UPDATE

OPINI
OPINI

Gaya Hidup Paylater: Bahagia Semu, Utang Nyata

Penulis: Hanny N.**

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat, per Ferbuari 2025 total utang masyarakat Indonesia lewat layanan Buy Now Pay Later (BNPL) atau yang lebih akrab disebut PayLater di sektor perbankan menyentuh angka Rp 21,98 triliun.

“Diskon 80%! Bayar Nanti! Gratis Ongkir!” – Deretan promo itu menggoda, tapi tahukah kita bahwa di balik kemudahan paylater, ada jerat utang yang mengintai? Data Bank Indonesia (2023) mencatat, transaksi paylater tumbuh 300% dalam setahun, bersamaan dengan laporan BPS bahwa daya beli masyarakat turun 2,5% akibat inflasi dan PHK massal. Inilah paradoks sistem kapitalisme yakni saat ekonomi sulit, solusi yang ditawarkan justru utang berbunga (riba) yang memperparah beban hidup.

Daya Beli Runtuh, Paylater Jadi “Nafas Palsu”

Lesunya ekonomi global dan kebijakan dalam negeri yang tidak pro-rakyat kecil memicu penurunan daya beli. Krisis energi, ketegangan geopolitik, dan dampak pandemi yang berkepanjangan telah menciptakan domino effect pada ekonomi domestik. Harga bahan pokok melambung: beras naik 15%, telur 20%, minyak goreng 30%, sementara upah buruh stagnan (BPS, 2024).

Di Jakarta, ibu kota dengan biaya hidup tertinggi, fenomena “gaji habis di tengah bulan” semakin umum. Survei Katadata menunjukkan 65% warga Jakarta mengaku kesulitan memenuhi kebutuhan dasar. Ironisnya, di saat yang sama, transaksi e-commerce justru meningkat 25% dengan paylater sebagai metode pembayaran favorit.

Inilah yang disebut “solusi palsu” kapitalisme. Ketika rakyat terjepit, sistem justru menawarkan utang sebagai jalan keluar. Padahal, dengan bunga mencapai 2-3% per bulan (setara 36% per tahun!), utang kecil bisa membengkak jadi beban besar. Cerita Rina (28), karyawan swasta di Jakarta, adalah contoh nyata: “Awalnya cuma beli HP seharga 3 juta pakai paylater, karena dipecah 12 bulan terlihat ringan. Tapi tanpa sadar aku pakai untuk beli baju, kosmetik, bahkan bayar tagihan. Sekarang total utangku 15 juta dengan bunga yang terus menumpuk.”

Berita Lainnya:
Banditisme Jokowi dan Bandara Morowali

Kasus Rina bukan pengecualian. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat 40% pengguna paylater mengalami kredit macet. Yang lebih mengkhawatirkan, 30% di antaranya adalah generasi muda berusia 18-30 tahun – generasi yang seharusnya menjadi tulang punggung ekonomi bangsa.

Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto

Kapitalisme & Konsumerisme: Lingkaran Setan

Sistem kapitalisme tidak hanya menciptakan ketimpangan ekonomi, tapi juga memproduksi budaya konsumtif melalui rekayasa sosial yang sistematis. Setiap hari, kita dibombardir oleh 4.000-10.000 iklan (data Nielsen, 2023) yang menjual mimpi: “Kamu bahagia kalau punya ini!”

Platform digital memperparah kondisi ini. Algoritma media sosial sengaja dirancang untuk menciptakan FOMO (Fear of Missing Out). Sebuah penelitian Universitas Indonesia menemukan bahwa pengguna Instagram 3x lebih mungkin melakukan pembelian impulsif setelah melihat konten influencer.

Yang lebih berbahaya, kapitalisme telah mendefinisikan ulang makna kebahagiaan. Survei Katadata (2023) membuktikan paradoks menyedihkan: 65% pengguna paylater merasa stres karena utang, tapi 70% mengaku akan menggunakannya lagi – inilah kecanduan konsumtif yang difasilitasi sistem!

