BANDA ACEH – Transformasi digital mendorong UMKM untuk masuk ke marketplace dengan harapan mampu memperluas pasar, meningkatkan omzet, dan bersaing dalam ekonomi digital.
Namun, dalam praktiknya, banyak pelaku UMKM justru merasa terjebak dalam ekosistem yang tidak sepenuhnya menguntungkan.
Struktur bisnis marketplace akhirnya membentuk ketergantungan yang dapat merugikan UMKM dan menggerus kemandirian mereka.
Salah satu kerugian paling terasa adalah biaya komisi dan potongan yang terus meningkat seiring waktu. Pada tahap awal, marketplace memberikan fasilitas gratis atau berbiaya rendah agar UMKM tertarik bergabung.
Namun setelah traffic dan penjualan mulai menggantungkan diri pada platform, berbagai biaya tambahan muncul — mulai dari komisi transaksi, biaya layanan, hingga biaya iklan agar produk tetap terlihat oleh konsumen.
Akibatnya, meskipun omzet penjualan naik, keuntungan UMKM justru menurun.
Marketplace juga memaksa UMKM masuk ke dalam perang harga yang mengerikan. Persaingan tidak lagi bertumpu pada kualitas, tetapi siapa yang mampu menjual dengan harga paling rendah.
Pelaku UMKM, terutama yang bermodal kecil, sering kali kalah karena margin keuntungan mereka sangat tipis.
Fenomena ini di Indonesia sudah diakui sebagai ancaman bagi keberlangsungan usaha kecil karena marketplace mendorong predatory pricing yang dapat mematikan UMKM lokal.
Masalah lain yang sangat krusial adalah UMKM tidak memiliki data pelanggan. Seluruh interaksi dikontrol marketplace sehingga UMKM kehilangan kesempatan membangun loyalitas dan pemasaran jangka panjang.
Marketplace menjadi satu-satunya gerbang akses pelanggan, sehingga jika kebijakan atau algoritma berubah mendadak, omzet UMKM dapat anjlok dalam waktu singkat.
Ketergantungan ini menempatkan UMKM pada posisi tawar yang sangat lemah. Platform bisa sewaktu-waktu mengubah aturan, menambah biaya, menurunkan visibilitas produk, bahkan menutup toko digital tanpa proses banding yang jelas.
Banyak kasus akun diblokir sepihak membuat UMKM kehilangan aset digital yang telah dibangun bertahun-tahun — seolah hidup-matinya usaha mereka berada di tangan “majikan digital”.
Tidak hanya sampai di situ, marketplace juga membuka peluang peniruan produk oleh pemain besar atau bahkan platform itu sendiri.
Dengan kendali penuh terhadap data tren penjualan, pihak marketplace bisa mengetahui produk UMKM mana yang sedang laris, kemudian menghadirkan produk tiruan dengan harga lebih murah dan pemasaran lebih agresif.
Kasus yang mencuat pada perkembangan TikTok Shop menunjukkan bagaimana UMKM merasa terancam karena munculnya produk imitasi yang menyingkirkan produk lokal dari pasarnya sendiri.
Penelitian di Indonesia pun mengonfirmasi bahwa dalam perang harga dan dominasi platform, yang paling diuntungkan adalah marketplace, bukan pelaku UMKM. Struktur bisnis digital marketplace menekan margin UMKM dan menciptakan ketergantungan berbahaya yang membuat mereka sulit berkembang secara mandiri.
Selain itu, dalam kajian terkait kontrak bisnis digital, ditemukan bahwa UMKM sering menerima syarat kerja sama yang tidak seimbang, seperti perubahan komisi tanpa kesepakatan bersama, biaya tersembunyi, algoritma tidak transparan, dan penyelesaian sengketa yang berat di pihak kecil.
Semua itu menunjukkan bahwa secara hukum dan regulasi, perlindungan terhadap UMKM dalam ekosistem marketplace masih lemah.
Sistem rating dan ulasan juga menambah tekanan bagi UMKM. Keluhan terhadap layanan kurir atau keterlambatan pengiriman, yang sebenarnya berada di luar kendali pemilik usaha, sering berujung pada rating buruk dan penalti terhadap penjual. Situasi ini memaksa UMKM memikul risiko operasional yang tidak adil.
Dari rangkaian kasus nyata di Indonesia, terlihat jelas bahwa marketplace sering kali tidak memberikan ruang yang sehat bagi UMKM untuk tumbuh secara berkelanjutan.
Ekosistem ini dibangun untuk mengonsolidasikan data pasar, mengontrol akses pelanggan, dan mengambil margin terbesar dari setiap transaksi.
Pada akhirnya, marketplace menjadi pihak yang paling diuntungkan, sedangkan UMKM hanya menjadi pemasok yang bekerja keras namun memperoleh sisa nilai ekonomi.
Oleh karena itu, UMKM perlu menyadari bahwa marketplace bukanlah solusi tunggal untuk berkembang di era digital. Marketplace hendaknya hanya menjadi salah satu kanal penjualan.
Di luar itu, UMKM harus membangun branding, memperkuat basis pelanggan melalui media sosial atau toko online sendiri, serta mengelola database konsumen secara mandiri demi menjaga keberlanjutan usaha.
Digitalisasi seharusnya memberdayakan UMKM — bukan menjadikan mereka bagian dari rantai pasok digital yang dikendalikan pihak lain. []





























































































