicu reaksi keras dari berbagai lembaga negara, memperkuat posisi konsumen dan melancarkan kritik tajam terstruktur kepada Pertamina.
Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN)
Ketua BPKN, Mufti Mubarok, mengambil peran sentral sebagai suara konsumen. BPKN telah menyatakan akan memanggil Pertamina untuk meminta klarifikasi secara langsung. Desakan BPKN berlandaskan pada Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) yang secara tegas melindungi hak konsumen untuk:
- Mendapatkan barang/jasa sesuai dengan nilai tukar, kondisi, dan jaminan yang dijanjikan.
- Mendapatkan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang.
Mufti Mubarok menegaskan bahwa jika terbukti kerusakan diakibatkan oleh bahan bakar yang bermasalah, Pertamina wajib bertanggung jawab penuh dan memberikan ganti rugi. BPKN saat ini aktif menghimpun data untuk kemungkinan langkah hukum lanjutan, termasuk potensi gugatan class action oleh masyarakat, mengingat kerugian yang dialami bersifat massal.
Intervensi Menteri ESDM dan Parlemen
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, turut bereaksi keras. Ia meminta Pertamina untuk menanggung semua kerusakan yang terbukti disebabkan oleh BBM. Meskipun Pemerintah masih menunggu hasil kajian dari tim verifikasi, termasuk Balai Besar Pengujian Minyak dan Gas Bumi (Lemigas), instruksi Menteri Bahlil jelas: Pertamina tidak boleh main-main dengan kualitas BBM.
Di parlemen, anggota DPR mendesak Pertamina untuk tidak hanya ganti rugi, tetapi juga segera melakukan audit investigasi paralel dan uji laboratorium (uji lab) untuk mendeteksi kontaminan. Tuntutan ini bertujuan untuk:
- Akuntabilitas Cepat: Memastikan perbaikan motor dan ganti rugi langsung kepada konsumen yang terdampak.
- Jaminan Reputasi: Memulihkan kepercayaan publik dan memastikan pengawasan mutu di lapangan diperketat, tidak hanya di Jawa Timur, tetapi di seluruh Indonesia.
Tanggung Jawab Hukum Pertamina
Dalam konteks hukum, Pertamina sebagai pelaku usaha memiliki kewajiban mutlak terhadap kualitas produk yang dijual, terutama BBM bersubsidi yang merupakan hajat hidup orang banyak. Kegagalan dalam menjamin kualitas—apakah karena kelalaian dalam distribusi, kontaminasi di SPBU, atau masalah kualitas dari hulu—dapat dikategorikan sebagai tindakan melawan hukum yang merugikan konsumen sesuai UUPK.
Respon Pertamina: Ganti Rugi dan Posko Aduan (Sebuah Gimmick atau Komitmen?)
Pertamina Patra Niaga Regional Jatimbalinus merespons dengan cepat. Mereka menyampaikan permintaan maaf dan berkomitmen untuk:
- Memberikan Kompensasi dan Perbaikan Gratis: Pertamina berjanji menanggung biaya perbaikan kendaraan yang terbukti terdampak, merujuk kendaraan ke bengkel resmi yang ditunjuk.
- Menambah Posko Pengaduan: Jumlah posko aduan ditingkatkan dari tiga menjadi 15 titik, guna mempercepat penanganan kasus di lapangan.
- Melakukan Investigasi Menyeluruh: Pengecekan kualitas dan kuantitas BBM di level SPBU sebagai titik distribusi terakhir.
Namun, langkah-langkah ini memunculkan pertanyaan kritis: Apakah ini respons tulus atas kegagalan kualitas, atau hanya tindakan reaktif minimalis untuk meredam kemarahan publik?
Transparansi dan Trust Issue
Kritik tajam tetap tertuju pada aspek transparansi. Konsumen membutuhkan jaminan bahwa proses pemeriksaan dan verifikasi laporan akan dilakukan secara terbuka dan tidak dipersulit.
- Bagaimana mekanisme pembuktian bahwa kerusakan memang diakibatkan oleh Pertalite?
- Apakah Pertamina akan mempublikasikan hasil uji lab dari sampel BBM di SPBU yang bermasalah?
- Apakah ganti rugi yang diberikan mencakup kerugian waktu dan potensi hilangnya pendapatan bagi masyarakat yang mata pencahariannya bergantung pada motor tersebut?
Tanpa transparansi penuh, janji ganti rugi Pertamina berisiko dianggap sekadar gimmick atau upaya menutup-nutupi masalah struktural dalam rantai pasok dan kontrol kualitas.
Epilog: Ancaman Jangka Panjang dan Perlunya Reformasi Mutu
Kasus Pertalite di Jawa Timur ini adalah puncak gunung es dari masalah yang lebih besar: isu konsistensi dan jaminan mutu BBM bersubsidi yang dikelola Pertamina. Sebagai perusahaan minyak dan gas nasional, Pertamina memegang amanah yang sangat besar dalam menyediakan energi berkualitas.
