UPDATE

OPINI
OPINI

Brengsek!

BRENGSEK! Ya kata ini mungkin terdengar kasar, tetapi dalam situasi negeri yang terus-menerus menenggelamkan rakyatnya sendiri, kesantunan justru sering menjadi bentuk lain dari kebohongan.

Ketika banjir melanda Sumatera berulang kali, ketika rumah hanyut, sawah rusak, dan nyawa melayang, kita kehabisan kata-kata halus untuk menjelaskan satu hal sederhana bahwa ada yang salah, dan itu disengaja.

Ironisnya, kata brengsek bukanlah istilah asing dalam kamus kekuasaan negeri ini. Pucuk pimpinan negara bahkan pernah mengucapkannya secara terbuka di televisi nasional. Entah ditujukan kepada siapa — kalangan tertentu, pembantu yang lalai, atau musuh yang tak disebut nama.

Namun kata-kata, seperti juga kebijakan, kerap bekerja seperti senjata makan tuan. Ia bisa berbalik arah, menunjuk kepada pengucapnya sendiri.

Sebab ketika seorang pemimpin melontarkan kata brengsek di ruang publik, sesungguhnya ia sedang membuka ruang tafsir moral. Rakyat berhak bertanya, siapa sebenarnya yang paling pantas menyandang kata itu? Mereka yang terjebak banjir tanpa perlindungan, atau mereka yang menandatangani izin perusakan lalu mencuci tangan saat bencana datang? Mereka yang kehilangan rumah, atau mereka yang kehilangan nurani?

Hujan bukan penyebab utama. Alam bukan musuh. Yang brengsek adalah cara kekuasaan memperlakukan alam dan rakyatnya.

Berita Lainnya:
Hutan Dirusak, Rakyat Ditenggelamkan: Banjir Aceh Bukti Kejahatan Ekologis

Hutan-hutan di Sumatera dan Kalimantan tidak lenyap karena nasib buruk. Ia ditebang dengan izin. Ia dibelah dengan restu. Ia dijual dengan stempel negara. Deforestasi bukan kecelakaan, melainkan keputusan politik dan ekonomi yang sadar risiko.

Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto

Ketika pepohonan tumbang, resapan air hilang, sungai menyempit, dan dataran rendah berubah menjadi kolam raksasa, para pengambil kebijakan tahu persis akibatnya. Namun mereka tetap menandatangani. Di titik inilah kata brengsek menemukan maknanya yang paling jujur.

Bencana kemudian datang seperti tagihan yang jatuh tempo. Air naik, rakyat panik, dan negara hadir sebentar — dengan rompi, kamera, dan pidato. Setelah itu, sunyi. Bantuan lambat. Pemulihan setengah hati. Evaluasi tak pernah menyentuh akar masalah. Yang disalahkan selalu cuaca, selalu alam, selalu “fenomena tahunan”. Padahal yang tahunan adalah pola pengkhianatan itu sendiri.

Brengsek bukan karena tidak tahu.

Brengsek adalah tahu, tetapi memilih menutup mata.

Brengsek bukan karena tidak mampu.

Brengsek adalah mampu, tetapi memilih melayani modal dibanding melindungi nyawa.

Negeri ini gemar berbicara tentang pembangunan, tetapi jarang jujur menjawab satu pertanyaan mendasar: pembangunan untuk siapa? Ketika konsesi meluas dan kawasan lindung menyusut, ketika sungai kehilangan bantaran dan hutan kehilangan penjaga, rakyat di hilir dijadikan korban permanen. Mereka bukan hanya kebanjiran air, tetapi juga kebijakan.

Berita Lainnya:
Efek Kupu-kupu dan Tragedi Hukum Lingkungan

Yang lebih menyakitkan, penderitaan rakyat sering kali dipolitisasi. Tangis dijadikan latar pidato. Lumpur menjadi properti pencitraan. Namun setelah sorotan kamera padam, korban kembali berjuang sendiri. Jika ini bukan brengsek secara moral, maka kita sedang memiskinkan makna keadilan.

Banjir di Sumatera adalah bahasa alam yang paling jujur. Ia berkata: hentikan keserakahan, atau bersiaplah tenggelam bersama akibatnya. Sayangnya, pesan ini terus diterjemahkan sebagai gangguan sementara, bukan peringatan struktural. Padahal setiap tetes air membawa satu tuduhan: negara abai, pemimpin lalai, dan kebijakan berkhianat.

Tulisan ini tidak bertujuan memaki individu, melainkan menggugat watak kepemimpinan. Sebab negeri tidak runtuh oleh hujan, tetapi oleh keputusan yang menjauh dari nurani. Jika kata brengsek terasa berlebihan, barangkali karena kita terlalu lama memaklumi kebusukan dengan bahasa yang sopan.

Sejarah kelak tidak akan menanyakan seberapa indah pidato para pemimpin, melainkan berapa banyak nyawa yang diselamatkan dan hutan yang dijaga. Dan jika banjir terus berulang, jika kerusakan terus dibiarkan, maka catatan itu akan tegas: kehancuran ini bukan takdir — ia adalah hasil dari kepemimpinan yang brengsek. **

S’abonner
Notification pour
guest
0 Komentar
Commentaires en ligne
Afficher tous les commentaires

Reaksi

Berita Lainnya

Tampilkan Lainnya Loading...Tidak ditemukan berita/artikel lainnya.