UPDATE

ISLAM
ISLAM

Bencana Datang Bertubi-tubi: Kenapa Penanganannya Selalu Lamban?

Bencana banjir, longsor, dan puting beliung kembali menimpa berbagai daerah. Penanganan lamban menunjukkan lemahnya mitigasi dan tata kelola lingkungan.

Oleh: Hanny N

MUSIM hujan yang kembali datang seharusnya menjadi tanda kewaspadaan kolektif, namun kenyataannya justru menghadirkan duka berulang bagi masyarakat.

Dalam beberapa pekan terakhir, publik disuguhi kabar tentang banjir, longsor, hingga puting beliung yang melanda berbagai daerah.

Rumah-rumah warga hanyut, sekolah rusak, puluhan orang mengungsi, bahkan tidak sedikit yang dinyatakan hilang dan belum berhasil dievakuasi.

Seperti yang diberitakan CNN Indonesia, masih ada puluhan warga yang diduga tertimbun longsor di Banjarnegara, sementara proses pencarian terhambat cuaca, medan, dan keterbatasan tim.

Ironisnya, kondisi ini bukan peristiwa baru. Dari tahun ke tahun, narasinya selalu sama bencana datang, korban berjatuhan, negara hadir terlambat, lalu semuanya menguap tanpa evaluasi mendasar. Seolah Indonesia menerima nasib sebagai negeri langganan bencana tanpa upaya sungguh-sungguh mengubah akar persoalan.

Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto

Bencana yang Bukan Sekadar Fenomena Alam

Masyarakat kerap diarahkan untuk menerima banjir dan longsor sebagai bagian dari takdir geologis dan geografis Indonesia.

Padahal, banyak kajian menunjukkan bahwa kerusakan lingkungan, alih fungsi lahan, penebangan hutan, pembangunan tak terkendali, hingga tata ruang yang mengabaikan daya dukung alam adalah faktor yang memperparah bencana.

Bencana tidak lagi murni disebut “bencana alam”, tetapi bencana ekologis yang berakar pada kebijakan pembangunan yang salah arah.

Sungai disempitkan demi proyek properti, pegunungan ditambang tanpa kontrol, daerah resapan dijadikan kawasan komersial, dan daerah rawan justru diberikan izin huni.

Di sinilah persoalannya bencana muncul bukan karena alam membenci manusia, tetapi karena manusia merusak alam, dan negara membiarkan bahkan mengesahkannya.

Penanganan yang Lamban, Tidak Sistematis, dan Bersifat Reaktif

Ketika bencana terjadi, respons yang tampil seringkali bersifat insidental, bukan sistemik. BNPB dan BPBD kesulitan melakukan evakuasi karena terbatasnya armada, kurangnya personel, minimnya teknologi pencarian, serta buruknya kesiapsiagaan masyarakat.

Berita Lainnya:
Update Banjir Sumatera: 836 Meninggal, 509 Hilang

Mitigasi seharusnya hadir jauh sebelum bencana terjadi, bukan setelah korban berjatuhan. Namun saat ini edukasi kebencanaan kepada masyarakat minim, peringatan dini tidak menjangkau seluruh wilayah rawan, infrastruktur penyelamatan terbatas, koordinasi antar instansi tidak solid, anggaran penanggulangan lebih besar daripada anggaran pencegahan.

Ini menunjukkan mitigasi bencana di negeri ini belum komprehensif, baik pada tataran individu, masyarakat, maupun negara. Pemerintah sebagai pihak yang memiliki kewenangan dan sumber daya seharusnya menjadi aktor utama dalam mencegah kerusakan lingkungan dan memastikan keselamatan rakyat, bukan sekadar hadir saat kamera menyorot.

Pandangan Islam: Bencana Memiliki Dimensi Ruhiyah dan Siyasiyah

Dalam Islam, bencana dipandang dalam dua dimensi penting.

Pertama, dimensi ruhiyah. Al-Qur’an mengingatkan bahwa kerusakan di bumi bukanlah tanpa sebab. Allah berfirman, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan tangan manusia…” (QS Ar-Rum: 41)

Ayat ini menegaskan bahwa tindakan manusia yang merusak alam akan kembali menimpa manusia sendiri. Merusak lingkungan bukan hanya kesalahan teknis, tetapi juga dosa yang berdampak sosial.