Dalam perspektif Islam, ini adalah bentuk modern dari israf (pemborosan) yang jelas dilarang:

“Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan.” (QS. Al-Isra’: 26-27)

Lebih parah lagi, sistem ini mendorong riba – sesuatu yang jelas haram dalam Islam. Allah SWT berfirman:

“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275).
Dengan dalih “kemudahan”, paylater justru menjerumuskan masyarakat ke dalam dosa dan kesengsaraan.

Islam: Solusi Fundamental, Bukan Sekadar Tempelan

Berbeda dengan kapitalisme yang mengorbankan rakyat untuk keuntungan segelintir orang, sistem Islam menawarkan solusi menyeluruh yang bersumber dari wahyu.

a. Mekanisme Ekonomi Syariah yang Adil

Pelarangan riba secara tegas: Tidak ada ruang untuk paylater berbunga atau praktik ribawi lainnya.

Zakat & Baitul Mal: Negara menjamin kebutuhan dasar rakyat melalui distribusi kekayaan yang adil. Pada masa Umar bin Abdul Aziz, zakat mampu mengentaskan kemiskinan hanya dalam 2 tahun.

Berita Lainnya:
Bahtera yang Tak Pernah Dibangun

Pengaturan harga (hisbah): Negara turun tangan aktif ketika harga kebutuhan pokok melambung, sebagaimana dilakukan Rasulullah SAW saat krisis harga di Madinah.

Larangan penimbunan (ihtikar): Islam mengharamkan praktik monopoli yang membuat harga melambung.

b. Membangun Mentalitas Takwa, Bukan Konsumerisme

Islam mengajarkan konsep qana’ah (merasa cukup) dan zuhud (tidak tergila-gila pada dunia). Rasulullah SAW bersabda:

“Kekayaan bukanlah banyaknya harta, tapi kekayaan sejati adalah kekayaan jiwa.” (HR. Bukhari-Muslim)

Dalam negara Khilafah, pendidikan dan media akan membentuk kesadaran masyarakat bahwa kebahagiaan sejati terletak pada ketakwaan, bukan kepemilikan materi.

c. Khilafah: Penjaga Sistem, Bukan Eksploitasi

Dalam Khilafah, negara aktif mencegah praktik riba dan memutus rantai konsumerisme. Rasulullah SAW bersabda:

“Akan datang suatu zaman di mana manusia tidak peduli lagi apakah harta yang didapat halal atau haram.” (HR. Bukhari).

Khilafah akan menerapkan:

  • Audit ketat terhadap praktik keuangan
  • Pendidikan ekonomi berbasis syariah
  • Sanksi tegas bagi pelaku riba
  • Sistem distribusi kekayaan yang adil

Penutup (Call to Action):

Paylater hanyalah painkiller di tengah sakitnya ekonomi kapitalis. Jangan terbuai oleh “kemudahan semu” yang justru memperbudak kita dengan utang dan riba. Saatnya kita menyadari bahwa solusi sesungguhnya hanya ada dalam Islam.

Sejarah telah membuktikan keunggulan sistem ekonomi Islam. Pada abad ke-8 M, Khalifah Umar bin Khattab mampu menciptakan stabilitas ekonomi di tengah kelaparan dengan kebijakan yang manusiawi dan berkeadilan. Ini kontras dengan kapitalisme yang justru menghasilkan 26 orang terkaya yang kekayaannya setara dengan 3,8 miliar penduduk termiskin dunia (Oxfam, 2024).

“Maka, apakah sistem Jahiliyah yang mereka inginkan? Dan sistem siapakah yang lebih baik daripada sistem Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS. Al-Maidah: 50).

#TolakRiba #GantiSistem

Reaksi

Berita Lainnya

Tampilkan Lainnya Loading...Tidak ditemukan berita/artikel lainnya.