Kritik akhir yang harus dilayangkan:
- Pengawasan Internal yang Lemah: Terulangnya kasus kualitas BBM bermasalah menunjukkan adanya kelemahan struktural dalam sistem pengawasan internal Pertamina, mulai dari proses pengolahan, penyimpanan di Terminal BBM, hingga distribusi akhir di SPBU (termasuk potensi kecurangan di tingkat SPBU).
- Hak Konsumen yang Terenggut: Masyarakat telah membayar sesuai harga yang ditetapkan, yang berarti mereka berhak menerima produk dengan standar kualitas yang dijamin oleh negara dan pabrikan. Kegagalan ini adalah pelanggaran hak konsumen secara mendasar.
- Ancaman Ekonomi Mikro: Kerusakan pada ribuan motor di Jawa Timur merupakan shock ekonomi mikro yang serius. Pemerintah dan Pertamina harus segera menghitung dampak kerugian menyeluruh, tidak hanya biaya perbaikan, tetapi juga opportunity cost yang hilang.
Pertamina harus segera mengambil langkah beyond ganti rugi:
- Audit Mutu Nasional: Melakukan audit mendadak dan menyeluruh terhadap kualitas Pertalite di seluruh SPBU di Indonesia.
- Sanksi Tegas: Memberikan sanksi berat dan transparan kepada pihak-pihak, baik internal Pertamina maupun mitra di SPBU, yang terbukti lalai atau sengaja menurunkan kualitas BBM.
- Peningkatan Standar: Mengkaji ulang prosedur penyimpanan dan distribusi untuk meminimalisir kontaminasi, khususnya air.
Pada akhirnya, kasus ini adalah panggilan keras bagi Pertamina untuk kembali pada komitmen utamanya: Menyediakan energi yang tidak hanya tersedia, tetapi juga berkualitas dan aman bagi masyarakat dan mesin kendaraan mereka. Kepercayaan publik adalah aset tak ternilai, dan kegagalan dalam skandal Pertalite ini telah membuat aset tersebut terkikis tajam. Pemerintah dan Pertamina harus bergerak cepat, transparan, dan bertanggung jawab.
Pertalite (RON 90) Melawan Kebutuhan Oktan Mesin Motor Modern
Isu utama dalam kasus Pertalite yang merusak motor di Jawa Timur tidak hanya terletak pada potensi kontaminasi, tetapi juga pada pertanyaan mendasar mengenai kesesuaian spesifikasi Pertalite (Research Octane Number/RON 90) dengan tuntutan teknologi mesin kendaraan bermotor roda dua yang semakin modern.
Analisis ini bertujuan memberikan pemahaman teknis mengapa beberapa motor lebih rentan terhadap masalah saat menggunakan Pertalite, bahkan jika kualitas BBM tersebut seharusnya normal.
Memahami Angka Oktan (RON) dan Rasio Kompresi
Research Octane Number (RON) adalah nilai yang menunjukkan kemampuan bahan bakar untuk menahan tekanan sebelum terbakar secara otomatis (terjadi self-ignition atau detonasi). Semakin tinggi RON, semakin besar ketahanan BBM terhadap kompresi tinggi.
Rasio Kompresi adalah perbandingan antara volume silinder saat piston berada di titik terendah (TMB) dan volume saat piston berada di titik tertinggi (TMA). Motor dengan rasio kompresi tinggi menghasilkan tenaga lebih besar dan efisiensi lebih baik, namun mutlak memerlukan angka oktan yang lebih tinggi untuk mencegah knocking.
Pakar Teknik Mesin dari ITS, Prof. Bambang Sudarmanta, menekankan bahwa ketidaksesuaian RON dan rasio kompresi adalah penyebab utama masalah performa seperti brebet dan tenaga drop.
Tabel Perbandingan: Kebutuhan Oktan Berdasarkan Jenis Motor
| Jenis Motor (Kategori Umum) | Rentang Rasio Kompresi (Rata-rata) | Kebutuhan Minimum RON Ideal | Kinerja dengan Pertalite (RON 90) | Risiko Jangka Panjang |
| Bebek (Entry-Level) | $8.5:1$ hingga $9.5:1$ | RON 88 – RON 90 | Masih Cukup Ideal. Pembakaran umumnya optimal dan knocking minim. | Sangat Rendah. |
| Skuter Matik (Mid-End/Populer) | $9.5:1$ hingga $10.5:1$ | RON 92 | Cukup Rentan. Performa bisa drop, akselerasi lemah, potensi brebet ringan. | Rendah ke Sedang (jika digunakan terus-menerus). |
| Motor Sport & Matik Premium | $10.5:1$ hingga $11.5:1$ ke atas | RON 92 – RON 95 | Sangat Tidak Ideal. Potensi knocking (ngelitik) tinggi, mesin cepat panas, pembakaran tidak sempurna. | Sedang ke Tinggi (kerusakan piston/katup). |
| Motor Modern Berteknologi Tinggi (VVA, VTEC) | $11.0:1$ ke atas | RON 95 ke atas | Sangat Berisiko. Performa mesin terhambat, gejala kerusakan fatal lebih cepat muncul. | Tinggi. |
Analisis Kritis Kinerja Pertalite pada Mesin Motor
1. Masalah Keseimbangan Oktan dan Kompresi (Isu Mutu Desain)
Pertalite (RON 90) didesain sebagai transisi dari Premium (RON 88). Namun, seiring waktu, pabrikan motor—untuk mematuhi standar emisi yang semakin ketat dan mencapai efisiensi bahan bakar yang lebih baik—telah menaikkan rasio kompresi motor yang mereka produksi.