Hadits Nabi juga mengajarkan,“Tidaklah suatu kaum berbuat dosa secara terang-terangan, melainkan akan Allah timpakan musibah yang tidak pernah terjadi pada generasi sebelum mereka.” (HR. Ibn Majah)

Dimensi ruhiyah ini menghadirkan kesadaran bahwa setiap bencana harus menjadi momentum taubat, koreksi moral, dan refleksi diri.

Kedua, dimensi siyasiyah. Dimensi siyasiyah berbicara tentang tanggung jawab negara dalam menjaga keselamatan rakyat, mengatur tata ruang, mengelola sumber daya alam, dan menyiapkan mitigasi yang serius.

Islam menjadikan perlindungan jiwa sebagai kewajiban utama. Negara wajib mencegah kerusakan lingkungan, memastikan tata ruang sesuai maslahat, menyediakan sistem mitigasi yang siap dan terlatih, bergerak cepat tanpa birokrasi berbelit, dan menjamin kebutuhan korban hingga pulih.

Sejarah Islam mencatat, ketika terjadi gempa besar pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, negara tidak hanya mengirim bantuan makanan, tetapi juga membangun kembali pemukiman, menyediakan pendampingan, dan memastikan masyarakat dapat melanjutkan kehidupan secara layak. Responsnya cepat, terstruktur, dan manusiawi — bukan sekadar seremonial.

Berita Lainnya:
Bencana Alam Sumatera Tak Bisa Lepas dari Aksi Pembalakan Liar!

Negara Seharusnya Hadir Sebagai Pelindung Nyata, Bukan Penonton Berjarak

Saat ini, banyak penyintas bencana bertahun-tahun hidup dalam tenda darurat, kehilangan pekerjaan, dan tidak mendapat dukungan psikososial memadai. Padahal dalam Islam, pemimpin akan ditanya tentang satu nyawa yang melayang karena kelalaiannya.

Rasulullah SAW bersabda, “Imam (pemimpin) adalah pengurus rakyat, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang ia urus.” (HR. Bukhari)

Artinya, negara bukan hanya memberi bantuan sesaat, tetapi menjamin kelangsungan hidup rakyat hingga benar-benar pulih.

Saatnya Berubah dari Reaktif Menjadi Preventif

Bencana akan terus terjadi selama pembangunan mengejar profit bukan keberlanjutan, tata ruang tunduk pada kepentingan investor, lingkungan dikorbankan untuk proyek jangka pendek, mitigasi hanya jargon, bukan sistem, dan negara abai terhadap keselamatan rakyat.

Namun, jika paradigma berubah, jika kebijakan berpihak pada kelestarian bumi dan keselamatan manusia, maka bencana tidak lagi menjadi siklus duka yang terus berulang.

Penutup

Banjir, longsor, dan puting beliung bukan sekadar berita musiman. Mereka adalah alarm keras bahwa tata kelola ruang hidup kita bermasalah, mitigasi kita lemah, dan negara belum serius melindungi rakyatnya. Islam menawarkan solusi yang menyatukan kesadaran spiritual dan kebijakan struktural—menjaga bumi sebagai amanah, menjaga rakyat sebagai kewajiban.

Kita membutuhkan sistem yang mampu mencegah, bukan hanya merespons. Yang melindungi sebelum korban berjatuhan, bukan setelahnya. Yang memuliakan manusia, bukan membiarkan mereka menghadapi bencana sendirian.

Jika arah kebijakan berubah, maka kisah pilu bencana tidak lagi menjadi langganan negeri ini—dan rakyat bisa hidup dengan tenang di tanah yang semestinya menjadi berkah, bukan ancaman.

Wallahu a’lam bisshawab

Subscribe
Notify of
guest
0 Komentar
Inline Feedbacks
View all comments

Reaksi

Berita Lainnya

Tampilkan Lainnya Loading...Tidak ditemukan berita/artikel lainnya.