- Motor Matik (9.5:1 ke atas): Mayoritas motor matik yang sangat populer (seperti varian 150cc ke atas, atau bahkan beberapa 125cc modern) berada dalam kategori rasio kompresi yang menuntut RON 92. Ketika dipaksa menggunakan RON 90, mesin mengalami pre-ignition atau pembakaran dini. Ini menyebabkan hilangnya tenaga dan munculnya gejala brebet.
- Motor Sport (10.5:1 ke atas): Bagi motor sport, penggunaan Pertalite hampir pasti memicu detonasi (knocking). Detonasi adalah ledakan tak terkontrol dalam ruang bakar yang memberikan tekanan berlebihan pada piston dan katup, yang jika dibiarkan akan menyebabkan kerusakan fatal dan penumpukan kerak.
2. Kontaminasi Kualitas (Isu Mutu Distribusi)
Meskipun masalah brebet dapat dijelaskan secara teknis karena ketidaksesuaian RON, kasus di Jawa Timur diduga melampaui batas toleransi ini. Keluhan yang masif dan mendadak di berbagai wilayah dalam waktu singkat mengarah pada kegagalan kontrol kualitas di tingkat distribusi Pertamina.
Pakar teknik menyarankan:
“Jika motor yang secara historis baik-baik saja dengan Pertalite tiba-tiba bermasalah setelah mengisi di SPBU tertentu, ini adalah indikasi kuat kontaminasi—bukan sekadar masalah RON. Kontaminasi air, misalnya, sangat merusak sistem pembakaran dan injeksi.”
Kontaminasi ini diperparah oleh:
- Air Masuk ke Tangki Pendam: Kelalaian operasional di SPBU dapat menyebabkan air hujan atau banjir masuk ke tangki penyimpanan BBM, yang kemudian terdistribusi ke kendaraan konsumen.
- Pengawasan SPBU yang Longgar: Kualitas BBM di SPBU (titik distribusi terakhir) harus dijaga ketat. Adanya laporan kasus ini menunjukkan pengawasan Pertamina terhadap mitra SPBU belum optimal.
3. Dampak Jangka Panjang: Kerak dan Keausan
Penggunaan BBM dengan oktan yang lebih rendah dari rekomendasi pabrikan secara berkelanjutan akan:
- Meningkatkan Kerak Karbon: Pembakaran yang tidak sempurna (karena oktan rendah) meninggalkan residu karbon lebih banyak pada piston, katup, dan busi.
- Keausan Dini: Detonasi (knocking) meningkatkan suhu mesin dan memberikan tekanan mekanis yang tidak normal, mempercepat keausan pada komponen vital mesin.
Perspektif Teknis
Kasus Pertalite di Jawa Timur ini adalah cerminan dari kegagalan ganda:
- Kegagalan Regulasi Oktan: Pertamina dan Pemerintah harus mengakui bahwa seiring modernisasi motor di Indonesia, RON 90 semakin tidak relevan sebagai BBM bersubsidi utama. Jutaan motor modern (matik dan sport) secara teknis tidak cocok menggunakan Pertalite.
- Kegagalan Kontrol Kualitas Rantai Pasok: Dugaan adanya air atau kontaminan di BBM adalah pelanggaran fatal dalam operasional Pertamina. Ini menunjukkan adanya celah besar dalam audit mutu, baik di Terminal BBM maupun di SPBU.
Pertamina memang menawarkan ganti rugi, namun solusi fundamentalnya adalah memastikan bahwa setiap tetes BBM yang keluar dari pompa SPBU memenuhi standar mutu yang dijamin. Selama ada indikasi BBM terkontaminasi atau tidak sesuai spesifikasi di lapangan, kritik tajam dan tuntutan akuntabilitas penuh dari BPKN dan masyarakat akan terus relevan. Perlindungan konsumen harus diutamakan, dan itu dimulai dari jaminan kualitas produk yang dibeli.































































































